Partai Politik dan Proyeksi Perempuan dalam Pemilu 2024
Pilihan sistem pemilu memang memberikan peluang secara institusional bagi keterwakilan perempuan. Namun, ini bukan penentu tunggal karena parpollah yang jadi gerbang utama terwujudnya keterwakilan perempuan di politik.
Sekitar setahun lagi Indonesia akan menggelar pesta demokrasi besar-besaran dalam pemilu serentak 2024. Meskipun tahapan pencalonan belum dimulai, parpol hendaknya mulai mempersiapkan kader-kader terbaiknya, termasuk para kader perempuan.
Keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia memang sudah menunjukkan peningkatan yang lebih baik dari beberapa tahun sebelumnya. Di badan legislatif tingkat nasional, keterwakilan perempuan hasil pemilu era Reformasi menunjukkan tren peningkatan yang cukup baik meskipun tidak demikian dengan di badan legislatif tingkat lokal.
Perempuan terpilih di DPR pada Pemilu 1999 sejumlah 9,6 persen. Angka ini bergerak naik menjadi 11,6 persen pada Pemilu 2004 dan 18,03 persen pada Pemilu 2009. Sayangnya, pada Pemilu 2014 menurun menjadi 17,32 persen. Namun, pada pemilu serentak 2019, keterwakilan perempuan kembali meningkat menjadi 20,9 persen.
Baca Juga: Keterwakilan Perempuan dalam Politik
Di badan eksekutif, baru ada satu perempuan yang pernah menjadi presiden. Sementara perempuan yang mengikuti suksesi pemimpin di tingkat lokal cenderung meningkat sejak pilkada serentak 2015. Pada 2015, persentase calon perempuan dalam pilkada sebesar 7,50 persen. Angka ini terus naik menjadi 7,26 persen pada 2017; 9,00 persen pada 2018, dan 10,73 persen pada Pilkada 2020.
Namun, jumlah perempuan terpilih sebagai kepala daerah masih minim. Semenjak pilkada langsung hingga pilkada serentak 2018 terdapat lebih kurang 80 perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah, 3 sebagai gubernur, 60 sebagai bupati, dan sisanya sebagai wali kota.
Urgensi versus tantangan
Data deskriptif di atas menunjukkan bahwa kehadiran perempuan dalam politik masih underrepresented. Padahal, setidaknya perempuan perlu hadir dalam politik untuk empat alasan.
Pertama, kehadiran perempuan dapat menjadi simbol bahwa eksistensi perempuan diakui dalam suatu negara. Kehadiran perempuan dalam politik mencerminkan keadilan di suatu negara (Childs, 2008; Phillips, 1995).
Hal ini juga sejalan dengan prinsip demokrasi yang menjunjung kesetaraan bagi semua warga negaranya tanpa kecuali. Pasalnya, mengutip Michelle Bechelet (perempuan presiden pertama Chile), jika demokrasi tidak mengikutsertakan perempuan, demokrasi dianggap hanya untuk separuh warga negaranya.
Kedua, perempuan perlu hadir dalam politik agar ada sense of belonging (rasa memiliki) atau terlibat dari warga negara perempuan itu sendiri terhadap politik. Artinya, perempuan yang hadir dalam jabatan politik dapat menjadi role model bagi perempuan lain bahwa keberadaannya itu penting dan diakui dalam politik.
Jika demokrasi tidak mengikutsertakan perempuan, demokrasi dianggap hanya untuk separuh warga negaranya.
Alasan ketiga adalah substance. Artinya, perempuan yang hadir dalam politik adalah pihak yang paling memahami substansi dari isu-isu spesifik perempuan sehingga ia dapat menjadi pesan dan pembawa pesan isu perempuan. Terakhir, perempuan diharapkan dapat mengubah style politik yang lebih ramah dan berwajah perempuan sehingga kebijakan berkeadilan jender dapat lebih banyak diproduksi.
Namun, perempuan masih dihadapkan pada beberapa persoalan yang menghambat keterwakilannya. Secara sederhana, beragam hambatan tersebut sebetulnya mengarah kepada lima persoalan penting yang saling berkelindan, yaitu cash (status kemandirian finansial perempuan), culture (budaya patriarki), caring (peran ganda perempuan untuk menjalankan peran produktif dan reproduktif), confident (kurangnya kepercayaan diri seorang perempuan ketika terjun ke dunia politik), dan capability (kemampuan berpolitik).
Tanggung jawab parpol
Berkaitan dengan hal yang terakhir, kapasitas politik seorang perempuan sebetulnya merupakan tanggung jawab parpol untuk mendidik kader-kader perempuan agar cakap dalam politik. Sayangnya, parpol justru kerap menghadirkan hambatan langit-langit kaca. Masculinity trap atau perangkap maskulinitas bagi perempuan dalam parpol masih terjadi.
Parpol seolah memberikan akses yang sama bagi setiap kadernya, tetapi kenyataannya tidak. Dalam menempatkan perempuan pada posisi strategis partai, misalnya, hasil survei Tim Partai Politik LIPI pada 2021 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Maluku menunjukkan, 92 persen dari 264 responden, yang merupakan kader sembilan parpol peraih suara di DPR tahun 2019-2024, mengatakan bahwa parpol memberikan peluang (yang besar dan sangat besar) bagi perempuan untuk menempati posisi strategis di partai.
Namun, jika ukuran posisi strategis adalah ketua umum dan sekjen, faktanya hanya PDI-P yang pernah memiliki ketua umum perempuan dan tidak ada satu partai pun yang pernah menempatkan perempuan sebagai sekjen.
Begitu pula berkaitan dengan pencalonan legislatif, 73 persen responden mengatakan bahwa parpol memberikan peluang (yang sangat besar dan besar) terhadap perempuan untuk bisa ditempatkan di nomor urut kecil. Namun, faktanya mayoritas perempuan masih ditempatkan pada nomor 3, 6, dan seterusnya. Padahal, beragam data menunjukkan bahwa nomor urut kecil (1 atau 2) masih relevan menjadi faktor keterpilihan perempuan dalam pemilu legislatif.
Baca Juga: Jalan Berliku Menjaring Caleg Perempuan
Dengan kondisi parpol yang demikian, akses pada sumber-sumber kekuasaan tidak dengan begitu mudahnya diperoleh oleh perempuan. Padahal, semangat mengafirmansi perempuan dalam politik perlu disadari bersama sebagai sebuah keperluan mendesak. Apalagi dalam politik, starting point perempuan dan laki-laki pun berbeda.
Dengan tidak terbebaninya peran reproduktif dan urusan domestik yang dikonstruksi oleh masyarakat, laki-laki dapat lebih mudah mengaktualisasikan diri termasuk dalam politik. Pada tingkat yang lebih ekstrem, kondisi relasi kuasa yang timpang tersebut bahkan dapat membuat perempuan merasa inferior dalam dunia politik. Konsekuensinya, dalam kasus pemilihan legislatif, demi tidak ”tereliminasi” dalam suatu daerah pemilihan, tidak jarang parpol akhirnya menempatkan perempuan siapa saja pada daftar calon.
Konsekuensi hambatan langit-langit kaca ini dapat lebih kompleks dalam pencalonan eksekutif (kepala daerah bahkan presiden). Meskipun logika pencalonan dan sistem pemilu ekskutif dengan legislatif berbeda, di mana calon dapat diusung oleh parpol/gabungan parpol atau perseorangan (untuk kepala daerah), faktanya untuk pilkada persentase kemenangan calon independen lebih kecil daripada calon yang diusung oleh parpol/gabungan parpol. Artinya, parpol tetap bertanggung jawab untuk mempersiapkan kader-kader perempuan untuk siap dicalonkan sebagai kepala daerah, termasuk berupaya memunculkan figur perempuan calon presiden yang berkompetensi.
Peluang pemilu serentak
Di tengah beragam hambatan bagi perempuan untuk berkarier dalam politik, sebetulnya terdapat peluang untuk mendorong keterwakilan perempuan. Jika kita berbicara konteks pemilu legislatif, sistem pemilu dan segala perubahan termasuk unsur di dalamnya berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan dalam politik (Lijphart dan Aitkin, 1994; Matland, 2005; McAllister dan Studlar, 2002; Norris, 2004, 2006; Roberts, Seawright, dan Cyr, 2013; Sweintani, 2019; Amalia, Budiatri, Sweinstani, dkk, 2021).
Dari beragam sistem pemilu yang ada, sistem pemilu proporsional dinilai sebagai sistem pemilu yang paling ramah perempuan (Lijphart dan Aitkin, 1994; Matland, 2005; Norris, 2006; Of, 2014).
Studi juga menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu serentak di Indonesia memberikan keuntungan tersendiri bagi perempuan (Amalia, Budiatri, Sweinstani, dkk, 2021). Penelitian yang dilakukan pada 2019-2020 tersebut menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan efek ekor jas dari pemilihan presiden. Hal ini dapat dibuktikan dari tingginya persentase suara perempuan di dapil, di mana pasangan capres-cawapres yang diusung oleh partai pengusung mereka memperoleh suara terbanyak.
Penelitian yang dilakukan pada 2019-2020 tersebut menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan efek ekor jas dari pemilihan presiden.
Simpulan studi tersebut menjadi unik karena fenomena di Indonesia justru membantah beberapa studi terdahulu yang menyatakan bahwa pemilu serentak akan menghambat keterpilihan perempuan. Memang benar diakui oleh beberapa caleg perempuan bahwa pemilu serentak ini membuat mereka harus bekerja ekstra karena harus mengampanyekan dirinya sendiri, partainya, dan calon presidennya.
Namun, ternyata kampanye bertingkat inilah yang justru menjadi faktor perempuan mendapatkan efek ekor jas dari pemilu serentak. Strategi ini menjadi semakin efektif terutama ketika menyasar swing voters yang belum memiliki pilihan untuk calon anggota legislatif.
Berkaca pada pengalaman pemilu serentak 2019, strategi yang sama sebetulnya juga dapat direduplikasi oleh kandidat perempuan, tidak hanya oleh calon legislator, tetapi juga oleh perempuan calon kepala daerah. Tentu sedikit berbeda dengan pemilihan legislatif, bagi perempuan calon kepala daerah kehadirannya tidak saja berkaitan dengan perihal keterwakilan, tetapi juga tentang kepemimpinan perempuan. Oleh karena itu, rekam jejak, kapasitas, dan ideologi jender juga perlu menjadi perhatian bagi perempuan calon kepala daerah.
Parpol sebagai gerbang utama
Bagaimanapun pilihan sistem pemilu memberikan peluang secara institusional bagi keterwakilan perempuan. Namun, sistem pemilu bukan penentu tunggal yang memengaruhi jumlah perempuan terpilih. Terdapat faktor-faktor lain yang tentu dapat menentukan keterpilihan perempuan.
Dalam hal ini, sistem pemilu membentuk kompetisi caleg antarparpol, tetapi parpollah yang menentukan kompetisi internalnya. Perihal bagaimana merekrut, menyeleksi, hingga membina kandidat, sepenuhnya ada di tangan parpol pengusung.
Langkah awal yang dapat dilakukan parpol untuk mendorong keterwakilan perempuan adalah melalui mekanisme perekrutan caleg. Meski secara umum perekrutan caleg memiliki tiga tahapan penting, yaitu penjaringan, penyaringan, dan penetapan, pada kenyataannya perekrutan bisa saja dilaksanakan secara by pass. Artinya, seseorang dapat langsung menjadi kandidat tanpa perlu melalui beragam tahapan perekrutan caleg di suatu parpol.
Proses yang demikian juga sering terjadi dalam proses perekrutan perempuan caleg. Alasan klise yang biasanya muncul di permukaan adalah tidak ada calon perempuan yang tersedia. Alasan ini tentu tidak dapat diterima begitu saja. Jika hal tersebut benar, sudah seharusnya partai mengader perempuan politisi dengan serius.
Jika dinilai perempuan dalam partai politik tidak kompeten, partai wajib membuatnya menjadi kompeten. Ketika perekrutan politik dilogikakan sebagai proses supply and demand, partai perlu mempersiapkan supply (kapasitas) perempuan agar sesuai dengan demand (pilihan gatekeeper) yang dibutuhkan.
Langkah ketiga yang juga dapat dilakukan partai adalah dengan menerapkan voluntary women quota di partainya.
Untuk menciptakan kader-kader perempuan potensial tersebut, partai dapat memulainya dengan langkah yang kedua, yaitu memanfaatkan anggaran bantuan untuk kepentingan pendidikan politik perempuan. Berkaitan dengan hal ini, kebijakan programatik dalam pendanaan partai dengan, misalnya, mendorong partai untuk menyisihkan paling tidak 10 persen anggaran bantuan partai untuk kegiatan peningkatan kapasitas kader perempuan, perlu untuk didorong melalui regulasi yang absah.
Strategi demikian telah dilakukan oleh beberapa negara, seperti Italia, Kostarika, dan Meksiko. Dengan demikian, adanya anggaran ini diharapkan mampu meningkatkan literasi politik kader perempuan dalam partai yang tidak sebatas kepada pengetahuan cara memenangi pemilu. Namun, yang lebih penting dari itu adalah pengetahuan dan kecakapan dalam memerankan perannya sebagai wakil rakyat.
Langkah ketiga yang juga dapat dilakukan partai adalah dengan menerapkan voluntary women quota di partainya. Langkah ini memang dapat dikatakan sebagai langkah fast track untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Kuota perempuan sukarela ini artinya adalah partai secara sadar dan sukarela memberikan jumlah khusus bagi perempuan pada posisi-posisi tertentu, termasuk dalam pencalonan, bahkan pada tingkatan yang lebih ekstrem, pada kursi terpilih (seperti reserved seat).
Baca Juga: Perihal 30 Persen Keterwakilan Perempuan
Dengan kuota sukarela ini, misalnya, partai telah menentukan bahwa minimal 30 persen dari jabatan strategis di parpol adalah perempuan. Atau partai dapat menentukan, misalnya, perempuan ditempatkan pada nomor urut 1 pada minimal 50 persen dari dapil yang diikuti oleh partai dan bentuk-bentuk kuota sukarela lainnya.
Ketika setidaknya tiga langkah tersebut dapat dilakukan oleh partai, partai dapat memiliki kader-kader perempuan yang berkompeten yang siap dicalonkan di ranah legislatif ataupun eksekutif. Dengan demikian, kehadiran perempuan dalam politik dapat diproyeksikan meningkat secara jumlah dan kualitas.
Karena itu, untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, parpol perlu lebih berwajah perempuan dengan mengintegrasikan perempuan, baik dalam struktur maupun nilai-nilai dan kebiasaan dalam partai.
(Mouliza K Donna Sweinstani, Peneliti Pusat Riset Politik BRIN)
Instagram: moulizadonna29