Manusia dianjurkan makan 3 kali sehari, tapi diet puasa juga penting. Agar sehat, ahli menyarankan untuk makan 2-3 kali sehari, sarapan tidak terlalu pagi, makan malam tidak terlalu larut, dan porsi tidak terlalu banyak.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
RIZA FATHONI
Aktor Muhammad Khan menyiapkan santapan makan siang di apartemennya, Jumat (3/9/2021). Khan menjalani kehidupan slow living dengan menyantap makanan yang sehat, seperti sayuran organik, buah-buahan, menghindari masakan dengan minyak goreng dan karbodihidrat berupa nasi. Dalam seminggu sekali saat cheating day, Khan sedikit toleran terhadap keteraturan tersebut atau saat di lokasi atau waktu shooting yang tidak memungkinkan.
Kehidupan modern dirancang dengan ide makan tiga kali dalam sehari. Sarapan menjadi waktu makan terpenting untuk memulai awal aktivitas harian, makan siang sebagai penjeda kegiatan pada separuh waktu belajar atau bekerja, dan makan malam sebagai penopang kehidupan sosial dengan makan bersama. Namun, apakah pola makan tiga kali sehari ini paling sehat?
Beberapa tahun terakhir, diet puasa alias intermittent fasting menjadi pola diet yang cukup populer di masyarakat. Bentuk diet puasa paling umum adalah membatasi waktu makan selama 24 jam, seperti diet puasa 18-6 yang artinya 18 jam puasa dan 6 jam makan. Selama puasa, tidak boleh makan dan minum yang memiliki kalori, tetapi boleh minum air putih, kopi, atau teh tanpa gula.
”Memberikan kesempatan pada tubuh minimal selama 12 jam sehari tanpa makanan sama dengan memberikan kesempatan kepada sistem pencernaan kita untuk istirahat,” kata Emily Manoogian, peneliti klinis di Pusat Kajian Biologi Salk (SIBS), California, Amerika Serikat, dan penulis buku When to Eat, 2019 seperti dikutip BBC, 18 April 2022.
Membatasi kalori atau berpuasa selama beberapa jam dalam sehari mampu mengurangi potensi peradangan atau inflamasi pada tubuh. ”Puasa menempatkan tubuh dalam keadaan yang berbeda sehingga tubuh lebih siap mengawasi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi serta membersihkan protein yang salah lipatan,” kata profesor di Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Universitas Wisconsin, AS, Rozalyn Anderson.
Protein yang salah lipatan adalah protein biasa yang mengalami kesalahan dalam pembentukannya. Protein salah lipatan ini ditengarai memicu sejumlah penyakit degeneratif dan neurodegeneratif, seperti alzheimer (penyakit otak yang menurunkan daya ingat, kemampuan berpikir, berbicara, dan berperilaku), parkinson (penyakit saraf yang mengganggu kemampuan tubuh mengendalikan gerakan dan keseimbangan), hingga fibrosis kistik (lendir dalam tubuh kental dan lengket).
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Pegawai sebuah warung makan di kawasan Rawa Belong, Jakarta, melayani pembeli, Senin (18/5/2017). Pola makan yang tidak sehat dapat menjadi salah satu penyebab penyakit mematikan, seperti jantung koroner dan stroke.
Selain itu, kata Anderson, diet puasa juga lebih sejalan dengan proses tubuh manusia berevolusi. Ketika tubuh istirahat sejenak dari tugas memproses makanan, tubuh akan memiliki kesempatan untuk menyimpan makanan dan memberikan energi pada bagian tubuh yang membutuhkan. Diet puasa juga akan memicu pelepasan energi yang tersimpan dalam tubuh.
Profesor ilmu keolahragaan Universitas Padova, Italia, Antonio Paoli menambahkan puasa juga meningkatkan respons glikemik, yaitu peningkatan kadar glukosa darah setelah makan. Jika kenaikan glukosa darah sehabis makan rendah, semakin sedikit lemak yang disimpan dalam tubuh. Diet puasa akan meningkatkan kontrol glikemik yang lebih baik.
Memberikan kesempatan pada tubuh minimal selama 12 jam sehari tanpa makanan sama dengan memberikan kesempatan kepada sistem pencernaan kita untuk istirahat.
Selain itu, glukosa dalam tubuh akan mengalami glikasi atau terhubung dengan protein dan membentuk senyawa baru. Proses ini bisa memicu terjadinya inflamasi hingga meningkatkan risiko pengembangan penyakit diabetes dan jantung. Karena itu, penting agar semua sel selama glikasi memiliki kadar gula darah yang rendah karena tingginya kadar gula darah akan mempermudah terjadinya inflamasi.
Diet puasa juga dijalankan orang dengan harapan bisa mengurangi berat badan dan meningkatkan metabolisme tubuh. Namun, studi Team Biotic yang beranggotakan peneliti relasi usus dan otak dari sejumlah universitas di AS yang ditulis di The Psychology Today, 14 November 2022, menemukan diet puasa juga baik untuk proses produksi sel saraf hingga memperbaiki kesehatan mental.
Istirahat makan dalam waktu memadai juga bisa memperbaiki suasana hati (mood), kemampuan kognisi, hingga mengurangi gejala kecemasan dan depresi. Secara keseluruhan, diet puasa juga memperbaiki berbagai paramater hidup dan meningkatkan kesejahteraan jiwa.
SEKAR GANDHAWANGI
Ahli gizi dan Ketua Tim Ahli Pengembang Modul Isi Piringku, Sri Anna Marliyati, pada pemaparan daring, Jumat (27/2/2021). Isi Piringku memberi panduan pada publik untuk konsumsi makanan bergizi. Idealnya, satu piring terdiri dari karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral.
Lapar
Meski demikian, dalam benak banyak orang, diet puasa dianggap bisa menimbulkan rasa lapar yang hebat. Terlebih, pola diet ini memiliki waktu makan yang pendek dan waktu puasa yang panjang. Sebagian orang bahkan ada yang berpuasa selama 20 jam dan hanya punya waktu makan 4 jam saja.
Nyatanya, tidak makan dalam rentang waktu cukup lama tidak selalu membuat lapar. Bahkan, sejumlah ahli, termasuk profesor di Fakultas Ekologi Manusia Universitas Cornell, New York, AS, David Levitsky, menilai frekuensi makan yang terbaik adalah satu kali sehari. Sebagian orang makan hanya karena tersugesti oleh gambar makanan, melihat makanan, atau merasa sudah masuk waktu makan.
”Banyak data menunjukkan, jika saya memperlihatkan makanan atau gambar makanan, kemungkinan besar Anda akan makan. Semakin sering Anda melihat makanan di depan Anda, maka semakin banyak pula Anda makan di hari itu,” katanya.
Sebelum ada teknologi lemari es, penghangat makanan microwave, pasar modern, warung makan, hingga aneka jajanan daring yang tersedia 24 jam tanpa perlu kita bergerak dan keluar rumah, manusia makan hanya saat makanan tersedia. Model makan ini, menurut sejarawan makanan Inggris, Seren Charrington-Hollins, juga dilakukan orang Romawi Kuno yang hanya makan saat tengah hari saja.
Selain itu, rasa lapar yang muncul sering kali hanya berupa sensasi psikologis. Levitsky menilai rasa lapar yang muncul saat tengah malam atau situasi yang mengondisikan seseorang untuk sarapan merupakan hal yang tidak masuk akal. Padahal, jika seseorang tidak sarapan, jumlah kalori harian yang masuk ke dalam tubuhnya dalam satu hari akan menjadi lebih sedikit.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengunjung coba menyusun menu porsi makanan sehat dalam kampanye zona sehat Nestle Indonesia di Jakarta, Kamis (10/4/2014). Penerapan pola makanan sehat menjadi salah satu upaya dalam mengatasi obesitas. Cara yang mudah dalam diet makanan sehat adalah perbandingan yang seimbang antara zat gizi karbohidrat, protein, lemak, dan makanan sumber serat, seperti sayur dan buah.
”Fisiologi tubuh manusia terbentuk untuk berpuasa (fast) dan berpesta (feast),” katanya.
Meski demikian, Manoogian tidak merekomendasikan untuk makan hanya sekali sehari. Untuk menjaga agar kadar gula darah tetap rendah, butuh makan teratur dan lebih dari sekali. Makan teratur penting untuk mencegah tubuh berpikir bahwa dia sedang kelaparan hingga melepaskan lebih banyak glukosa guna merespons kondisi itu.
Saat seseorang tidak makan, maka kadar glukosa dalam darah yang disebut kadar gula darah puasa akan meningkat. Kadar gula darah puasa yang tinggi dan dalam waktu lama itu, lagi-lagi, justru menjadi faktor risiko diabetes melitus tipe 2. Sebaliknya, makan dua kali hingga tiga kali sehari adalah pilihan terbaik.
Dalam model makan dua hingga tiga kali sehari itu, sebaiknya sebagian besar kalori dikonsumi saat awal hari ketika tubuh membutuhkan lebih banyak energi. Cara ini membuat makanan yang dikonsumsi lebih banyak diubah menjadi energi daripada disimpan menjadi lemak dalam tubuh.
”Makan malam yang terlalu malam justru bisa meningkatkan risiko penyakit kardio-metabolik, termasuk diabetes dan penyakit jantung,” katanya. Saat tidur, produksi insulin akan ditekan. Karena itu, asupan kalori yang banyak saat malam hari akan membuat tubuh tidak bisa menyimpan glukosa dengan baik dan meningkatkan kadar glukosa dalam darah yang berarti meningkatkan risiko penyakit diabetes.
Tak hanya makan malam yang terlalu malam, sarapan yang terlalu pagi atau terlalu dekat dengan waktu bangun tidur juga tidak baik. Menurut Manoogian, makan terlalu pagi membuat tubuh tidak cukup waktu untuk melakukan puasa. Waktu makan yang terlalu mepet dari waktu bangun tidur juga melawan jam biologis atau irama sirkadian tubuh yang membuat tubuh memproses makanan secara berbeda di sepanjang hari.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Aneka makan, minuman, dan camilan yang kerap dibeli di mal dan kedai kaki lima. Perlu diperhatikan besar kalori tiap makanan yang dianjurkan untuk dikomsumsi setiap hari agar dapat meminimalisir risiko penyakit akibat makan berlebihan.
Menjelang tengah malam, tubuh melepaskan melatonin yang akan membantu seseorang untuk tidur. Namun, keluarnya melatonin juga menghentikan produksi insulin yang penting untuk menyimpan glukosa dalam tubuh. Sembari tidur, melatonin tetap diproduksi tubuh guna memastikan seseorang tidak tidak makan atau tidak mengonsumsi glukosa terlalu banyak.
”Jika Anda memasukkan kalori dalam tubuh sementara melatonin dalam tubuh masih tinggi (akibat sarapan terlalu dekat dengan waktu bangun tidur), kadar glukosa dalam darah pun naik sangat tinggi,” jelasnya.
Namun, itu bukan berarti waktu sarapan boleh dilakukan. Sejumlah studi menunjukkan sarapan sebaiknya dilakukan 1 jam-2 jam setelah bangun tidur.
Manoogian menyarankan cara yang terbaik adalah dengan tidak menentukan waktu spesifik untuk makan. Cara ini akan menyulitkan bagi orang-orang yang bekerja dengan waktu tidak teratur, seperti pekerja sif malam. ”Menyarankan untuk makan terakhir pukul 19.00 tidak akan membantu banyak karena setiap orang memiliki jadwal yang berbeda,” katanya.
Namun, ingin mengatur tubuh agar memiliki waktu puasa yang panjang di malam hari, usahakan untuk tidak makan malam terlalu larut atau sarapan terlalu awal dan tidak makan terlalu banyak. ”Dengan sedikit menunda makan pertama (sarapan) dan memajukan waktu makan terakhir (makan malam), perubahan dramatis pada tubuh akan terlihat. Jika pola ini dilakukan secara konsisten, akan memberi perubahan besar tanpa anda perlu mengubah banyak,” tambah Manoogian.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Libur panjang menjadi cobaan berat bagi orang-orang yang menjalankan diet untuk alasan kesehatan maupun menjaga bentuk tubuh. Setelah libur panjang, kaum urban kembali diet dan olahraga untuk membakar lemak.
Meski demikian, perubahan apa pun yang kita lakukan terhadap pola makan kuncinya adalah konsistensi. ”Tubuh bekerja dengan pola. Diet puasa akan membentuk pola itu dan sistem biologis tubuh akan bekerja mengikuti pola itu. Tubuh akan menangkap isyarat yang ada guna mengantisipasi pola makan kita sehingga saat makanan masuk ke tubuh, tubuh bisa mengolahnya dengan baik,” kata Anderson.
Namun, kembali ke pertanyaan dasar tentang berapa kali seharusnya kita makan sehari, Charrington-Hollins mengatakan, selama berabad-abad manusia dikondisikan untuk makan tiga kali sehari. Namun, seiring berubahnya sikap manusia terhadap makanan, pola makan itu juga menghadapi tantangan.
”Saat ini, manusia hidup lebih tenang, tidak lagi bekerja seperti yang orang-orang yang hidup sebelum abad ke-19 dengan menggunakan banyak tenaga. Konsekuensinya, manusia saat ini membutuhkan kalori lebih sedikit. Dalam jangka panjang, manusia diprediksi akan mulai mengurangi jumlah makanan ringannya hingga selanjutnya mengurangi makanan utamanya, tergantung pada jam kerja dan pola kerja manusia,” katanya.