Partai Politik di Persimpangan Jalan
Saat ini kita hidup dalam suasana yang berbeda di mana perubahan datang dengan sangat cepat. Parpol belum menunjukkan kepekaan terhadap perubahan-perubahan sosial yang tengah terjadi di dalam masyarakat dan level global.
Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan 18 partai politik peserta Pemilu 2024 di tingkat nasional, dan enam parpol lokal di Aceh.
Namun, di tengah ingar-bingar politik menjelang Pemilu 2024, ada pertanyaan penting yang mesti kita jawab bersama: akan ke mana parpol kita? Dan masihkah parpol relevan dalam mengagregasi kepentingan dan hajat politik publik saat ini?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tahun 2023 dan tahun-tahun ke depan, kita akan hidup dengan kondisi yang jauh lebih menantang dan berat dibandingkan sebelumnya. Dunia akan menghadapi ketidakpastian ekonomi dan potensi terjadinya resesi sudah di depan mata.
Dengan tantangan yang lebih berat, parpol seharusnya sudah menyiapkan agenda dan model kebijakan untuk cepat beradaptasi dengan kondisi domestik dan global yang tidak pasti dan rentan berubah. Namun, pada kenyataannya, belum ada cetak biru kebijakan yang telah disiapkan parpol untuk menghadapi situasi yang tidak pasti tersebut. Pada level nasional, misalnya, tidak ada grand strategy partai untuk merespons situasi-situasi perubahan yang tengah terjadi.
Pada level nasional, misalnya, tidak ada grand strategy partai untuk merespons situasi-situasi perubahan yang tengah terjadi.
Pada level domestik, dengan perubahan teknologi informasi yang datang dengan sangat cepat, parpol tidak lagi menjadi wadah utama bagi publik saat menyampaikan aspirasinya.
Apalagi di tengah suasana di mana kita hidup dalam dunia yang terkoneksi, internet dan media sosial menjadi platform bagi publik untuk mengekspresikan sikap dan pilihan politiknya. Survei Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) pada 2022 mencatat penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 77 persen.
Dengan penetrasi internet yang semakin meningkat secara nasional dan kemudahan publik untuk mengakses internet, politisi tidak lagi satu-satunya tokoh publik yang didengarkan pendapatnya. Masyarakat di alam digital saat ini mendasarkan pilihan dan sikap politiknya pada selebgram, pendengung, dan pemengaruh.
Perubahan
Saat ini kita hidup dalam suasana yang berbeda di mana perubahan datang dengan sangat cepat. Sementara respons parpol terhadap perubahan tersebut masih minim. Partai kita masih disibukkan urusan politik elektoral dan kekuasaan.
Pada sisi lain, parpol juga belum menunjukkan kepekaan terhadap perubahan-perubahan sosial yang tengah terjadi di dalam masyarakat dan pada level global. Setidaknya ada beberapa kondisi dan perubahan sosial yang tengah terjadi yang seharusnya bisa menjadi agenda kebijakan partai ke depan.
Kondisi pertama, yang perlu mendapatkan perhatian dari parpol ialah menyiapkan kemampuan kita untuk beradaptasi dengan disrupsi teknologi dan transformasi digital.
Akses publik pada teknologi ke depan akan menentukan cara pandang masyarakat dalam melihat politik dan pemerintahan, serta akan memengaruhi daya saing kita di tingkat regional dan global. Teknologi juga akan memengaruhi perkembangan industri kita ke depan. Prediksi McKinsey (2022), pada 2025, sekitar 70 persen industri manufaktur akan menggunakan teknologi digital.
Baca juga : Koalisi di Persimpangan Jalan
Transformasi digital juga seharusnya mendorong inovasi pelayanan publik dan penguatan ekosistem kebijakan yang inovatif sehingga pelayanan dan pembuatan kebijakan dapat berbasiskan bukti. Parpol-parpol juga harus memikirkan revolusi digital yang diperkirakan akan datang lebih cepat dengan pertumbuhan masif kecerdasan buatan (artificial intelligence), robotics, dan machine learning.
Kondisi kedua adalah menguatnya kembali re-urbanisasi karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang mencukupi di daerah perdesaan (rural) sehingga para pencari kerja berburu pekerjaan ke kota.
Dengan kondisi ini, daya tampung kota yang padat menciptakan problem-problem sosial baru, seperti tumbuhnya daerah permukiman kumuh, kemiskinan kota, kemacetan, dan kepadatan yang tinggi pada daerah-daerah penyangga. Walhasil, pemerintah kota kesulitan menyiapkan kerangka kebijakan kota yang memadai dan pada akhirnya memengaruhi tata kelola kota-kota besar di Indonesia ke depan.
Ke depan, arah kebijakan parpol salah satunya harus memberikan tempat pada isu-isu perkotaan. Apalagi saat ini berdasarkan hasil Sensus Nasional BPS (2020), sekitar 57 persen dari total populasi Indonesia berada di perkotaan.
Namun, jika dibandingkan di antara kota-kota besar di Indonesia, pertumbuhan populasi yang tinggal di daerah urban paling pesat terjadi di daerah megaurban Jabodetabek (Mardiansjah, dkk, 2021).
Kondisi ketiga, masih tingginya ketimpangan di antara masyarakat dan ini juga luput dari perhatian partai. Studi Bank Dunia (2016) menunjukkan terjadinya peningkatan angka ketimpangan secara cepat di Indonesia daripada negara-negara lain di kawasan, dan ini dapat mendorong perlambatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan angka kemiskinan serta meningkatkan risiko konflik sosial di antara masyarakat.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian parpol ke depan adalah terkait isu perubahan iklim dan pemanasan global. Apalagi sejak lama dunia internasional punya komitmen tinggi untuk penurunan emisi karbon dan deforestasi.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian parpol ke depan adalah terkait isu perubahan iklim dan pemanasan global.
SDM Unggul
Memang tak mudah bagi parpol untuk memberikan respons yang terukur terhadap perubahan-perubahan sosial yang tengah terjadi. Selama ini sebagian besar parpol tak memberikan perhatian untuk membangun sumber daya unggul di internal partai melalui program pengembangan kapasitas kader dan calon pemimpin.
Sebagai sumber rekrutmen politik nasional dan lokal, partai seharusnya menjadi kawah candradimuka dalam menyiapkan kepemimpinan nasional dan lokal yang inovatif, adaptif, dan kreatif. Namun, pada sebagian parpol belum tersedia mekanisme internal untuk menggembleng para calon pemimpin dalam aspek pengembangan kemampuan dasar kepemimpinan, manajemen, dan proses pembuatan kebijakan.
Walhasil, pertukaran pemikiran dan inovasi kebijakan tidak terjadi dalam proses pembahasan kebijakan.
Anggota legislatif yang notabene kader partai memiliki keterbatasan saat beradu argumen atau data dengan eksekutif dalam pembahasan kebijakan. Di sisi lain, pemerintah berhasil merekrut SDM unggul dan kompeten sebagai birokrat. Kondisi ini membuat debat-debat kebijakan yang produktif jarang terjadi di DPR/DPRD.
Dengan dukungan tenaga ahli yang terbatas, anggota Dewan harus berbagi peran dalam beberapa alat kelengkapan DPR (komisi/badan). Padahal, pada saat yang sama, anggota legislatif harus memberikan respons kebijakan secara memadai saat rapat dengan mitra kerja komisi yang jumlahnya 4-16 kementerian/lembaga. Keputusan parpol dalam menentukan keanggotaan komisi/badan sering kali belum mempertimbangkan latar belakang atau kompetensi anggota legislatif.
Untuk mengatasi ini, ke depan, parpol perlu merekrut tenaga profesional dari luar partai agar bisa menutupi gap SDM dengan eksekutif. Dengan begitu, diskursus kebijakan antara partai (legislatif) dan eksekutif menjadi lebih produktif. Hal itu penting agar tidak muncul kesan DPR sebagai stempel kebijakan pemerintah seperti pada masa Orde Baru.
Partai politik perlu kita dorong untuk bisa terus berbenah dan terlembaga dengan baik.
Saat ini, sebagian parpol tercerabut dari akarnya dan tidak mempunyai ikatan yang kuat dengan pemilih. Sebagian lainnya sibuk berebut kuasa dan elektoral tanpa peduli permasalahan sosial yang tengah terjadi. Tak heran jika partai menjadi salah satu organisasi yang kurang dipercaya publik.
Dengan terus-menerus mendorong parpol berbenah, kita berharap parpol bisa menyadari peran strategisnya di tengah publik dan bisa meneroka jalan baru yang adaptif dan responsif terhadap kondisi riil masyarakat, agar tak terus berada di persimpangan jalan.
Arya FernandesKetua Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS