Artikel Anggi Afriansyah berjudul ”Guru yang Membaca” (Kompas, 2/2/2023) mengingatkan saya, seorang guru, pada kerinduan selama ini. Kerinduan yang sederhana: mengajak anak-anak gemar membaca buku.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di dunia pendidikan, saya mengkhususkan waktu lima menit sebelum setiap jam mata pelajaran Bahasa Inggris untuk bersama-sama membaca buku. Boleh buku apa pun, boleh nondiktat, yang penting diminati.
Saya dapati bahwa penyebab siswa, atau siapa pun, menjadi tidak gemar membaca buku karena mereka membaca buku yang salah. Umumnya tidak harmonis dengan minat pribadi.
Langkah-langkah kecil nan konsisten di setiap jam mata pelajaran ini ternyata berbuah manis. Sepanjang sepuluh tahun mengajar, saya menyaksikan metanoia atau perubahan pola pikir dan kebiasaan para siswa. Bahkan yang semula tidak berminat, akhirnya bisa menikmati aktivitas ini. Hati bibliophile (pencinta buku) mana yang tak berbunga-bunga ketika melihat anak-anak muda itu jengkel saat waktu lima menit telah usai?
Harap saya, mereka pun melakukannya di rumah dan dengan dukungan orangtua. Paling tidak orangtua memberikan ”waktu berkualitas” secara konkret: menyediakan ruang lega bagi siswa untuk tetirah di sudut terpencil pikiran bersama buku yang dinikmatinya.
Bukankah kemerdekaan belajar riang gembira ini merupakan saripati pendidikan? Bukankah untuk pendidikan lembaga sekolah dan kurikulum dirancang?
Seandainya saya seorang siswa, saya akan bergirang mendapatkan kebebasan melalui keindahan membaca, esensi keberadaban. Seandainya saya seorang siswa, saya akan mengenang dalam bahagia masa-masa di mana dahaga jiwa yang tak berkesudahan dipuaskan ilmu yang telah dibangkitkan. Seandainya saya seorang siswa….
Paksi Ekanto PutroGriyo Mapan Sentosa, Tambak Sawah, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur
Mungkin Rivai Apin
Kolom L Wilardjo, ”Deja Vu” (Kompas, 24/1/2023), mengutip baris puisi: ”... gerimis mempercepat kelam”, yang disebut karya Mochtar Apin.
Ini telah dikoreksi oleh Pamusuk Eneste karena yang benar adalah baris puisi karya Chairil Anwar (Kompas, 31/1/2023).
Saya menduga, ketika L Wilardjo menulis nama Mochtar Apin, sesungguhnya yang ia pikirkan adalah nama penyair Rivai Apin, saudara kandung Mochtar. Mochtar dikenal sebagai ilustrator kitab sastra.
Bersama Chairil Anwar, Asrul Sani, Baharuddin, dan Rivai, Mochtar mendirikan organisasi seni Gelanggang, tahun 1946. Saya pernah mewawancarai Mochtar Apin. Ia mengatakan bahwa dirinya dikenal sebagai ilustrator dan pelukis, bukan penyair.
Tumpukan ingatan yang menyebabkan salah duga adalah biasa. Pada dekade kedua tahun 2000 populer ungkapan romantis ”Rindu itu berat, biar aku saja”, yang ditulis Pidi Baiq dalam novel Dilan.
Kalimat itu mengingatkan saya pada baris puisi ”Madura” karya Abdul Hadi WM. ”Kapan saat menebal pada waktu. Sebab aku tahu yang paling berat adalah rindu”.
Puisi itu dicipta tahun 1967, sekitar 50 tahun sebelum Dilan. Saya menduga, ketika menulis, Bung Pidi teringat puisi Abdul Hadi.
Agus Dermawan TKelapa Gading Permai, Jakarta Utara
Pikun
Di Surat kepada Redaksi (Kompas, 31/1/2023), Pamusuk Eneste mengoreksi saya. Bahwa baris ”gerimis mempercepat kelam” itu bukan dalam puisi Mochtar Apin seperti yang saya tulis, melainkan milik Chairil Anwar. Terima kasih atas koreksi itu.
Saya menjadi pelajar SMA 1955-1958; sudah lebih dari 63 tahun. Jadi, secara alami ingatan saya menurun. Saya menjadi pelupa (forgetful), berlanjut menjadi pikun (senile).
Yang saya masih lupa-lupa-ingat apakah Mochtar Apin itu ada hubungannya dengan ”Tiga Menguak Takdir”?
L WilardjoKlaseman, Salatiga 50721
Catatan Redaksi:
Terima kasih kepada L Wilardjo, Pamusuk Eneste, dan Agus Dermawan T atas diskusi yang mencerahkan ini.
Buku Tiga Menguak Takdir diterbitkan Balai Pustaka, 1950. Penulisnya Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani.
Seperti disampaikan Agus Dermawan, Mochtar Apin adalah ilustrator dan pelukis.