Kepemimpinan RI di ASEAN tahun ini ditandai kesediaan Filipina menambah empat pangkalan militer baru untuk bisa diakses oleh Amerika Serikat.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Tahun 2023, Indonesia memegang keketuaan ASEAN. Bagaimana organisasi kawasan itu merumuskan dan menjalankan agenda dipengaruhi sangat besar oleh kepemimpinan Indonesia. Visi dan kekuatan diplomasi RI bakal memberi warna dominan terhadap perjalanan ASEAN tahun 2023.
Isu Myanmar jelas krusial dan harus diselesaikan sesegera mungkin. Penderitaan rakyat Myanmar di bawah junta militer tak boleh berlangsung lebih lama lagi. Selain itu, percepatan perundingan panduan tata perilaku (code of conduct/COC) harus diwujudkan guna memastikan tak ada eskalasi konflik dalam sengketa perairan Laut China Selatan di antara negara ASEAN dan China.
Namun, ada isu krusial lain yang bahkan mungkin menantang eksistensi ASEAN, yakni ancaman perang di Taiwan sebagai manifestasi persaingan Amerika Serikat-China. Pada 2022, kita melihat China menggelar latihan militer besar-besaran di sekitar Taiwan yang praktis merupakan blokade. Latihan yang tak ubahnya unjuk kekuatan ini diadakan setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi berkunjung ke Taipei.
Unjuk kekuatan militer China di sekitar Taiwan bisa jadi juga bertujuan memberikan efek gentar bagi AS dan sekutunya apabila mereka bertindak ”melebihi batas” dalam isu Taiwan. Dengan kata lain, saat Barat dinilai melewati batas, operasi militer tak segan digelar Beijing di Taiwan dan tak mudah bagi AS bersama sekutunya untuk menandingi kekuatan China.
Akan tetapi, Panglima Komando Indo-Pasifik AS (Mei 2018-April 2021) Laksamana Philip S Davidson memberi isyarat mengenai kesiapan China ”menyerang” Taiwan tahun 2027 atau tak lagi sekadar unjuk kekuatan untuk memberi efek gentar. Lewat pernyataan Davidson di hadapan komite Senat AS ini, bisa jadi, ada atau tidak aksi berlebihan dari Washington, Beijing berpotensi menyerang Taiwan empat tahun lagi guna mewujudkan kebijakan satu China sepenuhnya.
Dalam konteks itu, Laut China Selatan berperan penting. Saat operasi militer Beijing berlangsung, Laut China Selatan menjadi gerbang bagi kekuatan AS dan sekutu merespons krisis di Taiwan. Kepulauan Filipina pun menjadi strategis.
Maka, tak mengherankan, China membangun infrastruktur di Kepulauan Spratly meski Filipina berkali-kali menyatakan kepulauan ini bagian dari kedaulatannya. Kunjungan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin ke Filipina dan pemberian izin kepada angkatan bersenjata AS untuk mengakses tambahan pangkalan militer Filipina jelas merespons aktivitas China.
Hal lebih mencemaskan: seandainya pecah, konflik bersenjata di Taiwan tak hanya mengganggu perekonomian Asia Tenggara, tetapi juga akan ”memecah belah” ASEAN. Bisa jadi ada anggotanya yang terang-terangan memihak AS, sementara ada pula anggota ASEAN bersimpati kepada China. Situasi ini tentu tak mudah dihadapi ASEAN.