Potensi pangan lokal dalam format beragam bergizi seimbang dan aman saatnya dibangkitkan sebagai pilar kemandirian pangan guna memerangi ancaman krisis pangan global. Program sehari tanpa nasi harus kembali dihidupi.
Oleh
POSMAN SIBUEA
·4 menit baca
Resolusi Nasional 2023 patut menggelorakan semangat kekuatan yang mengikat persatuan dan nasionalisme. Resolusi ini untuk menghidupi tema HUT Kemerdekaan RI pada 2022, yaitu ”Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”, sebagai wujud perjuangan mengatasi berbagai dinamika setelah 77 tahun merdeka. Makna merdeka tidak berhenti pada euforia bebas dari penjajahan bangsa asing yang menduduki wilayah Indonesia, tetapi patut menyadari apakah kita sudah bebas dari penjajahan dalam bentuk lainnya?
Kita menghadapi bentuk penjajahan baru karena Indonesia belum berdaulat di bidang pangan. Sebagai importir neto pangan, devisa terkuras untuk mendatangkan berbagai jenis bahan pangan yang sesungguhnya masih bisa diproduksi dalam negeri. Sebagai negeri agraris, kita memiliki lahan yang luas dan subur serta lautan yang kaya dengan ikan sebagai sumber protein, tetapi daulat pangan masih menjauh.
Di sisi lain, kita dirisaukan dengan berbagai fenomena yang mengindikasikan menurunnya semangat nasionalisme. Tidak lagi bangga dengan produk lokal sehingga Indonesia menjadi pasar empuk produk pangan impor. Maka, peringatan Presiden Joko Widodo bahwa saat ini kita berada di bawah bayang-bayang ancaman krisis pangan patut dijadikan lampu kuning. Setiap daerah harus memperkenalkan produk pangan lokal yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) yang sudah dihidupi sejak 20 tahun terakhir dan saat ini Badan Pangan Nasional merevitalisasi secara gencar.
Paradigma lama
Pemahaman yang bias kerap terjadi selama ini yang menyamakan pengertian swasembada beras dengan ketahanan pangan. Implikasinya di masyarakat, makan itu identik dengan mengonsumsi nasi. Mitos ini terus direproduksi dari masa ke masa untuk mengukur keberhasilan pembangunan ketahanan pangan. Ketersediaan beras di gudang-gudang Bulog acap dijadikan sebagai basis ketahanan pangan nasional.
Beras menjadi komoditas strategis karena ditempatkan sebagai makanan pokok. No rice no glory menjadi landasan ”politik beras murah”. Untuk itu, operasi pasar beras selalu digelar dari tahun ke tahun agar rakyat makan nasi tiga kali sehari. Meski terjadi penurunan konsumsi beras sejak lima tahun terakhir, belakangan ini penurunannya melambat untuk ke tingkat 90 kilogram per kapita per tahun. Sebab, warga masih mengonsumsi nasi tiga kali sehari, bak makan obat, yang mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara pemakan beras tertinggi di dunia.
Pelambatan penurunan konsumsi beras patut diduga ada yang salah dalam pengertian makan di tengah masyarakat kita. Mengkristalnya beras sebagai makanan pokok menjadi bukti bahwa hingga kini masyarakat masih menganut paradigma lama, yakni belum kenyang kalau belum menyantap nasi. Seseorang bisa saja mengatakan belum makan meski sudah menyantap beberapa potong ubi jalar rebus atau semangkok bubur jagung. Fenomena ini mendorong pemerintah untuk menjaga ketersediaan beras secara berkelanjutan. Cadangan beras pemerintah harus dikawal dengan baik agar rakyat dapat memperoleh beras yang dibutuhkan setiap hari.
Mengkristalnya beras sebagai makanan pokok menjadi bukti bahwa hingga kini masyarakat masih menganut paradigma lama, yakni belum kenyang kalau belum menyantap nasi.
Konon, kesuksesan pencapaian kembali swasembada beras 2008 dan penghargaan IRRI 2022 membawa konsekuensi bias pada apresiasi kita terhadap pangan lokal, seperti umbi-umbian, jagung, sorgum, dan sagu. Pangan lokal dianggap menjadi komoditas inferior. Tradisi pangan yang beragam di tingkat lokal, seperti budaya manggadong (makan ubi rebus) di Toba, digerus dengan tersedianya produk pangan instan pabrikasi yang berlimpah dalam jumlah dan harga terjangkau.
Untuk urusan adat pun, masyarakat dari suku Batak Toba, misalnya, menempatkan beras pada takhta teratas saat acara adat pernikahan seseorang. Adapun jagung, ubi, dan sagu menjadi pangan yang mempunyai nilai sosial rendah, yang jika dikonsumsi, dianggap orang miskin sehingga komoditas yang dikembangkan di food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, ialah kentang.
Ke depan perlu dibangun pola pikir ”kenyang tidak harus nasi” mengapresiasi ketika ada sejumlah orang di suatu daerah mengonsumsi singkong, jagung, atau pisang untuk menyubstitusi nasi. Mereka tidak lagi disebut mengalami krisis pangan atau kelaparan. Pemahaman seperti ini menjadi pendorong perwujudan penganekaragaman konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal. Potensi pangan lokal dalam format B2SA saatnya dibangkitkan sebagai pilar kemandirian pangan guna memerangi ancaman krisis pangan global. Program sehari tanpa nasi harus kembali dihidupi.
Produk B2SA
Kebijakan penganekaragaman konsumsi pangan merujuk kepada kesadaran dan sudut pandang fisiologis gizi. Manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat memerlukan tidak kurang dari 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis makanan. Masyarakat zaman dulu pun mencari segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala pohon-pohonan yang memiliki buah untuk menjadi makanannya.
Perkembangan menarik saat ini pada pola konsumsi pangan pokok sumber karbohidrat adalah kecenderungan menurunnya kontribusi energi dari jagung, sorgum, dan umbi-umbian seiring peningkatan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan pokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan kian mengarah pada beras dan berbasis terigu, khususnya mi dan roti.
Terigu dan hasil olahannya memberi kontribusi energi secara signifikan bukan hanya kepada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi, melainkan juga pada rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah. Perubahan ini perlu diwaspadai karena gandum adalah komoditas impor, maka arah perubahan pola konsumsi itu dapat menimbulkan ketergantungan pada impor.
Serbuan Rusia ke Ukrania yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir telah mengatrol harga produk olahan gandum. Jika perang terus berlanjut, diperkirakan akan terjadi krisis pangan global, terutama di wilayah yang sangat bergantung kepada pasokan gandum.
Kenaikan harga gandum harus menjadi ruang untuk menempatkan produk pangan lokal sebagai pengganti gandum. Produk pangan B2SA patut dijadikan sebagai model penguatan pilar penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal agar tidak terjadi ketergantungan yang amat tinggi pada satu jenis pangan saja. Indonesia yang dikenal memiliki beragam makanan pokok sesungguhnya dapat dengan mudah mengurangi laju konsumsi beras dan terigu.
Namun, miskinnya pengembangan iptek dan kurangnya sumber daya manusia bermutu di bidang teknoagroindustri pangan nonberas berbasis sumber daya lokal menjadi penyebab lambatnya percepatan penganekaragaman konsumsi pangan. Masyarakat perkotaan pun kian berjarak dan menjauh dari sistem pangan lokal dan mulai menganggap kearifan lokal di bidang pangan ini bagian dari masa lalu yang inferior dibandingkan makanan modern dari beras dan gandum produk global.
Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang kini sedang dikaji ulang di Badan Pangan Nasional merupakan atmosfer kebangkitan produk pangan B2SA berbasis sumber daya lokal guna memantapkan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Perpres ini akan lebih berdaya guna sebagai acuan dalam melakukan perencanaan dan pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan guna memanfaatkan potensi pangan Nusantara.
Penilaian kualitas konsumsi pangan didasarkan kepada keanekaragaman pangan yang diukur dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Peningkatan skor PPH memberikan informasi penting tentang kualitas konsumsi pangan. Upaya pemulihan ekonomi telah meningkatkan skor PPH dari tahun ke tahun meski dalam dua tahun terakhir–pandemi Covid-19 yang merebak sejak awal tahun 2019–terjadi perlambatan peningkatan sehingga skor PPH belum menyentuh angka 95 seperti yang diharapkan.
Akselerasi peningkatan skor PPH patut didorong dengan merevitaliasi produk pangan B2SA sekaligus memutus mata rantai krisis pangan. Percepatan pengembangan produk pangan B2SA di setiap daerah menjadi makna resolusi nasional untuk membangkitan pangan lokal non beras sebagai amunisi mengatrol kesejahteraan petani. Semoga!
Posman Sibuea, Guru Besar Ilmua Pangan di Prodi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas; Pengurus PATPI dan Anggota Pokja Ahli Pangan Badan Pangan Nasional
Facebook/Instagram: posman.sibuea
ARSIP PRIBADI
Posman Sibuea, Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas Medan. Anggota Pokja Ahli Ketahanan Pangan Nasional dan Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI)