Tak Ada Garansi dari Demokrasi, Bangsa Arab Lebih Rindukan Stabilitas
Belajar dari dampak yang ditimbulkan oleh Musim Semi Arab, warga Arab tidak lagi mempersoalkan model pemerintahan yang tepat di dunia Arab. Bagi mereka, demokrasi atau bukan, yang penting terwujud pemerintahan efektif.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Dalam rangka memperingati 12 tahun Musim Semi Arab yang mulai meletup pada Desember 2010-Januari 2011, jaringan Arab Barometer yang bermarkas di Universitas Princeton, Amerika Serikat, pada Juli 2022 mengadakan jajak pendapat tentang model pemerintahan yang ideal dan efektif di dunia Arab.
Jajak pendapat tersebut melibatkan 23.000 responden yang tersebar di Mesir, Lebanon, Jordania, Tunisia, Mauritania, Maroko, Sudan, Irak, Libya, dan wilayah Otoritas Palestina. Hasil jajak pendapat itu dipublikasikan oleh BBC Arabic dan harian Asharq al-Awsat pada akhir Januari 2023.
Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan, 60 persen responden dari negara-negara Arab menegaskan bahwa mereka tidak mempersoalkan model pemerintahan yang berjalan di dunia Arab asalkan pemerintahan tersebut efektif. Mereka juga menyebut, model demokrasi bukan model yang ideal dan ternyata gagal menciptakan reformasi di dunia Arab.
Para responden tersebut menyampaikan bahwa sampai saat ini mereka masih terus merasakan dampak kerugian ekonomi akibat meletusnya Musim Semi Arab itu. Mesir dan Tunisia, meskipun berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan, kondisi ekonomi kedua negara itu masih terseok-seok sampai saat ini.
Adapun negara-negara Arab lain yang juga dilanda Musim Semi Arab, seperti Suriah, Yaman, dan Libya, masih dilanda krisis di semua sektor, yakni ekonomi, politik, dan keamanan. Dampak buruk yang panjang, yakni terpuruknya selama lebih dari satu dekade pada bidang ekonomi, politik, dan keamanan negara-negara Arab tersebut, memengaruhi bentuk opini responden yang terlibat dalam jajak pendapat tersebut.
Mereka menerima model pemerintahan apa pun, yang penting mampu membebaskan dari krisis berkepanjangan di negara-negara Arab tersebut. Apalagi, mereka melihat keadaan yang tidak kalah buruknya di sejumlah negara Arab yang dikenal dilanda Musim Semi Arab gelombang kedua, seperti Irak, Lebanon, dan Sudan.
Menurut laporan Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA), kerugian ekonomi dunia Arab akibat Musim Semi Arab mencapai 614 miliar dollar AS pada periode 2011-2015. Kerugian kemanusiaannya lebih buruk daripada kerugian ekonomi. Menurut laporan PBB pada 14 Maret 2021, jumlah pengungsi Suriah di dalam negeri mencapai 6,9 juta jiwa, sementara pengungsi Suriah di luar negeri mencapai 6,6 juta jiwa.
Anak belia Suriah yang putus sekolah akibat perang saudara di negara itu mencapai 2,6 juta jiwa. Rakyat Suriah yang masuk kategori miskin mencapai 91 persen dari keseluruhan penduduk Suriah. Rakyat Suriah yang masuk kategori kelaparan mencapai 3,3 juta jiwa. Akibat perang, rakyat sipil Suriah yang mengalami luka-luka dan cacat mencapai 1,8 juta jiwa. Belum lagi puluhan ribu orang lainnya dinyatakan hilang.
Kerugian ekonomi dunia Arab akibat Musim Semi Arab mencapai 614 miliar dollar AS pada periode 2011-2015. Kerugian kemanusiaannya lebih buruk daripada kerugian ekonomi.
Menurut organisasi Transparency International (TI), sejumlah negara Arab yang dilanda Musim Semi Arab, seperti Suriah, Yaman, dan Libya, merupakan negara-negara paling korup. TI melaporkan, Suriah menempati urutan ke-172, Yaman 174, dan Libya 178 sebagai negara terkorup dari 180 negara di muka bumi ini yang diperingkat. Kondisi keamanan dan politik di Suriah, Yaman, dan Libya juga merupakan terburuk di dunia Arab.
Analis politik asal Tunisia, Khalil el-Rekik, mengatakan bahwa ambruknya perekonomian di negara-negara Arab yang dilanda Musim Semi Arab itu merupakan harga yang harus dibayar akibat gagalnya salah kelola politik, keamanan, dan ekonomi setelah meletusnya Musim Semi Arab.
Menurut dia, ada gerakan pelurusan revolusi di Mesir pada tahun 2013 dan di Tunisia pada tahun 2021 sehingga lebih tercipta stabilitas politik di kedua negara Arab tersebut. Namun, sektor ekonomi di dua negara itu masih terus mengalami kesulitan.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Kairo Tareq Fahmi juga mengatakan bahwa negara yang memiliki institusi negara cukup kuat, seperti Mesir dan Tunisia, berhasil mengembalikan stabilitas politik dan keamanan, tetapi masih menghadapi kesulitan di sektor ekonomi.
Menurut dia, negara-negara Arab yang lemah institusi negaranya, seperti Yaman, Libya, dan Suriah, beralih menjadi negara yang terpecah-pecah akibat berlarut-larutnya pertarungan kekuatan politik dan milisi bersenjata. Fahmi menambahkan, intervensi kekuatan regional, seperti Iran dan Turki, serta internasional, seperti AS dan Rusia, turut memperburuk situasi di Suriah, Libya, dan Yaman.
Mantan Menteri Keuangan Lebanon Jihad Azour mengatakan, kondisi ekonomi dunia Arab sesungguhnya mengarah semakin membaik. Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi, pertumbuhan ekonomi di dunia Arab sekitar 4,1 persen pada tahun 2023. Namun, ia mengakui, kondisi ekonomi di dunia Arab masih berat akibat meletusnya perang Ukraina-Rusia setelah mulai meredanya Covid-19.
Azour memprediksi, inflasi di dunia Arab bisa berkisar 13 persen hingga 20 persen pada tahun 2023 akibat naiknya harga pangan dan energi, serta meningkatnya angka pengangguran hingga mencapai 11,6 persen.
Adapun pengamat politik asal Mesir, Abdel Munim Said, menyebut bahwa meski krisis ekonomi dan politik masih banyak melanda dunia Arab saat ini, upaya untuk terus memperbaiki atmosfer politik dan ekonomi di dunia Arab terus dilakukan tanpa henti. Upaya itu, antara lain, terlihat dari pertemuan sejumlah pemimpin Arab dari Mesir, Jordania, Qatar, Oman, Bahrain, dan Uni Emirat Arab di Abu Dhabi pada 18 Januari 2023.
Di tengah kondisi kawasan secara keseluruhan yang masih terseok-seok, rangkaian pertemuan tersebut tentu menjadi fenomena positif di dunia Arab saat ini.