Penerapan metode omnibus dapat memperkuat keterhubungan antarsektor negara. Namun, penerapannya juga membuka risiko luputnya poin-poin penting. Apalagi jika pembuatannya kurang inklusif dan berlangsung singkat.
Oleh
FAHMI ALFANSI P PANE
·4 menit baca
Sejak metode omnibus dipakai dalam pengusulan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Cipta Kerja, yang kemudian dilegalkan dengan UU No 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pemerintah dan DPR memperbanyak pembuatan UU dengan metode ini.
Hingga tulisan ini dibuat, setidaknya pemerintah dan DPR telah membuat enam UU dengan metode omnibus. Keenam UU itu ialah UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Cipta Kerja yang diubah dengan Perppu No 2/2022, UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, UU No 3/2022 tentang Ibu Kota Negara, UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dan UU No 2/2020 tentang Penetapan Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
RUU tentang Kesehatan
Metode omnibus adalah membuat peraturan perundang-undangan yang mencakup banyak sektor/cakupan sekaligus atau mengubah berbagai peraturan perundang-undangan sejenis dan sehierarki. Namun, sejatinya RUU KUHP yang telah disahkan menjadi UU No 1/2023 lebih dulu menerapkan metode ini. Bahkan, akhir September 2019, RUU KUHP hampir disetujui oleh DPR dan pemerintah.
Di luar pengamatan banyak pihak yang terfokus pada isu hukuman mati, pidana kesusilaan, atau penghinaan kepala negara, KUHP mengubah begitu banyak UU, menyatakan pasal-pasal tertentu di banyak UU dicabut dan dinyatakan tak berlaku, lalu menjadikan pasal-pasal tertentu di KUHP sebagai norma dan ancaman pidananya.
Penerapan metode omnibus dapat memperkuat keterhubungan antarsektor negara. Koordinasi dan sinkronisasi antar-kementerian dan lembaga (K/L), serta antara pemerintah pusat dan daerah, juga bisa meningkat. Total waktu pembuatan/perubahan peraturan perundang-undangan akan lebih singkat daripada membahas satu per satu.
Namun, penerapannya juga membuka risiko luputnya poin-poin penting karena luasnya cakupan pembahasan, dan banyaknya aturan yang harus dibahas dan disinkronisasi sekaligus. Jika pembuatannya kurang inklusif dan berlangsung singkat, bisa jadi regulasi yang dihasilkan berdampak buruk bagi sektor/institusi lain, seperti mengurangi kewenangan dan efeknya pada anggaran, hingga penanganan masalah lintas sektor di kemudian hari akan lebih rumit karena konflik kelembagaan.
Dampak lain adalah pengusulan RUU atau aturan di bawah UU berikutnya juga akan lebih sulit. Soalnya, setiap sektor dan K/L harus menelaah lebih dulu semua UU yang telah dibuat secara omnibus. Mereka tak hanya harus mengantisipasi pasal dan ayat pada semua UU yang telah diubah. Mereka juga perlu mengantisipasi perubahan politik hukum dan regulasi pada sektornya sebagai dampak pembahasan suatu UU omnibus meski UU itu bukan di area tugas dan fungsi sektor dan K/L-nya.
Kesulitan pembuatan regulasi pasca-penerapan metode omnibus terlihat, antara lain, pada RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sejak judul RUU sudah muncul perdebatan, apakah RUU merupakan yang kedua atau ketiga. Perubahan pertama adalah UU No 19/2016.
Namun, UU KUHP Pasal 622 Ayat 1 Huruf r telah mengubah UU ITE untuk kedua kali, yaitu Pasal 27 Ayat 1 dan 3, Pasal 28 Ayat 2, Pasal 30, Pasal 31 Ayat 1 dan 2, Pasal 36, Pasal 45 Ayat 1 dan 3, Pasal 45A Ayat 2, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 51 Ayat 2 yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Bahkan, Pasal 622 Ayat 10 mengganti norma dan ancaman pemidanaan tindak pidana informatika dan elektronika menjadi Pasal 407, Pasal 441, Pasal 243, Pasal 332, dan Pasal 258 Ayat 2 UU KUHP.
Ironisnya, RUU ITE malah mengubah kembali Pasal 28 yang telah dicabut UU KUHP. Khususnya, pasal penghasutan SARA dengan informasi/dokumen elektronik RUU ITE menyisipkan pasal baru 28A. Hal serupa juga terjadi untuk Pasal 36, Pasal 45, dan Pasal 45A yang telah diubah dengan UU KUHP, lalu diusulkan diubah lagi dengan RUU ITE tersebut.
Masalahnya, sejak reformasi, Indonesia menganut prinsip kesetaraan sesama UU; tak ada UU payung. Hingga perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terakhir 16 Juni 2022, prinsip itu masih berlaku. Karena itu, UU KUHP tak dapat dianggap sebagai UU payung atau rujukan UU lain.
Metode omnibus adalah membuat peraturan perundang-undangan yang mencakup banyak sektor/cakupan sekaligus, atau mengubah berbagai peraturan perundang-undangan sejenis dan sehierarki.
Masalah bertambah karena sesuai Pasal 624 KUHP baru berlaku tiga tahun setelah diundangkan, atau per 2 Januari 2026. Tidak ada jaminan tidak ada perubahan regulasi hingga tanggal tersebut, apalagi per 20 Oktober 2024 presiden dan kabinet akan berganti.
Solusi problem omnibus
Untuk itu, pemerintah dan DPR perlu mencari solusi dampak penerapan metode omnibus selagi problemnya masih sedikit, dan metode ini belum diterapkan pada regulasi di bawah UU. Pada saat debat capres-cawapres 17 Januari 2019, Joko Widodo menyatakan perlu membentuk pusat legislasi nasional, di mana akan digabungkan fungsi legislasi pada Badan Pembinaan Hukum Nasional, Ditjen Peraturan Perundang-undangan, dan semua kementerian ke dalam suatu badan di bawah kontrol langsung Presiden (Kompas, 17/1/2019).
Rencana ini cukup ambisius mengingat banyaknya struktur dan anggaran yang akan terpangkas, yang justru kurang disukai sebagian pihak. Namun, karena sebenarnya yang disebut sebagai pemerintah dan berhak mengajukan RUU kepada DPR adalah Presiden itu sendiri (UUD 1945 Pasal 4 Ayat 1 dan Pasal 5 Ayat 1), maka rencana itu konstitusional dan dapat dipertimbangkan.
Selama ini berdasarkan UU No 15/2019 tentang Perubahan UU PPP Pasal 47 Ayat 3, menteri atau kepala lembaga yang mengurus pembentukan peraturan perundang-undangan melakukan harmonisasi, pemantapan, dan pembulatan konsepsi RUU dari Presiden.
Namun, munculnya kasus RUU yang mengubah suatu UU yang baru disahkan mengindikasikan perlunya peningkatan koordinasi antarmenteri, sosialisasi, dan antisipasi birokrasi terhadap perubahan politik hukum dan norma dari semua UU omnibus. Selain itu, perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya UU pokok, termasuk apakah nantinya semua aturan pemidanaan akan dikompilasi pada KUHP.