Perubahan substansi putusan sebetulnya tak perlu terjadi di MK, lembaga yang diisi para negarawan yang menguasai konstitusi. Kita dorong Majelis Kehormatan segera bekerja secara independen dan bisa dipercaya publik.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Mahkamah Konstitusi tampaknya sedang tidak baik-baik saja. Berbagai masalah menerpa lembaga yang dilahirkan dari rahim reformasi 1998 itu.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Butuh langkah cepat dan tepat oleh pimpinan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memulihkan kredibilitas MK. Posisi MK begitu strategis dalam sistem ketatanegaraan kita. MK menjadi penjaga konstitusi dan penjaga ideologi negara. Hakim konstitusi adalah negarawan yang dianggap menguasai konstitusi. Marwah ini harus dijaga bersama.
Situasi krisis memang pernah beberapa kali terjadi di MK. Saat, misalnya, Ketua MK Akil Mochtar dan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ditangkap KPK. Dua hakim konstitusi itu masuk penjara. Kala itu, MK bisa segera keluar dari krisis dan kemudian menata kembali lembaga. Kita harapkan kali ini MK juga bisa segera menyelesaikan masalah internal dan kembali memulihkan citra kelembagaannya.
Masalah terkini yang menerpa MK ialah dugaan perubahan substansi putusan terkait pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto. Ada perbedaan antara putusan yang dibacakan dan putusan yang ditulis.
Saat dibacakan, bagian putusan berbunyi, ”… Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya…”. Namun, pada putusan tertulis, ”Ke depan… pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya…”. Putusan itu mempunyai konsekuensi hukum berbeda.
Kita mengapresiasi langkah MK membentuk Majelis Kehormatan untuk menyelidiki dugaan perubahan putusan itu. Meski demikian, perubahan substansi putusan itu sebetulnya tidak perlu terjadi di lembaga yang diisi para negarawan yang menguasai konstitusi. Kita dorong Majelis Kehormatan segera bekerja secara independen dan bisa dipercaya publik.
Kita berharap MK dikembalikan pada posisi aslinya sebagai penjaga konstitusi dan penjaga ideologi negara. Kisruh di MK terjadi karena over-politisasi di tubuh MK. Hal itu diawali ”gratifikasi politik” dengan memperpanjang masa jabatan hakim menjadi 15 tahun atau berusia 70 tahun.
Revisi UU MK itu diuji ke MK. Secara teoretis, ada asas hukum nemo judex idoneus in propria causa atau seorang tak bisa menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Ketika asas itu ditabrak, ”perbedaan pandangan hakim konstitusi dalam putusan” muncul ke publik. Publik melihat ada persaingan diam-diam hakim konstitusi.
Kisruh makin parah ketika MK berkirim surat kepada DPR soal penggantian hakim konstitusi usulan DPR. Terjadilah political recalling Hakim Aswanto. Langkah politik DPR mengganti Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah tidak sejalan dengan konstitusi.
Kini publik menantikan kerja Majelis Kehormatan. Semoga MK segera bisa pulih kembali. Skandal perubahan putusan—jika benar terjadi—adalah skandar besar. Kita dorong MK segera memenuhi persyaratan UU MK seperti pembentukan Dewan Etik yang kosong sejak dua tahun lalu. MK juga memiliki tugas memilih kembali Ketua MK dan Wakil Ketua MK sesuai dengan putusan lembaga itu sendiri.