Satu Abad Nahdlatul Ulama, Menggagas Ukhuwah Manusia dan Teknologi
Kehadiran kecerdasan buatan membuka diskursus tentang hubungan manusia dengan teknologi. Pada usia seabad, NU perlu memasuki ruang-ruang diskursus itu.

Seorang nahdliyin berswafoto dengan latar poster Resepsi Puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama di Kantor Pusat PBNU, Jakarta, saat digelar konferensi pers menjelang acara tersebut, Jumat (27/1/2023). Kemajuan teknologi memunculkan pertanyaan terkait dengan hubungan antara manusia dan teknologi.
Menghidupkan Gus Dur dan PBNU (Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama). Seorang sahabat memberikan dua buah buku itu pada pertengahan Januari.
Sejenak kami berbincang ihwal perkembangan teknologi informasi. Mengenai ChatGPT. Salah satu mesin kecerdasan artifisial (AI) komunikatif generasi ketiga besutan OpenAI dan bisa merespons hampir semua pertanyaan dengan struktur bahasa manusia. Termasuk juga menuliskan kode pemrograman komputer, menyusun naskah novel dan buku, menjawab berbagai pertanyaan mengenai agama, dan banyak lagi. Inilah mesin yang ”berpikir secara mandiri” dengan ”buah pikir” relatif akurat.
Perhatian saya lalu fokus pada dua buah buku tadi. Buku pertama ditulis AS Laksana (2021). Isinya pengalaman Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya tatkala menjadi juru bicara Presiden RI KH Abdurrahman Wahid pada 1999-2001. Buku kedua ditulis Gus Yahya (2020) tentang gagasan-gagasannya untuk Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Sejumlah hal yang dipaparkan relevan dengan tuntutan terhadap eksistensi Nahdlatul Ulama (NU) memasuki abad kedua setelah didirikan pada 1926 atau 1344 Hijriah silam. Misalnya, tentang persaudaraan sesama umat manusia (ukhuwah basyariyah) yang ditetapkan NU sejak 1984 dan kini semakin menemukan relevansinya sebagai pelengkap persaudaraan sesama warga satu bangsa (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah).
Secara singkat, dibahas pula perihal teknologi informasi dan AI berikut sekelumit gambaran dampaknya. Namun, belum dibahas tentang fenomena ataupun dampak komunikasi antara manusia dan AI.
Sementara di sisi lain, peradaban kini sudah mulai diformulasikan lewat interaksi atau komunikasi antara manusia dan AI. Contohnya, produksi musik dan gambar dengan peran manusia hanya sebagai pemberi perintah, investasi keuangan otomatis, asisten digital, dan lainnya. Tentu saja, termasuk ChatGPT sebagai AI komunikatif yang ”mengguncang” kemapanan sejumlah pihak dalam beberapa bulan terakhir.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf (kiri) dan Ketua Pengarah Resepsi Puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama Erick Thohir menjelang konferensi pers Resepsi Puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama di Kantor Pusat PBNU, Jakarta, Jumat (27/1/2023). Acara Puncak Resepsi Puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama ini akan diselenggarakan di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Senin (6/2/2023) dan Selasa (7/2/2023).
Keterbatasan teori dan konsep
Namun, tidak hanya NU yang belum memfokuskan perhatian terhadap komunikasi antara manusia dan mesin. Secara umum, interaksi atau praktik komunikasi, dalam tinjauan teoretis dan konseptual, sejauh ini cenderung belum banyak mempertimbangkan hubungan manusia dengan mesin.
Di antara yang sedikit itu, misalnya riset dalam bingkai Human-Machine Communication (HMC). Selebihnya, beragam teori komunikasi kini cenderung berfokus pada interaksi manusia dengan manusia. Misalnya saja, cognitive dissonance theory, expectancy violations theory, spiral of silence, dan lainnya. Computer-mediated communication (CMC) yang menaungi sejumlah teori membahas tentang komunikasi antarmanusia yang diperantarai komputer. Bukan antara manusia dan komputer (mesin).
Dalam istilah Guzman dan Lewis (2020), AI dan interaksi orang-orang dengan teknologi pintar tersebut, tidak cocok dengan paradigma teori komunikasi yang sudah sedemikian lama berfokus pada komunikasi antara manusia dan manusia. Selama ini kita memahami bahwa manusia adalah komunikator dan mesin adalah medium. Belum ada semacam konsensus bahwa mesin juga bisa berperan sebagai komunikator. Sebab itulah, diperlukan ruang telaah anyar untuk bisa memahami keniscayaan terbaru ini.
Meminjam kerangka komunikasi dan kecerdasan artifisial dalam konteks agenda riset komunikasi antara manusia dan mesin (HMC) yang juga ditulis Guzman dan Lewis (2020), kita bisa melihat relevansinya dengan agenda NU untuk merespons peradaban baru yang berkelindan dengan eksistensi di abad ke-2 organisasi tersebut.
Pertama, dimensi fungsional untuk memahami perangkat dan aplikasi teknologi sebagai komunikator. Kedua, dinamika relasional untuk mengasosiasikan individu dengan teknologi serta berhubungan dengan diri dan orang lain. Ketiga, kemunculan implikasi metafisik yang mengaburkan batasan ontologis dalam membentuk manusia, mesin, dan komunikasi.

Logo ChatGPT ditampilkan dalam sebuah layar, 23 Januari 2023. Sejak kemunculannya pada November 2022, chatbot AI ChatGPT telah menggemparkan dunia dengan kemampuannya berkomunikasi dengan manusia.
Dimensi fungsional
Guzman dan Lewis (2020) menyebutkan, sejumlah pertanyaan berikut perlu dipertimbangkan dalam riset terkait dengan HMC. Saat ini kehadiran AI komunikatif (chatbot AI) mulai memunculkan pertanyaan, ihwal di manakah interaksi antara manusia dan AI bisa cocok dengan skema yang terbentuk di sekitar konteks hubungan manusia dengan manusia?
Misalnya saja, bagaimana menentukan fikih tentang perilaku seseorang yang berinteraksi dengan AI untuk menanyakan dan berguru sejumlah hal terkait ajaran agama dan menerimanya dalam praktik beragama?
Juga pertanyaan tentang bagaimana teknologi AI tertentu dirancang sebagai komunikator dan seperti apa orang-orang mempersepsikan AI dalam peran sebagai komunikator? Di dalamnya termasuk pertanyaan ihwal komunikasi jenis baru tersebut, apakah bisa disepadankan dengan kategori komunikasi saat ini? Misalnya saja, bagaimana menentukan fikih tentang perilaku seseorang yang berinteraksi dengan AI untuk menanyakan dan berguru sejumlah hal terkait dengan ajaran agama dan menerimanya dalam praktik beragama?
Kelahiran NU yang berfungsi sebagai pembawa peradaban baru, dua tahun seusai runtuhnya Turki Utsmaniyah dan sewindu setelah Perang Dunia I adalah alasan pentingnya keterlibatan NU di dalam diskursus mengenai peradaban terbaru yang pada saat ini sepertinya mulai didorong oleh kehadiran AI.
Fungsi tersebut sebelumnya diperjuangkan NU oleh para ulama, Nahdlatul Ulama artinya kebangkitan para ulama, sebagai sebuah kebaruan jika dibandingkan dengan perjuangan membangun peradaban yang biasanya dilakukan oleh para politikus. Dengan demikian, kuat pulalah alasan bagi NU untuk menjawab sejumlah pertanyaan kontemporer terkait dengan fungsi AI dalam praktik komunikasi manusia dari perspektif agama.
Dinamika relasional
Hampir empat dekade setelah KH Achmad Shiddiq menyampaikan pentingnya mempraktikkan ukhuwah basyariyah, kita baru mulai memahami signifikansinya sekarang. Pernyataan yang disampaikan dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo itu menegaskan tentang persaudaraan sesama manusia sebagai prasyarat ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah Islamiyah.

Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global DIalogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019). Sophia diperkenalkan sebagai wujud masa depan teknologi AI, yaitu saat manusia dan robot dapat kerja sama di berbagai bidang.
Tentu saja, di tengah sejumlah ketidakteraturan, konflik, dan kekacauan peradaban saat ini, penting untuk menaruh perhatian serius pada persaudaraan sesama manusia. Pasalnya, relasi antarmanusia berujung pada keberadaan masyarakat.
Disigi dari dimensi relasional sebagai komunikator, praktik komunikasi memungkinkan manusia memformulasikan hubungan dan akhirnya membentuk masyarakat (Mead, 1967 dalam Guzman dan Lewis, 2020). Namun, bagaimana dengan praktik komunikasi antara manusia dan mesin? Apakah akan membentuk masyarakat? Jika masyarakat terbentuk dari praktik komunikasi manusia dan mesin, seperti apa bentuknya? Jawaban-jawabannya, sebagian terletak pula di bahu NU sebagai perumus dan penjaga peradaban.
Implikasi metafisik
Apakah AI komunikatif akan berevolusi menjadi ”spesies” baru? Pertanyaan ini bukan tanpa alasan mengingat perkembangan teknologi yang terjadi dalam langkah eksponensial. Diawali 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256, dan seterusnya. Katakanlah saat ini kita berada di angka 16 yang diwakili keberadaan AI komunikatif, seperti ChatGPT. Bayangkan keadaannya sekitar lima tahun atau sepuluh tahun dari sekarang? Atau saat kita memasuki era artificial general intelligence serta artificial super intelligence kelak?

Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global DIalogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Guzman dan Lewis (2020) mempertanyakan, bagaimana kini kita mendefinisikan komunikasi? Apa sifat AI komunikatif dan apa batasannya? Bagaimana manusia menetapkan batasan itu dan dalam derajat seperti apa batas-batas itu berubah? Apa artinya menjadi manusia?
Maka, salah satu upaya yang juga bisa didorong oleh NU adalah dengan memasuki ruang-ruang diskursus tersebut. Menjawab kegelisahan paling mendasar soal eksistensi manusia di dunia.
Sepertinya, selain ukhuwah basyariyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah Islamiyah, kini kita perlu juga mempertimbangkan ihwal hubungan manusia dan teknologi (ukhuwah basyariyah wal tiqniyah).
Wallahu a’lam.
Ingki Rinaldi, Wartawan Kompas 2003-2020; Dosen di Universitas Multimedia Nusantara, Direktur Perusahaan Teknologi Informasi Kudu Data Digital; dan Konsultan Komunikasi.