Memotret Industri Logam Dasar Kita
Tidak ada negara besar yang tidak dibangun dengan sandaran utama pada industri logamnya, sebut saja Jerman dan Amerika Serikat. Mereka besar karena industri logam yang kuat.
Ada satu hal yang mengusik ketika berbicara tentang hilirisasi. Istilah ini makin gencar bergaung terutama pada komoditas tambang. Komoditas tambang yang paling menjadi perhatian tentu saja mineral logam. Sebut saja mineral nikel, mineral bauksit (logam aluminium), mineral tembaga, mineral besi, mineral timah dan lainnya.
Kosa kata ‘hilirisasi’ yang sering diucapkan sekarang, menurut penulis perlu untuk dimengerti dan dikaji kembali, karena jangan sampai menjadi mengecilkan pengertian kata tersebut.
Dalam sudut keilmuan yang berbeda, kata hilirisasi juga menjadi berbeda. Ada dua bagian besar jika kita melihat pemanfaatan mineral logam. Bagian pertama adalah bagaimana mengambil mineral logam yang terdapat dari dalam bumi ke permukaan bumi, segala teknik mulai dari mencari atau mengekplorasi, kemudian didapatkan dan diangkat ke permukaan bumi. Ini adalah ranah keilmuan pertambangan.
Bagian kedua adalah bagaimana mengolah hasil tambang yang sudah ada dipermukaan bumi itu menjadi produk atau barang yang dipakai untuk keperluan manusia, dari oreatau bijih logam menjadi logam.
Dari bijih nikel menjadi plat atau pipa stainless steel, menjadi baterai mobil listrik dan sebagainya, dari bijih bauksit menjadi batang bingkai aluminium, blok mesin, dan lainnya. Ini adalah ranah keilmuan non-pertambangan seperti keilmuan metalurgi dan material, keilmuan mesin, keilmuan industri. Makin ke hilir tentu saja nilai tambah terhadap bahan mentah (ore) atau bijih makin tinggi dan berlipat.
Tuntutan peningkatan nilai tambah hasil tambang dengan hilirisasi dijawab dengan membangun pengolahannya yaitu smelter. Ini kemudian disebut hilirisasi. Tentu saja hilirisasi tambang akan berakhir pada titik ini, dimana bahan tambang menjadi bahan logam ‘siap olah’, seperti ferronikel, alumina atau ingot logam. Harus diakui, hilirisasi tambang hingga ke produk ini memberikan nilai tambah dan menambah banyak devisa.
Tetapi apakah hilirisasi dan pengertiannya sampai titik ini saja?
Deindustrialisasi
Presiden Joko Widodo memang telah mengambil kebijakan untuk menghentikan keran ekspor komoditas dagang dalam bentuk mentah atau ore. Sehingga bijih jenis komoditas harus diolah di dalam negeri. Kebijakan ini kemudian memicu pemilik tambang untuk membangun smelter dan kata hilirisasi menjadi populer.
Investasi pun marak, tercermin dari data yang ditangkap Kementerian Perindustrian (2020), investasi yang besar di sektor industri logam dasar non-ferrous, dapat diyakini ini adalah investasi berbagai smelter seperti nikel dan timah, sangat jauh berbeda dengan investasi di logam hilir.
Ada kecenderungan, investasi di logam hilir menurun terus dari 2018-2020. Ini mengindikasikan bahwa terjadi gejala deindustrialisasi karena industri hilir yang menarik minat investor untuk membangun pabrik-pabrik, padahal bahan baku logam ada, yaitu produk dari smelter-smelter yang dibangun sebagai produk antara untuk diolah ke tahapan dan nilai tambah yang lebih tinggi berikutnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat kontribusi sektor industri terhadap perekonomian nasional masih mencapai 21,57 persen pada kuartal pertama 2013. Namun pada 2022 hanya sebesar 17,84 persen. Hal ini berarti adanya penyusutan kontribusi sektor industri sebesar 3,73 poin persentase dalam 10 tahun terakhir. Kondisi ini mengindikasikan adanya gejala deindustrialisasi, yakni penurunan kontribusi sektor industri bagi perekonomian nasional.
Data BPS (2022) lain adalah data kuartal II 2022 perekonomian nasional yang tumbuh sebesar 5,44 persen (year on year/yoy), sementara sektor industri hanya tumbuh 4,01 persen (yoy). Ini juga menunjukkan pertumbuhan sektor industri yang masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Dapat dikatakan juga bahwa sektor industri belum mampu menjadi penggerak atau lokomotif penekonomian domestik. Berdasar sumber data ini saja jelas bahwa deindustrialisasi benar terjadi.
Menyeimbangkan Hulu-Hilir
Tidak ada negara besar yang tidak dibangun dengan sandaran utama pada industri logamnya, sebut saja Jerman dan Amerika Serikat. Mereka besar karena industri logam yang kuat, meski mereka tidak punya mineral logam sebanyak kita. Peluang dan potensi besar buat negara ini menjadi seperti mereka asal mampu mengelola industri hulu logam (pertambangan) dan industri hilirnya (industri non pertambangan).
Pertanyaan dan perenungan kita bersama, sampai kemana hilirisasi industri logam kita? Apakah cukup sampai yang ada sekarang atau ingin hilirisasi dibuat mengalir sampai jauh?
Memotret status industri logam saat ini, memang ada pada titik kritis yang harus diambil keputusan dengan seksama untuk menggapai cita-cita Indonesia menjadi negara industri besar yang diperhitungkan dunia. Jumlah bahan mentah (ore) yang banyak tidak menjamin cita-cita itu tercapai. Ada ketidakseimbangan besar yang harus dipecahkan bersama.
Industri logam nikel, yang berkat smelter yang ada kini bisa menghasilkan ferronikel, nickel pig iron, bahkan stainless steel yang kesemuanya adalah produk-produk antara, namun jika dilihat dari penyerapan untuk industri dalam negeri kebutuhan ini boleh dibilang kecil. Hal ini dikarenakan minim sekali industri hilir nikel yang ada jumlahnya.
Begitu juga dengan logam tembaga dan logam timah, sama saja kondisinya. Industri hilirnya tidak berkembang dengan baik sehingga penyerapan dari produk antara (produk smelter) minim sekali penyerapannya. Ini diperkuat dengan gambaran pohon industri logam-logam ini yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian (2022).
Yang berbeda adalah, logam aluminium. Industri hilir aluminium boleh dibilang industri hilirnya berkembang baik (industri otomotif, ekstrusi, pengecoran logam). Di industri logam aluminium ini, justru permintaan akan produk antaranya (aluminum batangan/ingot) tinggi sedangkan smelter dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan pasokannya. Ada sekitar 850 ribu ton yang masih harus diimpor, sehingga industri aluminium hulu harus mendapat perhatian, jika kita tidak ingin selamanya impor.
Pada dasarnya kita memerlukan pandangan jauh ke depan, visioner besar yang mampu menterjemahkan cita-cita Indonesia sebagai negeri industri yang maju kedalam aksi-aksi yang implementatif. Kita harus mampu juga memetakan kondisi saat ini dan mengupayakan keseimbangan industri hulu dan industri hilir terutama logam.
Kolaborasi menyelesaikan Pekerjaan Rumah
Pandemi Covid juga memberikan pelajaran pentingnya kita melakukan kolaborasi, dan tidak bekerja sendiri-sendiri. Hantu deindustrialisasi sudah di depan mata.
Pekerjaan rumah membangun industri hilir juga catatan yang harus segera diselesaikan. Meski ini wilayah Kementerian Perindustrian, namun membangun industri tidak sekedar membangun pabrik pengolahan, menjadikannya memiliki daya tarik investor datang juga menjadi wilayah Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Begitu juga dengan Kementerian Keuangan untuk kemudahan dan insentif pajak dan fiskal agar lebih meningkatkan daya tarik. Pemerintah Daerah juga punya peran penting untuk menjamin ketersediaan lahan dan infrastrukturnya. Ibarat sepak bola, kita harus menggunakan taktik total football, dimana semua yang terlibat ikut membantu menyerang atau memwujudkan sebuah gol.
Deindustrialisasi di depan mata, keseimbangan industri hulu-hilir perlu segera diselesaikan. Pertanyaan besar, apakah Indonesia ingin menjadi negara industri yang diperhitungkan atau ingin menjadi negara konsumsi saja? Seberapa besar hilirisasi yang kita inginkan? Apakah hilirisasi kita mengalir sampai jauh?
Sri Bramantoro Abdinagoro adalah dosen program Doktoral Manajemen BINUS Business School dan anggota ISMS
Email: sabdinagoro@binus.edu, bramabdinagoro@gmail.com