Pelindungan PRT, Siapa Peduli?
Banyaknya kasus tindak kekerasan dan eksploitasi terhadap pekerja rumah tangga menunjukkan pelindungan terhadap PRT masih lemah. Menjadi tanggung jawab dan panggilan moral bagi para wakil rakyat untuk peduli nasib PRT.
Kisah pekerja rumah tangga atau PRT kerap kali menguras air mata. Di balik peran penting mereka menyelesaikan berbagai tugas domestik rumah tangga, ternyata hal itu tidak sebanding dengan adanya perlindungan hukum yang layak.
Di sejumlah daerah tidak sekali-dua kali muncul kasus PRT yang menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan majikannya. Selain upah yang jauh dari layak, fasilitas yang tidak memadai, dan jam kerja yang panjang, tidak jarang ada PRT yang meninggal karena dianiaya majikannya.
Berdasarkan catatan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), sejak 2012 hingga 2020, kasus kekerasan terhadap PRT cenderung terus naik. Jika pada 2012 ada 327 kasus, pada 2020 naik menjadi 842 kasus. Kasus kekerasan ini dapat berupa kekerasan fisik, psikis, ekonomi, perdagangan manusia, dan tidak jarang gabungan semua itu, yakni berupa multi-kekerasan yang ujung-ujungnya menyebabkan PRT harus meregang nyawa.
Baca juga : Urgensi Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga
Risiko PRT
Berapa jumlah pasti PRT di Indonesia hingga kini masih merupakan dark number (tidak mencerminkan realitas empirisnya) dan belum bisa dipastikan angkanya. Organisasi Buruh Internasional (ILO), misalnya, pada 2015 berhasil mendata minimal ada 13.081 PRT. Data ini berasal dari tujuh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif terlibat dalam program pelindungan PRT.
Diperkirakan, menurut survei ILO, jumlah PRT di Indonesia minimal sebanyak 4,2 juta orang. Mereka tersebar di rumah tangga yang membutuhkan bantuan PRT untuk mengerjakan pekerjaan domestik. Dibandingkan laki-laki, jumlah PRT perempuan diperkirakan lebih banyak. Data pada 2018 mencatat sebesar 84,27 persen PRT di Indonesia adalah perempuan.
Dominasi perempuan yang menjadi PRT ini sudah berlangsung dari tahun ke tahun karena pekerjaan PRT umumnya adalah pekerjaan domestik yang selama ini dianggap menjadi tanggung jawab perempuan. Menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah PRT perempuan sebesar 74,6 persen, sementara laki-laki hanya 25,4 persen (2015).
Keberadaan dan kebutuhan rumah tangga akan PRT ini di satu sisi memang membuka peluang lapangan kerja yang lebih besar bagi perempuan. Tetapi, di sisi yang lain, dominasi keterlibatan perempuan sebagai PRT sesungguhnya mengidap sejumlah risiko bagi PRT perempuan.
Pertama, perempuan yang bekerja sebagai PRT umumnya rawan menjadi korban tindak kekerasan, termasuk tindak kekerasan seksual. Menurut data yang ada, jenis kekerasan yang dialami PRT sebagian besar (41 persen) adalah tindak kekerasan psikis, yakni berupa tindak pelecehan, perendahan, isolasi atau penyekapan, dan pencemaran nama baik. Sebanyak 37 persen PRT lainnya mengalami kekerasan ekonomi, seperti tidak diberi upah yang layak, menjadi korban PHK karena sakit, dan tidak jarang pula PRT yang tidak mendapatkan THR karena tindakan sepihak majikannya. Sisanya 22 persen PRT bahkan dilaporkan mengalami multi-kekerasan berupa kekerasan seksual hingga pencederaan fisik yang parah.
Kedua, akibat posisi sosialnya yang lemah, PRT perempuan sering kali pula rawan mengalami eksploitasi karena mendapatkan upah yang jauh dari layak. Menurut catatan Okezone (10/5/2022), kisaran gaji PRT tahun 2022 di sejumlah wilayah Indonesia adalah sebagai berikut. Di DKI Jakarta berkisar Rp 2,3 juta hingga Rp 2,5 juta, di Jawa Barat berkisar Rp 1,8 juta hingga Rp 2,3 juta, di Jawa Tengah Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta. Rata-rata gaji yang diterima PRT di bawah upah minimum regional.
Bagi PRT yang menginap di rumah majikan sekaligus tempat kerjanya, mereka umumnya rawan diperlakukan salah karena harus bekerja lebih dari 40 jam per minggu.
Dibandingkan dengan beban kerja yang harus ditanggung, besarnya gaji PRT sering kali tidak sepadan. Di kalangan PRT yang menginap, sudah bukan rahasia lagi mereka umumnya harus bekerja tanpa batas waktu. Mereka bekerja nyaris 24 jam, tergantung pada perintah majikannya. Beban pekerjaan mereka tidak hanya memasak, mencuci, menyetrika, dan mengasuh anak majikan, tetapi tidak jarang juga berbagai pekerjaan lain, seperti ngeroki dan memijat majikan, membawa anjing peliharaan majikan jalan-jalan, dan lain sebagainya yang sebetulnya bukan menjadi tanggung jawab PRT.
Laporan Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, bagi PRT yang menginap di rumah majikan sekaligus tempat kerjanya, mereka umumnya rawan diperlakukan salah karena harus bekerja lebih dari 40 jam per minggu. Selama 2013 hingga 2015, dilaporkan terjadi tren kenaikan PRT dengan persentase jam kerja lebih dari 12 jam per hari. Jika pada 2013 hanya 1,04 persen PRT yang bekerja lebih dari 12 jam per hari, pada 2015 jumlahnya naik menjadi 2,07 persen. Di luar data resmi Kemenaker, praktik yang terjadi bukan tidak mungkin lebih eksploitatif.
Ketiga, persoalan lain yang tak kalah mencemaskan adalah risiko PRT yang kerap mengalami alienasi, terisolasi, ruang geraknya dibatasi, sering kali dilarang bepergian, dan melakukan berbagai pekerjaan yang bertentangan dengan akar keyakinan agama dan budayanya. Seorang PRT yang diminta majikan memasak makanan tertentu yang menurut keyakinannya haram biasanya tidak bisa menolak karena takut dimarahi majikannya. Padahal, memegang dan memasak makanan yang haram itu benar-benar menyiksa psikologis dan keyakinan mereka.
Siapa peduli?
Melihat banyaknya kasus tindak kekerasan dan eksploitasi yang dialami PRT, kebutuhan akan perlindungan dan penanganan yang tepat sesungguhnya mendesak untuk dilakukan. Harus diakui, PRT rawan menjadi korban ulah majikan karena kurangnya atau bahkan tiadanya pelindungan hukum yang memadai atas kerja dan posisi mereka sebagai pekerja di sektor informal.
Saat ini, sudah 19 tahun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) mengendap di Senayan. Dalam catatan harian Kompas, sejak pertengahan tahun 2020, proses pembahasan RUU Perlindungan PRT ini sudah selesai di Badan Legislasi DPR dan tinggal menunggu tahap paripurna.
Baca juga : Menanti Janji Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga
Namun, sidang paripurna untuk mengesahkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR tak kunjung dilakukan. Padahal, RUU ini mendesak untuk segera dibahas dan disahkan jika tidak ingin korban-korban terus berjatuhan di kalangan PRT. Tiadanya kepastian hukum tidak hanya membuat posisi PRT lemah, tetapi juga membuka peluang bagi terjadinya tindak eksploitasi dan perlakuan semena-mena orang yang tidak bertanggung jawab.
Selain ulah sebagian majikan yang kerap kali alpa pada hak-hak PRT, tindak perlakuan yang merugikan PRT juga kerap datang dari para calo penyalur dan oknum lain yang menjadikan PRT sebagai komoditas yang bisa dipakai untuk mengeruk keuntungan. Ibarat perempuan di sarang penyamun, posisi PRT dewasa ini memang rawan untuk diperlakukan salah.
Sudah menjadi tanggung jawab dan panggilan moral bagi para wakil rakyat untuk mau menoleh dan peduli pada nasib PRT di Tanah Air. Jangan sampai terjadi, hanya karena UU tentang PRT tidak mendatangkan keuntungan ekonomi, lantas para wakil rakyat kita mengabaikannya begitu saja.
Bagong Suyanto, Dekan dan Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga