Bau Kurt Cobain di Panggung ”Thrifting”
Kardigan bekas pakai Kurt Cobain yang telah bolong-bolong terkena api rokok beberapa waktu lalu berhasil dilelang seharga Rp 4,9 miliar! Baju hangat itu tidak pernah dicuci oleh Cobain sejak dibeli di ”thrift shop”.
Banyak yang menafsir lirik lagu berjudul ”Smells Like Teen Spirit” tak lain adalah bau yang menguar dari tubuh Kurt Cobain. //Load up on guns, bring your friends/It’s fun to lose and to pretend/She’s over bored and self assured/Oh no, I know a dirty word…//
(Siapkan senjata, ajak teman-temanmu/Menyenangkan untuk kehilangan dan berpura-pura/Dia terlalu bosan dan percaya diri/Oh tidak, aku tahu kata kotor…).
Saat lagu ini dirilis oleh band Nirvana, 10 September 1991, anak-anak muda Amerika sedang mengalami masa krisis jati diri. Mereka mengalami depresi karena kenyataan hidup yang berbeda dari imajinasinya.
Misalnya, kau bisa simak gambaran tentang anak muda yang mengalami fresh graduate syndrome dalam film Reality Bites (kira-kira bisa disamakan artinya dengan ’gigitan kehidupan’). Sering pula disebut sebagai quarter life crisis, krisis menuju usia seperempat baya.
Lelaina Pierce (Winona Ryder), remaja dengan prestasi terbaik di kampusnya. Ia bahkan menjadi seorang Valedictorian, mahasiswa dengan prestasi tertinggi dan berhak berpidato saat perpisahan di kampus. Prestasi yang sungguh membanggakan di Amerika. Tetapi, rupanya hidup tak seindah imajinasi, yang berseri-seri ia khayalkan.
Lelaina berkali-kali mengajukan lamaran kerja, tetapi selalu ditolak. Ia bahkan tidak bisa ”sekadar” menjadi pelayan restoran karena dianggap tidak memenuhi kualifikasi bekerja. Sejak itu ia sering berdebat dengan teman-teman sepantaran yang tinggal bersamanya di sebuah apartemen.
Mulai soal remeh-temeh seperti membayar tagihan telepon, kisah cinta, sampai soal-soal yang lebih ideologis sebagai anak muda dengan prestasi gemilang semasa kuliah. Di sisi lain, orangtua Lelaina menolak memberi bantuan di saat ia mengalami kesulitan keuangan untuk hidup.
Kehidupan pribadi Kurt Cobain jauh dari mengesankan. Saat masih kecil, kedua orangtuanya memutuskan untuk bercerai. Cobain kemudian diasuh oleh neneknya.
Di sekolah ia terkenal sebagai tukang bully, yang tak jarang mendapat hukuman. Saat remaja Cobain hidup berpindah-pindah, tak terurus secara layak. Itu sebabnya, ia akrab dengan trotoar jalanan.
Celakanya, untuk mengatasi kekecewaan dan depresinya, ia berlari mengonsumsi narkoba. Sekilas ketika akhirnya membentuk band Nirvana, dengan lagu yang tiba-tiba ngehits pada awal tahun 1990-an, kehidupan Cobain seolah berjalan baik-baik saja.
Bersama kepopuleran lagu ”Smells Like Teen Spirit”, mencuat pula musik grunge dan gaya berpakaian yang ngetrif. Cobain selalu mengunjungi thrift store, toko pakaian bekas, untuk mendapatkan jins belel dan sobek di beberapa bagiannya.
Kardigan merek Manhattan berwarna hijau zaitun, yang juga bekas, dipakai Cobain pertama kali saat rekaman konser Unplugged di studio televisi kabel MTV tahun 1993. Sejak itu penampilannya identik dengan pakaian bekas.
Baca juga : Lato-lato, Plato, ”Staccato”, dan Eksperimentasi Hukum (Karma) Newton
Tak disangka, bermula dari anak-anak muda Amerika yang ”kecanduan” pakaian bekas dan musik grunge, gaya ini kemudian menyebar ke seluruh dunia dan menjadi gaya hidup baru. Lagu-lagu Nirvana dinyanyikan di mana-mana lengkap dengan jins belel dan berlubang.
Lirik-lirik lagu yang ditulis Cobain seolah menjadi inspirasi tentang ”pemberontakan” kaum muda terhadap kepahitan hidup yang tak sesuai dengan imajinasi mereka.
//She says I’m beans/And I’ve been lost/And I don’t mean/The poison’s gone/And I feel drained/The side that you know/And die with me/and I’ll be yours/and I know you hope I’m denial of love…// (”Poison’s Gone”).
Tak disangka, bermula dari anak-anak muda Amerika yang ’kecanduan’ pakaian bekas dan musik grunge, gaya ini kemudian menyebar ke seluruh dunia dan menjadi gaya hidup baru.
Kata she dalam lagu-lagu Cobain diduga selalu mengacu pada ”mantan” istrinya, Courtney Love Cobain, yang sebelumnya bernama Courtney Michelle Harrison. Kehidupan pasangan ini termasuk gila. Sering kali mereka mengonsumsi narkoba bersama-sama, selain tentu saja keduanya juga suka ngetrif bareng ke beberapa toko pakaian bekas di Amerika.
//Dia bilang aku gila/Dan aku tersesat/Aku tidak bermaksud apa-apa/Racunnya hilang/Aku merasa terkuras/Sisi yang kamu tahu/Dan mati bersamaku/Aku akan menjadi milikmu/Aku tahu kau berharap aku menyangkal cinta…//
Sesungguhnya fenomena Kurt Cobain dan Nirvana bisa jadi cerminan kondisi Amerika yang tak seramah orang kira. Seiring membaiknya pendidikan, anak-anak muda punya ekspektasi tinggi terhadap pendidikan mereka dengan bidang pekerjaan yang akan mereka raih.
Baca juga : Pertemuan Terakhir dengan Riantiarno dalam Percakapan yang Tak Selesai
Di sisi lain, setelah era perang dingin, Amerika seolah sangat getol berperang di Timur Tengah. Banyak biaya dihabiskan untuk ”membunuh”, sementara kenyataan di dalam negeri, hal-hal yang terutama menyangkut ”idealisme” kaum muda terlupakan.
Banyak pertanyaan, sebenarnya pembunuhan dalam perang demi perang itu untuk apa dan siapa? Banyak hal yang kemudian menjadi absurd di hati anak muda.
Kurt Cobain dan film Reality Bites bisa jadi adalah refleksi kondisi anak muda saat itu. Idealisme yang tinggi dan menggebu-gebu diempaskan oleh kenyataan hidup yang tak seindah imajinasi. Cobain mengalami depresi berat sehingga menyerah pada hidup.
Ia ditemukan tewas bunuh diri, 8 April 1994, di apartemennya di Seattle, Washington DC, oleh Gary Smith, tukang listrik rumahnya. Menurut hasil otopsi, Cobain diperkirakan sudah meninggal pada 5 April sebelumnya.
Hal yang luar biasa, Cobain dianggap sebagai pembawa eksisnya musik grunge yang selama dekade 1990-an selalu menjadi bayang-bayang dari kepopuleran musik rock dan metal.
Sejak itu grunge seolah menjadi bahasa ”baru” bagi pembebasan kaum muda yang anti-mainstream, walau bukan berarti tidak punya ideologi. Mereka menyerbu toko-toko pakaian bekas sebagai bagian dari cara mereka mengampanyekan penyelamatan terhadap Bumi.
Pemborosan yang terjadi sejak Revolusi Industri pada awal abad ke-19 memang telah beberapa kali dikoreksi. Pada era 1760-1850, dengan penemuan berbagai mesin, industri tekstil dan kemudian diikuti oleh merebaknya garmen dan fashion seolah meledak di pasaran. Jumlah pakaian yang dijual berlimpah ruah dan murah.
Orang-orang Amerika dan Inggris bisa seenaknya membeli pakaian untuk sekali pakai, sesudahnya dibuang (disposable) begitu saja. Sejumlah alun-alun di Inggris ,misalnya, menjadi tempat pembuangan pakaian bekas sekali pakai. Saking banyaknya, pakaian-pakaian itu membentuk bukit-bukit kecil. Inilah era ketika konsumsi terhadap pakaian begitu boros dan berlebihan.
Kecenderungan berboros-boros ini kemudian ditangkap sebagai peluang oleh organisasi keagamaan di Amerika, seperti Salvation Army (1897) dan Goodwill (1902).
Konon, sebelumnya organisasi dengan semangat serupa sudah muncul di Inggris, bernama Wolverhampton Society for the Blind. Mereka membuka semacam tempat penampungan pakaian bekas sebagai donasi untuk orang-orang miskin, terutama para imigran di Amerika.
Sampai tahun 1935, Goodwill bahkan berkembang menjadi thrift shop, yang telah memiliki 100 gerai di seluruh Amerika. Toko pakaian bekas ini memiliki truk sendiri untuk mengumpulkan dan menyuplai pakaian bekas ke sejumlah kota. Mereka, katanya, sudah mampu menjangkau 1.000 rumah tangga di Amerika.
Kesadaran akan fungsi pakaian bekas semakin menyala ketika tahun 1920-an terjadi era great depression di Amerika. Jatuhnya bursa saham di Wall Street (1929) membuat banyak warga Amerika jadi miskin.
Mereka kehilangan rumah dan pekerjaan serta daya belinya menurun. Tak ada pilihan, Goodwill serta toko-toko pakaian bekas yang tiba-tiba menjamur di jalanan New York dan kota-kota lainnya diserbu konsumen. Pakaian bekas naik kelas.
Sesungguhnya kondisi di Amerika, Inggris, serta era ”kebanggaan” yang digulirkan oleh Kurt Cobain diam-diam aku nikmati juga. Sudah pasti pertama-tama karena alasan ekonomi, kami yang tinggal di kampung, jauh ”banget” dari Denpasar, turut berburu pakaian bekas di Pasar Beringkit.
Pasar ini berlokasi di Mengwi, Badung, kira-kira 30 menit ke arah barat Kota Denpasar. Tetapi, kalau bergerak dari kampungku, Desa Lelateng, Negara, kira-kira butuh waktu sampai dua jam perjalanan dengan sepeda motor.
Asal kau tahu, Pasar Beringkit tak lain adalah pasar hewan, terutama sapi, yang ramai setiap hari Minggu. Entahlah siapa yang mulai, di sela-sela suara lenguh sapi dan para belantik, serta bau kotoran hewan, terselip para pedagang baju bernama jampa. Ini sejenis baju kaus bertangan panjang dan berleher bundar tanpa jahitan samping.
Entahlah siapa yang memberi nama itu, yang jelas para pedagang pakaian bekas di era awal tahun 1980-an di Pasar Beringkit selalu berasal dari Madura. Ini juga sebuah misteri, bukan? Bagaimana orang-orang Madura mendapatkan kaus jampa itu dan kemudian mengedarkannya sampai ke Pasar Beringkit?
Minggu (29/1/2023), aku bertemu dengan Eddy (25) di Pasar Kodok, Tabanan, Bali. Eddy adalah generasi kedua pedagang pakaian bekas asal Madura yang merantau ke Bali.
Lebih spesifik lagi, Eddy dan ratusan pedagang di Pasar Kodok berasal dari Desa Jungkat, Kecamatan Raas, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Kecamatan Raas berupa sebuah pulau kecil di timur Madura, yang sejak dulu warganya lebih banyak hidup di perantauan.
”Ya, saya datang diajak bapak saya, yang lain juga begitu. Saling ajak anak, keponakan, adik, tetangga, atau siapa saja yang mau dagang. Bapak di sini sudah lebih dari 30 tahun. Cuma dagang bekas…,” tutur Eddy dari balik baju-baju bekas di kiosnya.
Jangan salah, Eddy sangat fasih menghafal berbagai barang branded yang punya harga tinggi. Pasar Kodok kira-kira jaraknya 30 menit dari Pasar Beringkit menuju Kota Tabanan.
”Tapi ya setinggi-tingginya barang bekas pasti lebih murah dari yang baru…,” tambahnya. Ia kasih bayangan, harga celana jins Levi’s belel alias ripped jeans, seperti yang menurut dia sering dipakai Kurt Cobain itu, tak lebih dari Rp 200.000. ”Itu paling mahal, biasanya sih paling dapat Rp 160.000 sampai Rp 175.000. Saya ndak jual, di sini cuma jaket,” katanya.
Pasar Kodok tumbuh seiring kebutuhan fashion murah di Bali. Dulu, seluruh area di jalur Denpasar-Negara itu berupa sawah hijau, kata Muchlis asal Lamongan, Jawa Timur, yang pertama-tama berjualan di sana. ”Kami berjualan dengan gelar tikar di jalan tanah di tengah-tengah sawah. Makanya disebut Pasar Kodok, ha-ha-ha…,” kata Muchlis.
Kini di Pasar Kodok, ujar Muchlis, mungkin terdapat lebih dari 1.000 kios pakaian bekas. Sebagian besar pedagangnya berasal dari Madura, khususnya Desa Jungkat. Mata rantai perniagaan pakaian bekas sendiri, tambah Muchlis, termasuk ”misterius”.
Dia hanya tahu membeli dalam bentuk bal-balan, kira-kira seberat 100 kilogram, dengan spesifikasi celana atau baju atau jaket dan lainnya. ”Itu harganya bisa antara Rp 5 juta-Rp 14 jutaan, harus dibeli cash… transfer dulu, baru barang dikirim,” katanya.
Baca juga : Dua Sisi Bisnis Barang Bekas
Cerita perniagaan ini diandaikan Muchlis seperti membeli kucing dalam karung. Karena ia dan semua pedagang lainnya tak pernah tahu apa saja yang terdapat dalam karung-karung yang dikemas rapi itu.
”Syukur-syukur kalau tiba-tiba ada jaket kulit di karung jaket saya…,” ujar Eddy. Ia menceritakan pekan lalu menemukan dua jaket kulit asal Amerika di karung jaket lainnya. ”Harganya bisa dijual lebih mahal…,” katanya.
Andika (24), remaja yang kerap kali thrifting ke Pasar Kodok, bercerita, pasar pakaian bekas ini ibarat menjawab kebutuhannya sebagai remaja yang kerap kali ingin tampil fashionable walau dengan kantong pas-pasan.
”Celana pendek berbahan bagus dengan kondisi masih 75 persen cuma seharga Rp 35.000 sampai Rp 50.000-an. Pas, kan, buat duit remaja,” katanya. Setidaknya dalam sebulan Andika bisa thrifting sampai dua kali ke Pasar Kodok.
Ooops, jangan salah dan buru-buru menghakimi pasar ini berkelas comberan dan kurang higienis. Sebagian wisatawan asing juga suka ngetrif ke sini. Bahkan tanpa rasa sungkan mereka membeli pakaian dalam.
”Untuk apa saya beli baru, toh nanti tak dibawa pulang…,” kata seorang remaja asal Jerman yang fasih berbahasa Indonesia. Ia tak sungkan-sungkan pula menawar harga pakaian sampai separuh harga.
Baca juga : Menyortir Harta Karun dari Tumpukan Pakaian Bekas
Anak-anak muda seusia Andika melakukan thrifting tak hanya karena alasan uang saku yang cekak. Tetapi, mereka mulai menumbuhkan kesadaran tentang lingkungan. Betapa pun, produksi sebuah pakaian telah melalui mata rantai yang panjang dan itu sebenarnya eksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Produksi pakaian bisa melibatkan bahan baku kain, kancing, jahitan, dan proses pencucian. Pakaian thrift, walau masih menyisakan jejak karbon yang berbahaya bagi lingkungan, setidaknya tidak seperti fast fashion yang meninggalkan jejak karbon sampai 10 persen setiap tahun.
Barangkali penting juga dicatat, industri fashion global telah menyumbang 2,1 miliar metrik ton emisi gas rumah kaca tahun 2018, sekitar 4 persen dari total emisi global. Sudah pasti ini juga angka yang tak main-main.
Betapa pun, produksi sebuah pakaian telah melalui mata rantai yang panjang dan itu sebenarnya eksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Oleh sebab itulah, para aktris seperti Winona Ryder, Anne Hathaway, dan Kristen Bell suka banget thrifting sebagai bagian dari kampanye mereka untuk memperpanjang umur Bumi.
Jangan salah, kardigan bekas, bekasnya Kurt Cobain yang bermerek Manhattan dan berwarna hijau zaitun dan telah bolong-bolong terkena api rokok itu, beberapa waktu lalu berhasil dilelang seharga Rp 4,9 miliar!
Kantor berita AFP menulis, baju hangat itu tidak pernah dicuci oleh Cobain sejak dibeli di thrift shop. Sebelumnya, kardigan itu dipakai oleh Garret Kletjian, pemilik Forty7 Motorspots, yang membelinya seharga Rp 1,93 miliar. Tidak jelas benar, berapa Cobain membelinya di thrift shop.
Baca juga : Berburu Harta Mode lewat "Thrifting
Jadi, mungkin sekali, jika kau suka thrifting bisa menemukan pakaian-pakaian yang tak hanya branded, tetapi bisa jadi milik para aktris yang telah kusebutkan tadi. Nah, iya, kan? Siapa tahu?
Itulah salah satu asyiknya thrifting. Selain bisa terus membangun kesadaran betapa berhemat membeli pakaian itu, bisa turut menyelamatkan Bumi. Pamit, mau ke Pasar Kodok lagi. Siapa tahu bisa mencium bau Kurt Cobain….
Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas 1994-2022