Maka, alangkah gembira—dan iri—manakala di suatu negeri saya mendapati suatu lingkungan yang aman bagi perempuan. Perempuan berjalan sendirian pada tengah malam di lorong-lorong kota, leluasa di tempat-tempat hiburan.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
HERYUNANTO
Bre Redana
Belakangan, mungkin karena exposure media, saya makin diresahkan dengan nasib perempuan, terutama menyangkut keamanan dan keselamatan mereka. Pelecehan, pemerkosaan, dan tindak kekerasan setiap saat dikabarkan terjadi, dan andai kasus dibawa ke ranah hukum, posisi mereka umumnya inferior dibandingkan dengan pelaku yang tetap saja jemawa. Dengan enteng pemerkosaan diselesaikan damai.
Maka alangkah gembira—dan iri—manakala di suatu negeri saya mendapati suatu lingkungan yang aman bagi perempuan. Perempuan berjalan sendirian pada tengah malam di lorong-lorong kota, leluasa di tempat-tempat hiburan, tidak ada yang memelototi apa pun busana yang mereka kenakan—bebas dari prasangka dan takaran subasita.
Adakah tempat atau kota-kota semacam itu? Banyak, di Asia misalnya Singapura, Tokyo, Bangkok, dan lain-lain. Bahkan, di Ho Chi Minh City (d/h Saigon) yang saya kunjungi beberapa waktu lalu untuk memenuhi ajakan teman nonton final Piala Dunia di sebuah bar, saya merasakan lingkungan yang ”ramah perempuan”. Di bar yang penuh sesak, kaum lelaki, para kamerad itu, sepertinya sama-sama berkewajiban menjaga pengunjung perempuan. Tidak hanya keamanannya, tetapi juga martabatnya.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Orang lalu-lalang di salah satu kafe di Sukhumvit, Bangkok, Thailand, Jumat (13/5/2022) dini hari. Pemerintah Thailand telah mengizinkan turis asing memasuki wilayah mereka sejak awal Mei 2022 lalu pascapandemi covid-19 menerpa, sehingga membuat aktivitas ekonomi kembali bergeliat, termasuk di malam hari.
Kebetulan pada hari-hari itu di kota ini tengah berlangsung seminar ”National Strategy on Gender Equality”. Salah satu yang saya catat adalah pemberitaan media bahwa kemajuan Vietnam katanya adalah buah dari kesetaraan perempuan dan lelaki dalam semua aktivitas politik, ekonomi, kebudayaan, dan sosial.
Negeri ini berkembang pesat ketimbang sekitar sepuluh tahun lalu ketika saya ke sini. Waktu itu di Hanoi dan sekitarnya saya sengaja ikut rombongan dipandu guide setempat.
Ia menerangkan berbagai tempat bersejarah, termasuk ketika mengunjungi desa terpencil, ia wanti-wanti agar kami tidak membeli cenderamata yang diasongkan oleh anak-anak demi mendorong agar mereka bersekolah, tidak jualan. Ketika saya tanya di mana ia belajar bahasa Inggris dan hospitality service, ia menjawab: di Indonesia, Bali. Saya garuk-garuk kepala.
Berada di pusat kota HCM City kini layaknya berada di Place de la Concorde, Paris. Gedung-gedung tua dimanfaatkan sebagai toko dan butik barang-barang bermerek. Sangat gemerlap.
PASCAL BIN SADJU
Pengemudi ojek menunggu penumpang di Ho Chi Minh City, Juni 2020.
Ada pernyataan pejabat tinggi, hasil dari kesetaraan jender melahirkan kemajuan sosial yang tecermin dalam keadilan, demokrasi, dan keberadaban masyarakat. Memang agak retorik, tetapi biar sajalah. Toh HCM City—meski sosialis komunis dan bendera palu arit di mana-mana—terlihat aman bagi perempuan.
Kaum perempuan niscaya jauh lebih tahu persoalan mereka sendiri. Saya tilik ulang pengalaman saya pribadi, di sejumlah tempat yang pernah saya kunjungi dan saya pikir tidak akan ketemu turis dari Indonesia, selalu saja saya ketemu pejalan sendirian (solo traveller)dari Indonesia, umumnya perempuan. Mereka bukan tipe mapan yang tahunya cuma mal.
Di desa kecil di perbatasan Thailand-Myanmar, telinga saya menangkap orang bercakap dalam bahasa Indonesia. Ternyata dua perempuan, mengaku dari Jakarta, sedang mencari tempat sepi. Di desa ini terdapat resor yang jauh dari keramaian, tanpa listrik, hanya bisa dicapai dengan boat melintasi jembatan Kwai yang terkenal, terutama bagi mereka yang kenal film The Bridge on the River Kwai.
Di desa kecil di perbatasan Thailand-Myanmar, telinga saya menangkap orang bercakap dalam bahasa Indonesia.
Pernah pula di Luang Prabang, Laos, di Sungai Mekong, saya ketemu perempuan dari Indonesia sendirian, sama-sama berperahu untuk melihat sunset. Masih banyak lagi tempat terpencil di mana saya bertemu sosok seperti itu. Mereka ini umumnya memiliki ciri-ciri yang agak sama: independen, avonturis, single.
KOMPAS/IWAN SANTOSA
Kota Phnom Penh yang indah, dialiri Sungai Mekong, Bassac, dan Tonle Sap serta beberapa anak sungai lain. Tepian sungai menjadi halaman muka Phnom Penh yang dijaga kebersihannya dan menjadi salah satu atraksi wisata.
Pernah saya bertanya kepada teman perempuan di Jakarta, yang kebetulan single dan saya tahu sering melakukan perjalanan sendirian. Dia katanya sekadar mencoba untuk berbahagia sebagai single. Kalau sebagai single saja tidak berbahagia, apakah ditambah pasangan akan lebih berbahagia, ia balik bertanya. Bakal tambah ribet, ucapnya tertawa.
Benar juga, pikir saya. Setiap orang berhak menentukan hidupnya sendiri. Problemnya, Jakarta tidaklah cukup aman bagi perempuan seperti kota-kota lain di luar negeri yang ia kunjungi.
Atau kalau kita bertanya, apakah Jakarta atau kota-kota besar lain di Indonesia cukup aman bagi perempuan untuk keluar malam sendirian, jawabnya jangan-jangan malah: apa pantas perempuan keluar malam sendirian. Mau apa keluar malam sendirian?
Kemajuan sebuah bangsa memerlukan trust.
Digayuti awan prasangka kita tidak akan ke mana-mana.***