Menggalakkan Pariwisata di Kalangan Generasi Z dengan Kuliner Indonesia
Industri pariwisata dalam menarik Gen Z, yang merupakan sepertiga penduduk dunia, perlu menghindari pemasaran tradisional seperti iklan daring yang hanya mendaftar aneka atraksi dan daftar harga hotel.
Oleh
MIHARNI TJOKROSAPUTRO
·5 menit baca
Generasi (gen) Z merupakan penduduk muda terbesar dibanding generasi lain. Sebagai generasi digital dan bergaya petualangan, mereka merupakan segmen turis terbesar didunia. Gen Z perlu menjadi sasaran strategi pemasaran dari industri pariwisata serta berpeluang meningkatkan pendapatan petani sebagai penyedia bahan makanan segar dan warung makanan UMKM yang tersebar di seluruh Indonesia.
Makanan berperan penting bagi kehidupan setiap manusia, baik untuk kebutuhan jasmani, kebutuhan hubungan sosial, maupun pertumbuhan emosi pribadi (Gurbaskan , 2019). Di samping itu, makanan merupakan salah satu perhatian yang menarik bagi para turis, di samping keperluan penginapan, transportasi, dan objek atraksi seperti pemandangan alam dan kekhasan budaya.
Indonesia memiliki kekayaan makanan lokal berpotensi menjadi food tourism atau culinary tourism sebagai daya tarik bagi turis internasional (Henderson, 2009). Ribuan makanan lokal, yang diwarnai oleh budaya lokal, dapat menjadi daya tarik turisme sebagai destinasi turisme.
Makanan lokal di Indonesia yang paling terkenal, antara lain, rendang, sate, gado-gado, bakso, soto, nasi goreng, dan nasi padang. Ada juga makanan lokal yang terkenal seperti rica-rica (Manado), kwetiau goreng (Medan), asam padeh (Padang), nasi liwet (Solo), dan gudeg (Yogyakarta).
Bagi wisatawan mancanegara yang bertujuan mencari pengalaman baru, seperti umumnya Gen Z, makanan lokal menjadi perhatian khusus, sebagai jembatan mengenali budaya lokal, dengan langsung merasakan sendiri makanan lokal.
Bahkan belakangan ini Chaney, profesor dari Australia serta Ryan dari New Zealand (2012), mempelajari World Gourmet Summit di Singapore tahun 2011, dan menemukan tema baru pada industri pariwisata dengan apa yang disebut pariwisata kuliner. Makanan lokal dari Singapura, Hong Kong dan Taiwan, ternyata menjadi daya tarik yang kuat bagi turis mancanegara utuk berkunjung.
Berdasarkan perkembangan itu, Indonesia perlu memperluas inisiatif mengembangkan lebih efektif dalam hal kuliner turisme sebagai daya tarik, karena pilihan makanan lokal Indonesia jauh lebih banyak dibanding ketiga negara di Asia tersebut di atas. Di samping itu, dunia pariwisata Indonesia telah maju pesat, dimana sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang pertumbuhannya paling cepat, menurut Kementerian Turisme & Ekonomi Kreatif Indonesia (Wijaya Dkk, 2016).
Garuda Indonesia telah mengambil inisiatif mempromosi kuliner Indonesia kepada para turis yang terbang dengan maskapai tersebut dengan menyajikan makanan lokal, antara lain nasi kuning, nasi rendang dan tempe, pada rute Bandung, Jogya, Semarang, Surabaya, dan Bali.
Menurut Anne Dolot (2018), pakar adult people development, kelompok penduduk pada zaman modern ini yang menjadi perhatian pengambil keputusan pemerintah atau dunia usaha adalah generasi berikut: generasi Baby Boomer: lahir antara 1945 - 1965, suka kerja keras (workaholics); generasi X, lahir antara1966 - 1979, suka keseimbangan bekerja dan nikmati hidup; generasi Y, lahir antara1980 - 1996, hidup dalam kemakmuran, suka santai; generasi Z, lahir antara 1997 - 2013, lahir di zaman digital-native, suka petualangan.
Saat ini populasi Generasi Z mencapai 2,47 miliar atau 32 persen penduduk dunia (Spitznagel, 2020). Ciri Gen Z yang menjadi fokus rubrik ini adalah, bergaya hidup unik; berpikiran terbuka dan mengutamakan makanan sehat. Gen Z lahir sebagai born-digital, melekat pada media social, berkomunikasi digital 6-8 jam sehari. Gen Z memelihara jaringan sosial yang luas, dengan Instagram, Tik-Tok, Facebook, dan Whatsapp.
Gen Z sebagai “digital-native” beda dari “digital imigrant'. Imigran digital suka mempermainkan Gen Z dengan hoax melalui media sosial, bisa dikerahkan demo massa, dengan imbalan nasi bungkus, kuliner murah. Namun Gen Z menyingkir dengan gangnya, berkreativitas dengan medsos, menikmati makanan lokal di pinggir jalan, tidak di restoran di hotel.
Gen Z memiliki berbagai keunikan dalam hal konsumsi, dengan nilai budaya serta perilaku konsumtif yang perlu mendapat perhatian sebagai peluang usaha. Hal ini penting dilakukan, mengingat Gen Z lebih tertarik pada makanan dari budaya yang berbeda (Hasriyani, 2021). Selain itu, Gen Z dikenal sangat sadar akan nilai uang dan kesehatan. Mereka juga menyukai bersosialisasi dengan rekannya di kafe atau tempat hang out yang menyediakan wifi, dan bahkan di restoran “bertema” sesuai dengan aspirasi mereka seperti tema taman (Genç, 2021).
Menurut Rainer Alt (2021), Gen Z beminat pada dunia informasi dan teknologi, karena dilahirkan pada abad Internet, terbiasa dengan paradoks dunia verbal (komunikasi langsung) dan dunia visual (komunikasi tak langsung), benda bersifat fisik dan digital dari teknologi transformasi digital. Namun sulit mengeneralisasi ciri Gen Z, karena bervariasi gaya hidup dan motivasi, sekalipun nilainya nyaris sama.
Sedangkan perilaku sebagai turis, menurut Swarbrooke dan Horner (1999), Gen Z punya dua motif: (1) “allocentric”: hanya berminat mengunjungi destinasi wisata yang belum dikenal, bergaya petualang mencari pengalaman baru; atau (2) “psychocentris” memilih destinasi wisata yang mirip dengan turisme di negaranya.
Kemudian, makanan yang dianggap sebagai makanan kuliner bagi Gen Z, menurut Ding DKK (2022), mengandung ciri berikut: (1) Memilih masakan segar, belum dibekukan seperti sering pada restoran di hotel; (2) langsung dimasak (wholesome food) dan dapat dilihat proses masaknya, seperti di warung makan, (3) makanan inovatif, atau belum pernah dimakannya; (4) memenuhi kebutuhan sosial, nikmat makan bersama dengan teman turis, bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani.
Sebagai implikasinya, industri pariwisata dalam menarik Gen Z, yang merupakan sepertiga penduduk dunia, perlu menghindari pemasaran tradisional seperti iklan daring yang hanya mendaftar aneka atraksi dan daftar harga hotel. Namun, menampilkan visualisasi digital seperti keindahan dunia sekitar destinasi turis dan kuliner lokal yang unik, disertai musik yang mencerminkan toleransi budaya.
Sementara bagi industri kuliner, disarankan menampilkan promosi digital dengan Instagram, yang mudah diakses dimana saja selama tour, dalam hal personalisasi layanan makanan. Kemudian menampilkan gambar tamu mencicipi makanan, dengan keindahan lingkungan hijau. Bagi warung makan tanpa digital, setidaknya di depan warung ditampilkan gambar makanan segar.
Miharni Tjokrosaputro
Penulis adalah dosen FEB Universitas Tarumanagara dan anggota Indonesia Strategic Management Society