Dialog dalam perjumpaan antarpribadi dalam relasi interpersonal kian miskin dalam pendidikan kita pascadinamika pembelajaran daring selama pandemi. Hal ini harus diwaspadai dan diantisipasi.
Oleh
SIDHARTA SUSILA
·3 menit baca
Pasca-pembelajaran daring (online) sepanjang pandemi Covid-19, tengoklah apa yang terjadi dengan anak-anak kita. Ada kondisi-kondisi unik buah keakraban mereka dengan telepon pintar (smartphone) dan perangkat media sosial lainnya.
Pemandangan kebanyakan di sekolah-sekolah kita hari-hari ini hampir selalu didapati anak-anak yang asyik dengan gadget-nya. Namun bukan anak-anak saja, para guru pun melakukan hal yang sama.
Penulis merasa perlu melatih keterampilan baru ketika hadir dalam kegiatan bersama para siswa maupun guru pascapandemi ini. Hampir selalu, baik para siswa maupun guru asyik dengan gadget mereka ketika mengikuti pertemuan klasikal.
Teguran atau peringatan hanya menghentikan sejenak keasyikan mereka. Pada pengalaman seperti itu, penulis berjuang untuk menguatkan kesabaran dan tetap fokus kepada materi yang disampaikan.
Apakah tanpa sadar hari ini kita sudah menjadi bagian dari mesin komunikasi canggih itu? Itulah pertanyaan penting untuk mengenali bahwa ada yang telah berubah dengan cara kita menjalani kehidupan saat ini bersama sarana komunikasi modern.
Kita, para siswa, juga para guru telah memiliki ”rekan” yang bisa memenuhi apa pun yang dibutuhkan. Dengan dan dari gadget kita bisa belajar apa saja, mengetahui apa saja, atau mendapatkan apa saja. Nyaris kita tidak lagi membutuhkan seseorang. Seseorang itu seolah telah tergantikan perannya oleh gadget kita.
Pola interaksi kita dengan gadget akhirnya telah membentuk cara hidup, cara membangun pilihan, dan akhirnya keterampilan-keterampilan baru hidup kita. Sejumlah guru ada yang merasa perlu melatih anak didiknya untuk menulis dengan tangan. Ini hanya contoh kecil bahwa gadget telah ikut memengaruhi pertumbuhan keterampilan motorik.
Gadget, yang bekerja dengan big data dan kecerdasan buatan serta algoritma, telah sempurna melayani penggunanya untuk mengalurkan kepada suatu kesenangan dan minat. Tanpa sadar, kita seperti diarahkan kepada suatu bidang hidup dan informasi tertentu. Seseorang tiba-tiba hanya menggulati suatu topik tertentu dan cara penalaran dan reka bangun persepsi yang khas.
Pada kesadaran ini kita bisa bertanya, apakah gadget sedang menolong seseorang untuk dibawa semakin mendalam dan spesifik. Ataukah justru sedang hidup dalam kemiskinan dan kerapuhan memahami dan menghayati kehidupannya?
Adakah yang hilang?
Yang semakin kita kenali dari kehidupan kita hari-hari ini adalah semakin melonggarnya kepekaan relasi interpersonal. Kita semakin tidak ambil peduli dengan seseorang yang sedang berbicara atau menyampaikan materi bagi kita. Kita juga pelan-pelan semakin memaklumi, bahkan membiarkan pemandangan seperti itu. Sebagai guru atau penyampai materi, kita semakin sadar bahwa ada yang lebih menarik, atraktif, mengasyikkan, dan penting di gadget anak didik atau peserta pertemuan itu ketimbang apa yang sedang kita sampaikan atau bagikan.
Kuasa algoritma yang membuai pengguna dengan minat dan kesenangannya akhirnya perlahan menempatkan pengguna gadget sebagai bagian dari mesin cerdas itu.
Pertanyaannya, apakah ketika kita asyik dengan gadget itu terjadi dialog yang memberdayakan dan menghidupkan?
Dari sisi pengguna gadget, sekilas ia menjadi tuan atas gadget itu. Pengguna mempunyai kuasa untuk menentukan apa yang hendak didapatkan. Namun, kuasa algoritma yang membuai pengguna dengan minat dan kesenangannya akhirnya perlahan menempatkan pengguna gadget sebagai bagian dari mesin cerdas itu. Pengguna gadget itu bisa tumbuh dalam kepasifan karena lebih banyak hanya sebagai penikmat. Ada potensi tidak terjadi dialog antara pengguna dan gadget-nya.
Dialog itu bukan sekadar berbagi gagasan atau informasi. Pada dialog antarpribadi sesungguhnya terjadi juga perjumpaan dimensi-dimensi hidup yang saling memperkaya, memberdayakan, bahkan mentransformasi. Itulah yang bisa dipelajari dari kisah dialog Maria bersama Malaikat Gabriel yang tersurat dalam kitab suci umat Kristiani (Lukas 1:26-38).
Kita bisa menikmati kisah itu sebagai hikmat pembelajaran dialog kehidupan. Maria, gadis yang sederhana itu, mengalami kesulitan dan pergulatan untuk menerima anugerah dilibatkan dalam karya Allah untuk dunia. Kepada malaikat Gabriel, ia kemukakan pemahaman dan penalaran manusiawinya. Malaikat Gabriel pun menanggapi kegundahan Maria. Terjadilah dialog.
Agaknya, dalam dialog yang terjadi antara Maria dan Malaikat Gabriel itu bukan hanya membagikan informasi dan penalaran. Pada perjumpaan dialog Maria dan Malaikat Gabriel itu terjadi perjumpaan dimensi kejiwaan, dimensi energi dan vibrasi, antara Malaikat Gabriel dan Maria. Pada perjumpaan semacam itu yang terjadi bukan hanya mampu memperkaya pemahaman Maria akan maksud Allah bagi dirinya. Perjumpaan seperti itu juga menolong Maria bertransformasi hingga ia memiliki kesanggupan yang sehat untuk menerima anugerah Allah yang istimewa itu.
Dialog dalam perjumpaan antarpribadi dalam relasi interpersonal itulah yang mungkin kian miskin dalam pendidikan kita pascadinamika pembelajaran daring sepanjang pandemi. Keterampilan manusiawi untuk saling memperkaya dan memberdayakan diri dalam perjumpaan dan dialog antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa kian rapuh. Kita perlu waspada dengan hal ini agar pendidikan kita tetap menjadi ruang istimewa untuk membentuk manusia yang tumbuh berkembang seutuhnya, baik pembelajar maupun pendidik.