”Sing Jujur Ojo Ajur”
Akankah orang jujur akan hancur? Akankah orang berjasa membongkar kejahatan akan justru dihukum berat? Biarlah sejarah mencatatnya.
”... saya diperalat, saya dibohongi, dan disia-siakan, bahkan kejujuran yang saya sampaikan tidak dihargai, malahan saya dimusuhi ....”
Pembelaan yang ditulis tangan itu disampaikan Bharada Richard Eliezer di depan mahkamah, Rabu, 25 Januari 2023. Tampak ada kegetiran dirasakan Richard saat membaca pembelaannya. Boleh jadi, sama getirnya ketika jaksa Paris Manalu membacakan tuntutan 12 tahun penjara untuk Richard. Suara jaksa Paris Manalu tercekat.
Pimpinan kejaksaan menganggap Richard adalah eksekutor pada pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Pimpinan kejaksaan menganggap Richard tak layak menyandang status justice collaborator. Pimpinan kejaksaan menganggap belum ada penetapan pengadilan atas status Richard sebagai justice collaborator. Ada juga alasan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
Sangat wajar jika Richard ”menggugat” ketidakadilan. Litani permintaan maaf disampaikan Richard di depan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, termasuk kepada Bang Yos atau Yosua yang tewas karena tembakannya. Richard juga meminta maaf kepada ayahnya yang diberhentikan sebagai sopir. ”Pa, maafkan Icad karena akibat peristiwa ini Papa harus kehilangan pekerjaan.”
Pilihan Richard untuk jujur dan membuka segalanya atau mengikuti skenario Sambo ibarat perjalanan di simpang jalan. Jika Richard mengikuti skenario Sambo, boleh jadi persidangan kasus pembunuhan Yosua tidak akan terungkap. Persidangan tidak akan terjadi. Dan boleh jadi Richard akan mendapatkan ”penghargaan” dari Sang Jenderal atas sikapnya yang patuh mengikuti arahan Sang Jenderal. Dan, kasus pembunuhan Yosua akan tetap menjadi dark number. Gelap.
Sejarah memang tak mengenal kata jika atau seandainya. Karena hidup adalah pilihan. Pilihan Richard berterus terang dan berkata jujur membuat semua menjadi terbuka. Jalan sejarah pun berbelok. Kejujuran Richard membuyarkan skenario gelap Sambo, yakni ”tembak-menembak”. Namun, sebaliknya kejujuran Richard membuat dia dituntut berat oleh jaksa, dia dimusuhi, dan mungkin saja Richard dituduh ”berkhianat” oleh kelompoknya seperti yang kini dirasakan.
Kejujuran membuatnya dimusuhi. Terasa menjadi berat untuk bersikap jujur di negeri ini. Saya teringat pesan orang-orang tua secara sinikal, sing jujur kok malah ajur. Yang berbuat jujur malah hancur, malah tersingkir.
Melacak jejak pemberitaan pembunuhan Yosua, sampai empat kali Presiden Jokowi meminta kasus Drama Duren Tiga dibuka. ”Saya, sudah sampaikan, usut tuntas. Buka apa adanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Transparan. Itu penting agar masyarakat tidak ada keragu-raguan terhadap peristiwa yang ada. Ini yang harus dijaga. Kepercayaan publik terhadap Polri harus dijaga.”
Drama Duren Tiga melibatkan bekas Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo. Kisah tewasnya Yosua, 8 Juli 2022, memicu kontroversi. Upaya cover up atau rekayasa perkara coba dilakukan Sambo. Itu kemudian diakuinya di depan mahkamah persidangan.
Dalam berita Kompas, 12 Juli 2002, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan mengungkapkan, saling tembak antara Yoshua dan Bharada E atau Richard diduga dipicu tindakan Yosua yang memasuki kamar pribadi Sambo. Saat itu, istri Sambo sedang istirahat. Sambil menodongkan pistol ke kepala istri Sambo, Yosua melakukan pelecehan. Istri Sambo berteriak dan didengar Bharada E yang sedang berada di lantai dua. Dari anak tangga, Bharada E kemudian menanyakan ada apa.
Baca juga: Menerka ”Panggung Belakang” Kasus Sambo
Namun, pertanyaan itu dibalas Yosua dengan melepaskan tembakan. Karena tugasnya melindungi keluarga Kadiv Propam, Bharada E membalas tembakan Yosua juga dengan tembakan. Tembakan itu dilepaskan dari anak tangga tempat Bharada E berdiri, sekitar 12 meter dari kamar pribadi Sambo. Terjadi saling tembak dan berakibat Yosua meninggal.
Skenario Sambo itu rontok, kecuali pelecehan, kekerasan seksual, atau pemerkosaan yang terus disuarakan oleh Sambo dan Putri Candrawathi, istri Sambo. Meski tempatnya berpindah dari Jakarta ke Magelang, Jawa Tengah. Namun, jaksa punya kesimpulan sendiri. Yang terjadi bukan pelecehan, melainkan perselingkuhan. Kesimpulan ini juga mengejutkan. Entah teori apa yang akan dibangun hakim.
Itulah periode kegelapan. Kekuatan besar mencoba menutupi kejahatan dengan melakukan rekayasa perkara. Presiden Jokowi, Menko Polhukam Mahfud MD berkontribusi besar mengubah periode kegelapan menjadi lebih terang meski belum benderang.
Zaman kegelapan inilah yang dibongkar Richard. Polisi berpangkat paling rendah itu mendapat perintah dari Sambo untuk ”menghajar” atau ”menembak” Yosua. Richard menembak Yosua. Namun, ia menembak karena diperintah Sang Jenderal. Ia meminta maaf atas perbuatannya itu. Ia pun jujur mengungkap semuanya.
Richard menjadi martir. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban melindunginya sebagai justice collaborator. Namun, di mata Sambo dan kuasa hukum Sambo dan Putri Chandrawati, keterangan Richard dianggap tidak konsisten dan berbohong. Status justice collaborator tak diakui kejaksaan karena Richard adalah pelaku utama. Itulah yang membuat Richard getir. Kegetiran yang sama juga dirasakan publik.
Richard berjasa di mata publik, tapi tidak di mata jaksa penuntut umum dan Sambo. Di mata Sambo, boleh jadi Richard adalah ”pengkhianat” sehingga harus dimusuhi. Sambo memang punya prestasi di Polri seperti diakuinya sendiri dalam pembelaannya. Menangkap buron Joko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia.
Prestasi lainnya termasuk menangani kebakaran besar di Gedung Kejaksaan Agung dengan menjerat lima tukang yang terbukti lalai menyimpan puntung rokok. Persidangan itu dilangsungkan di PN Jakarta Selatan.
Biarlah mahkamah memutuskan. Akankah orang jujur akan hancur? Akankah orang berjasa membongkar kejahatan akan justru dihukum berat? Biarlah sejarah mencatatnya. Kekuasaan kehakiman katanya memang mandiri, tapi kita tak pernah tahu di ruang-ruang gelap negosiasi.
Semoga saja yang jujur tidak jadi hancur.