Presidensi India, C20, dan IACC
Pada KTT G20 yang ke-18 pada akhir 2023, kelompok masyarakat sipil, C20, khususnya Anti-Corruption Working Group diharapkan dapat mengamplifikasi dan mengagregasi ide pembentukan Pengadilan Anti Korupsi internasional.

Sejak 1 Desember 2022, tongkat presidensi G20 berada di tangan India. Menurut rencana, Konferensi Tingkat Tinggi pemimpin G20 yang ke-18 akan diselenggarakan di Pragati Maidan, New Delhi, India, pada akhir 2023.
Pertanyaan segera mengemuka, bagaimana kelompok masyarakat sipil, C20, khususnya Anti-Corruption Working Group (ACWG), tampil lebih mengesankan dan distingtif pada KTT G20 nanti. Proposal apa yang perlu di-submit ACWG pada rangkaian pertemuan KTT tersebut?
Saya mengusulkan supaya nanti ACWG mengamplifikasi dan mengagregasi ide pembentukan Pengadilan Anti Korupsi Internasional (International Anti-Corruption Court/IACC). Perkumpulan Prakarsa-CSO dari Indonesia yang menjadi panitia pengarah forum C20 nanti di India—mungkin bisa mengartikulasikan usulan tersebut. Proposal ini akan memaksa ACWG keluar dari zona nyaman. Mengapa?
Baca juga: Revitalisasi Pemberantasan Korupsi
Sudah ada peta jalan
Meski sudah digagas pada 2012, proses pendirian IACC bisa dikatakan baru dimulai. Pada Juni 2021, International Integrity Initiative—sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional—menggelar deklarasi dukungan pendirian IACC. Tidak kurang dari 125 tokoh masyarakat dari 40 negara menandatangani deklarasi tersebut. Dari Indonesia ada Marzuki Darusman (mantan Jaksa Agung dan mantan Special Rapporteur PBB tentang HAM di Korea Utara) dan Laode M Syarief (mantan komisioner KPK).
Meski sudah ada peta jalan dan institusional memori pendirian Pengadilan Kejahatan Internasional/International Criminal Court (ICC) yang bisa jadi contoh dan cermin dalam pendirian IACC, tampaknya pendirian IACC akan lebih sulit dan menantang. Peta jalan dan institusional memori pendirian ICC—yang berkantor pusat di Den Haag, Belanda—sebenarnya berpusat pada penyusunan, pengadopsian, peratifikasian, dan penerapan Statuta Roma.
Statuta Roma itu kerangka hukum berdirinya ICC. Dalam Statuta Roma inilah diatur segala hal yang berkaitan dengan ICC, di antaranya yurisdiksi, tata cara dan proses pemidanaan, struktur organisasi plus tugas pokok dan fungsi elemen-elemen organisasi, tata kelola internal, mekanisme pengambilan keputusan, anggaran, pelaporan dan mekanisme akuntabilitas, dan lain-lain.

Kalau ICC memidanakan genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi lalu apa yang mau dipidanakan dalam IACC? Dalam tulisannya yang berjudul ”The World Needs an International Anti-Corruption Court”, Mark L Wolf mengusulkan yang nanti dipidanakan itu bukan kasus korupsi recehan (petty corruption), melainkan skandal megakorupsi (grand corruption). Dalam skandal megakorupsi, selain magnitudo kerugian keuangan negara yang besar, juga berdampak luas pada memburuknya kualitas pelayanan publik, terganggunya pemenuhan hak asasi manusia, degradasi kualitas lingkungan hidup, dan melemahnya bangunan demokrasi.
Kasus megakorupsi tersebut biasanya dilakukan oleh pejabat tinggi negara/publik secara sistemik/terorganisasi, di bawah payung impunitas, dan bersifat lintas negara/kawasan. Korupsi lintas negara/kawasan mengindikasikan mega korupsi itu melibatkan eksistensi kawasan sekretif. Kawasan ini menyediakan jasa menyembunyikan identitas pemilik aset, mengubah aset Ilegal menjadi legal, membuat perusahaan cangkang, termasuk, kalau perlu, memberikan suaka politik.
Para pejabat pubik/negara kita yang namanya tercantum dalam Dokumen Panama, Dokumen Paradise, dan Dokumen Pandora, termasuk dua menteri senior, bisa disebut sudah menikmati impunitas semacam itu.
Impunitas dan korupsi lintas negara/kawasan inilah yang sebenarnya mendorong para aktivis antikorupsi mengampanyekan pendirian IACC. Impunitas itu keadaan di mana hukum nasional/domestik, pertama, gagal memidanakan terduga koruptor/penjahat keuangan lainnya, dan kedua, pengabaian hak-hak korban korupsi.
Aparat penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan, gagal menjalankan fungsinya karena berada di bawah pengaruh/kontrol pejabat negara/publik yang diduga korup. Para pejabat publik/negara kita yang namanya tercantum dalam Dokumen Panama, Dokumen Paradise, dan Dokumen Pandora, termasuk dua menteri senior, bisa disebut sudah menikmati impunitas semacam itu.
Baca juga: Paradise Papers dan Surga Korupsi di Indonesia

Para anggota Asosiasi Perpajakan terhadap Transaksi Finansial dan Bantuan untuk Warga Negara internasional (ATTAC) berunjuk rasa dengan memajang logo Apple bertuliskan Deman Jersey dalam aksi di salah satu toko Apple di Paris, Perancis, Jumat (10/11), setelah beredarnya dokumen Paradise Papers yang menunjukkan Jersey, salah satu wilayah bawahan Inggris di dekat Normandia, Perancis, menjadi salah satu lokasi yang digunakan Apple untuk menghindari pajak.
Agenda berikutnya
Setelah menggelar deklarasi dukungan, agenda utama pendirian IACC ke depan adalah menyusun statuta IACC, mendorong banyak negara mengadopsi dan meratifikasi statuta IACC, serta mengimplementasikan dan merawat Statuta IACC. Statuta IACC ini bisa diganti dengan nama lain, misalnya sebut saja sebagai Statuta St Petersburg. Di kota inilah, dalam sebuah forum hukum internasional, gagasan pendirian IACC untuk pertama kalinya dikemukakan.
Anti-Corruption Working Group bisa mengadopsi dan ambil bagian penting dalam ketiga agenda tersebut. Bermitra dan bekerja sama dengan International Integrity Initiative, ACWG harus melobi negara-negara anggota G20 untuk menyepakati pembentukan IACC.
Tentu ini tidak akan mudah. Negara-negara dengan gejala impunitas kuat bukan hanya enggan, tetapi sangat mungkin resisten terhadap gagasan ini. Demikian juga negara-negara yang memiliki/menguasai kawasan sekretif. Lebih dari setengah negara anggota G20, seperti Amerika, Inggris, Jepang, Jerman termasuk negara-negara yang memiliki/menguasai kawasan sekretif paling penting di dunia. Lihat misalnya tulisan saya yang berjudul ”Duri dalam G20” (Kompas, 17/11/22). Bagaimanapun proposal ini akan mengganggu kepentingan (tersembunyi dan manifes) mayoritas negara anggota G20.
Baca juga: Duri dalam G20
Bagaimana prospek Pemerintah Indonesia mendukung dan meratifikasi IACC? Pemerintah kita belum meratikasi Statuta Roma. Ini menunjukkan pemerintah masih memberi payung impunitas kepada para pejabat publik/negara baik sipil maupun militer yang diduga terlibat dalam kejahatan kemanusiaan di masa lalu.
Keputusan Presiden No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu tampaknya membawa semangat impunitas demikian. Keengganan aparat penegak hukum menindaklanjuti laporan Dokumen Panama, Dokumen Paradise, dan Dokumen Pandora juga menunjukkan gejala impunitas dalam kejahatan korupsi/finansial lintas batas yang ditengarai melibatkan warga negara Indonesia.
Padahal, di negara-negara lain laporan tersebut ada terbukti mengandung kebenaran, bahkan jauh sebelum aparat penegak hukum turun tangan mengungkapnya. Baru disebut namanya saja dalam Dokumen Panama sudah cukup bagi Perdana Menteri Eslandia untuk mundur dari jabatannya.
Baca juga: Setahun Dokumen Panama
Pemerintah juga tampaknya kurang antusias menindaklanjuti rekomendasi hasil peer review Tim Review Implementasi Konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention on Anti-Corruption). Lebih dari setengah dari jumlah rekomendasi tim tersebut masih menggantung. Dengan konteks dan pengalaman seperti itu sulit dibayangkan pemerintahan saat ini, nanti mau mengadopsi dan meratifikasi Statuta IACC.
Mungkin pemilu-pemilu dan pilpres yang akan datang akan melahirkan pemerintahan baru yang lebih responsif, akuntabel, dan amanah pada pemberantasan korupsi dan kejahatan finansial lintas batas sehingga bukan hanya mengadopsi dan meratifikasi Statuta IACC, melainkan juga proaktif dalam membidani lahirnya IACC.
Dedi Haryadi, Ketua Beyond Anti Corruption; Pegiat Perkumpulan Bumi Alumni Unpad

Dedi Haryadi