Tiap produk dan jasa punya pasarnya sendiri. Pandangan ini sering diatribusikan sebagai prinsip kapitalisme, ideologi yang umum dikecam melalui seni. Namun, realitasnya saat ini roda bisnislah yang memutar dunia seni.
Oleh
Lynda Ibrahim
·4 menit baca
SUPRIYANTO
-
Singapura membuka tahun dengan Singapore Art Week (SAW) di seantero kota, di mana art fair baru Art SG salah satu tujuan utama. Seratusan galeri internasional memenuhi dua lantai Marina Bay Sands. Karya seni kontemporer Indonesia diusung dua galeri Indonesia dan beberapa galeri asing. Sebagai penikmat seni, saya bangga Indonesia hadir di perhelatan asing, tapi bagaimana semesta di luar subyektivitas ini?
Saya pernah mendengar gumaman beberapa pengelola galeri (gallerist) Indonesia bahwa karya seni kontemporer Indonesia, walau mulai dikenal, mayoritas dibeli kolektor Indonesia saat dibawa ke art fair asing. Selama di Art SG, saya mencoba menggali lebih jauh.
Gajah Gallery yang berpusat di Singapura dengan cabang di Yogyakarta dan Jakarta memenuhi dinding booth dengan sapuan kuas ikonis Erizal AS, goresan khas Yunizar, sentilan nakal IGA Kadek Murniasih tentang cara kita melihat seksualitas wanita, dan sederet karya dari Rudi Mantofani, Rosit Mulyadi, dan Mangu Putra. Gallerist Joseph Kong menegaskan kurang lebih separuh karya ini dibeli oleh kolektor dari luar Indonesia, walau tak bersedia merincikan.
Mizuma Gallery (Tokyo) dipenuhi mulai dari visualisasi Entang Wiharso atas Donald Trump, lukisan Made Djirna, sampai karya seniman muda Indieguerillas dan Iwan Effendi. Dikenal lebih dulu sebagai pendiri Papermoon Puppet bersama istrinya, Iwan bercerita guratan kanvasnya dibeli kolektor asing jauh sebelum kolektor Indonesia. Bersama Iwan saya mengunjungi Esplanade Theatre: instalasi Papermoon Puppet di atrium, sedang mural Iwan sejak 2016 mewarnai koridor eskalator.
SUPRIYANTO
-
Indieguerillas, duo Yogyakarta yang sedang melejit, menggelar pameran solo di cabang Mizuma di Gillman Barracks. Saat saya datang, ramai pengunjung muda dan siswa terlihat merespons keliaran grafis khas Indieguerillas. Di galeri berbeda di Gillman, Citra Sasmita, yang sedang menjalani residensi di sebuah institusi Singapura, menggelar instalasi multimedia tentang posisi wanita dalam tatanan sosial-budaya Bali. Gallerist Audrey (Yeo Workshop) yang membawa karya Citra di Art SG memuji kepekaan isu di balik karya itu dan menyebutkan adanya perhatian kolektor.
Di luar Art SG, bintang muda Iabadiou Piko dan Didin Jirot juga dihadirkan ruang komunal Sphere.
Dalam kesempatan terpisah, mitra pendiri Art SG, Magnus Renfrew, menyatakan kualitas seni kontemporer Asia ada di kelas dunia—didiskusikan di forum global, dikoleksi institusi internasional. Renfrew melihat kolektor mulai menyadari karya seni Asia bukan monolitik. Khusus Indonesia, Renfrew menilai talentanya mengagumkan dan masuk dalam arus percakapan seni dunia. Menurut Renfrew, terpilihnya Ruangrupa tahun lalu sebagai direktur artistik pameran bergengsi Documenta di Jerman bukti pengakuan dunia, dan bahkan kontroversi atas kurasi sebuah karya memperlebar percakapan tentang seni Indonesia.
Apa lantas semuanya pelangi emas bagi seni Indonesia? Menghindar bias, saya meneruskan bertanya.
Vivian Har, gallerist Tang Contemporary Art (Hong Kong) yang telah lama mengusung Heri Dono, dan saat Art SG memajang karyanya tentang naga di perut gunung berapi sarat simbol kekuasaan, menyebutkan kecenderungan kolektor di pasarnya terhadap karya abstrak dalam palet monokrom, sehingga edukasi diperlukan untuk karya yang relatif ”beda”.
Hampir senada, Sojung Kang dari Arario Gallery (Seoul), menyebutkan kecondongan kolektor Korea Selatan terhadap karya tak figuratif dan berwarna konservatif. Karya semarak Eko Nugroho dan Uji Handoko dibawa ke Art SG, dan menurut sang gallerist selalu disambut baik penggemar seni muda saat dipamerkan di Korea Selatan, namun masih perlu dikenalkan lebih jauh ke kolektor senior. Pembelajaran menarik bagi saya mengingat Eko Nugroho bukan pemula di kancah internasional, sedekade lalu ia diminta Louis Vuitton mendesainkan syal eksklusif. Ilmu menarik lainnya? Ukuran kanvas terpopuler di Korea Selatan ternyata 130 x 110 cm, mungkin dipengaruhi bentuk dinding kediaman.
Latar belakang pendidikan dan pekerjaan membuat saya percaya tiap produk dan jasa punya pasarnya sendiri. Pandangan ini sering diatribusikan sebagai prinsip kapitalisme, ideologi yang umum dikecam melalui seni. Namun, realitasnya saat ini roda bisnislah, walau berbasis kreativitas dan idealisme, yang memutar dunia seni. Institusi pun harus berpromosi dan menggalang dana—contoh terkenal Met Gala yang diselenggarakan Costume Institute dari Metropolitan Museum of Art (The Met) di New York.
Jadi, dalam kerangka realitas ini, daya jual jadi unsur tak terelakkan. Dan dari obrolan saya dengan pelaku bisnis seni kontemporer selama SAW, karya Indonesia sudah punya daya jual di luar. Bukan jago kandang.
Refleksi paling realistis datang dari Andonowati, Direktur ArtSociates, salah satu galeri Indonesia di Art SG. ”Ikut art fair ya investasi untuk berkembang,” cetusnya. Beliau berpendapat, bila di awal ikut acara internasional belum dikenal, justru harus lebih sering memberanikan diri berpartisipasi. Pengambilan risiko Andonowati tampaknya disertai pencermatan pasar—seri gambar raksasa Eddy Susanto di galerinya mengilustrasikan, antara lain, peta kolonial Singapura, dan sudah terbeli saat pembukaan. Mujahidin Nurrahman, yang bekerja dengan medium kertas berbentuk bak renda raksasa, sejak awal dikoleksi warga Singapura yang memajangnya di resor di Jepang.
Bukan hanya sepakat dengan Andonowati, saya merasa pemahaman praktis ini ada di galeri Indonesia lain, terlepas dari merambah ke mancanegara atau tidak. Secara domestik, acara seni kian diminati kaum urban walau butuh edukasi mengingat terbatasnya seni dalam pendidikan formal Indonesia. Contoh, masyarakat masih acap bingung membedakan antara institusi seperti Galeri Nasional dan MACAN, pameran konseptual bak Jakarta Biennale, atau art fair komersial model Artjog dan Art Jakarta.
Pertanyaan berikutnya, dengan seluruh potensi ini, mampukah Indonesia menyangga art fair besar internasional? Kembali ke Renfrew, ia menyebut posisi Singapura sebagai titik kumpul-silang (hub) regional dengan segala ketersediaan infrastruktur dan kemudahan logistik menjadi faktor utama pemilihan lokasi, hal-hal yang Renfrew secara halus tak sebut tentang Indonesia. Sedihnya, saya harus mengakui ini. Rantai birokrasi, skema pajak, keamanan bahkan kepastian peraturan dibutuhkan untuk acara internasional, pasal yang sering saya dengar dikeluhkan pengusaha lokal. Jadi mungkin inilah posisi kita sampai ada yang mau dan mampu mendobrak—talenta seninya dihormati di mancanegara, rumahnya belum memadai jadi panggung dunia.