Efek menetes ke bawah dari cuan peningkatan ekspor produk sawit dan minerba sangat terbatas. Seharusnya, cuan ini dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah penghasil utama produk tersebut.
Oleh
KADIR RUSLAN
·3 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Ketidakpastian ekonomi global dalam beberapa tahun terakhir yang dipicu oleh pandemi Covid-19 dan konflik geopolitik Rusia-Ukraina justru memberi ”berkah” bagi perekonomian Indonesia. Tingginya harga komoditas ekspor unggulan Indonesia di pasar global atau disebut commodity supercycle menjadi durian runtuh (windfall) yang mendongkrak kinerja ekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sepanjang 2022 kinerja ekspor sangat impresif, mencapai 292 miliar dollar AS atau tumbuh sebesar 26 persen dibanding pada 2021. Tidak mengherankan jika hingga triwulan III-2022 ekspor barang dan jasa menyumbang sekitar seperempat dari total produk domestik bruto (PDB) nasional.
Penyumbang utama ekspor sepanjang tahun 2022 adalah golongan barang bahan bakar mineral dan lemak dan minyak hewan/nabati dengan nilai ekspor masing-masing sebesar 55 miliar dollar AS dan 35 miliar dollar AS. Nilai ekspor bahan bakar mineral bahkan mengalami kenaikan tertinggi sepanjang 2022, yakni sebesar 22 miliar dollar AS atau 67 persen dibandingkan pada 2021. Mudah diduga, komoditas penyumbang utama moncernya kinerja ekspor sepanjang 2022 adalah batubara dan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Kinerja ekspor yang ditopang produk kelapa sawit dan minerba juga memberi dampak kepada kinerja ekonomi provinsi-provinsi utama penghasil produk kelapa sawit dan minerba, seperti Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, dan Papua. Nilai tambah yang dihasilkan melalui produk kelapa sawit dan minerba menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi (source of growth) di provinsi-provinsi tersebut.
Sayangnya, peningkatan ekspor yang ditopang oleh produk kelapa sawit dan minerba tampaknya tidak memberikan dampak yang berarti terhadap kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah penghasil utama produk tersebut. Hal ini tecermin dari peningkatan tingkat kemiskinan di provinsi-provinsi penghasil utama komoditas kelapa sawit dan minerba pada September 2022.
Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang merupakan penghasil utama batubara, misalnya, mengalami kenaikan persentase penduduk miskin masing-masing sebesar 0,13 persen dan 0,12 persen poin dibandingkan pada Maret 2022. Hal yang sama juga terjadi pada Provinsi Riau dan Kalimantan Barat yang merupakan penghasil utama CPO. Persentase penduduk miskin di dua provinsi tersebut naik masing-masing sebesar 0,06 persen poin dan 0,08 persen poin dibanding pada Maret 2022.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Seorang petani tengah melansir hasil panen buah sawit di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Kamis (6/7/2017). Peningkatan ekspor yang ditopang oleh produk kelapa sawit belum memberikan dampak yang berarti terhadap kesejahteraan masyarakat di wilayah penghasil utama produk tersebut. Bahkan banyak petani sawit yang belum sejahtera.
Penyesuain harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada awal September barangkali bisa menjadi pendorong utama naiknya jumlah penduduk miskin di wilayah-wilayah penghasil utama produk kelapa sawit dan minerba. Data historis memperlihatkan bahwa penyesuaian harga BBM selalu diikuti oleh lonjakan inflasi, seperti yang terjadi pada 2005, 2013, dan 2014. Lonjakan inflasi tersebut menambah beban pengeluaran kelompok masyarakat bawah akibat kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok sehingga berujung kenaikan jumlah penduduk miskin.
Meskipun demikian, respons pemerintah dengan menambah bantalan untuk melindungi daya beli masyarakat sebesar Rp 24,17 triliun (Kementerian Keuangan, September 2022) mestinya lebih dari cukup untuk menekan beban pengeluaran masyarakat bawah sebagai imbas kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok.
Pada saat yang sama, lonjakan ekspor produk kelapa sawit dan minerba hingga September 2022 seharusnya mampu mendongkrak pendapatan masyarakat di wilayah-wilayah penghasil utama produk kelapa sawit dan minerba. Dengan demikian, alih-alih mengalami peningkatan, tingkat kemiskinan mestinya menurun di wilayah-wilayah penghasil utama produk kelapa sawit dan minerba.
Lonjakan ekspor produk kelapa sawit dan minerba hingga September 2022 seharusnya mampu mendongkrak pendapatan masyarakat di wilayah-wilayah penghasil utama produk kelapa sawit dan minerba.
Pemerintah sebetulnya sempat optimistis bahwa tingkat kemiskinan pada September 2022 bakal menurun sebesar 0,3 persen sebagai dampak dari penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU), dan dukungan pemerintah daerah melaui dana transfer umum (DTU). Namun, sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya, persentase penduduk miskin naik sebesar 0,03 persen poin dibanding pada Maret 2022.
Tampaknya, hal ini mengindikasikan bahwa efek menetes ke bawah (trickle down effects) dari cuanyang tercipta melalui peningkatan ekspor produk kelapa sawit dan minerba sepanjang tahun lalu sangat terbatas. Dengan kata lain, kelompok masyarakat bawah di wilayah-wilayah penghasil utama produk kelapa sawit dan minerba hanya menikmati sebagian kecil kue ekonomi yang tercipta dari peningkatan ekspor. Sebagian besarnya tampaknya dinikmati oleh pemilik modal.
SUMBER: KEMENTERIAN ESDM
Capaian penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor mineral dan batubara sampai triwulan III-2018. Per 2 November 2018, perolehan PNBP sudah mencapai Rp 40,1 triliun atau melampaui target yang ditetapkan APBN 2018 sebesar Rp 32,1 triliun.
Kesejahteraan masyarakat
Tujuan akhir dari pembangunan melalui pemanfaatan hasil sumber daya alam adalah meningkatkan kapabilitas masyarakat sebagai obyek dari pembangunan. Peningkatan kapabilitas tersebut mencakup tingkat pendidikan, kesehatan, dan taraf hidup layak melalui peningkatan pendapatan. Sayangnya, kualitas pembangunan manusia di sejumlah wilayah penghasil utama produk kelapa sawit dan minerba juga masih relatif tertinggal dibanding wilayah lain di Indonesia.
Meskipun umumnya sudah berkategori tinggi, skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) provinsi-provinsi penghasil produk kelapa sawit dan minerba, seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kaimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah, masih di bawah rata-rata IPM nasional pada 2022. Ini merupakan catatan yang harus menjadi perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Dalam hal ini, fungsi negara dalam melakukan redistribusi pendapatan harus diperkuat. Pajak ekspor atau bea keluar yang diperoleh dari peningkatan ekspor produk kelapa sawit dan minerba harus dialokasikan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas pembangunan manusia di wilayah-wilayah penghasil utama produk kelapa sawit dan minerba. Hal ini penting untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.