Diserap ke dalam bahasa Indonesia, arti ”trivia” praktis tak berubah, sebagai hal sepele. Namun, di balik ”kesepelean”-nya, ”trivia” hakikatnya suatu pengetahuan tentang manusia juga.
Oleh
Kasijanto Sastrodinomo
·1 menit baca
Perbincangan tentang kata trivia ini meletik oleh kritik Mochtar Pabottingi terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo terkait tipe pemimpin bakal penggantinya kelak. Menurut Presiden, siapa yang ”berambut putih” dan ”berwajah keriput” dialah pemimpin yang sungguh-sungguh memikirkan nasib rakyat. Pernyataan itulah yang dinilai periset (eks) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut sebagai trivia—hal sepele dan tidak substantif (disiarkan Satu Meja, Kompas TV, 30/11/2022).
Etimologitrivia, sebelum menyebar ke pelbagai bahasa di dunia, ialah trivium—khazanah Latin Baru yang dibentuk dari prefiks tri- (three) dan nomina via, berarti ’simpang jalan’; crossroad dalam kosakata Inggris. Dari sini lahir adjektiva trivial yang berarti ’tersua di mana-mana’; atau ’biasa-biasa saja’; nominanya ialah trivia. Dari takrif yang membayangkan situasi ”berceceran” dan ”tak istimewa” itulah, trivia dalam Inggris lalu diartikan ’unimportant matters’ dan ’facts (as about people or events) that are not well-known’ (Kamus Merriam-Webster daring).
Diserap ke dalam bahasa Indonesia, arti trivia praktis tak berubah. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi V) menjelaskannya sebagai ”kumpulan benda, informasi, fakta, dan sebagainya, yang tidak penting”. Definisi ini terasa lugas memaknai trivia sebagai hal sepele.
Sejarah mikro justru peduli pada sisi-sisi inarticulate dalam kehidupan sosial orang ramai di Daratan Eropa pada abad-abad lampau.
Bandingkan dengan Kamus Dewan (Melayu) yang membubuhi catatan bahwa dalam trivia juga terkandung unsur kemenarikan—misal dalam subyek tertentu (sains, seni, budaya populer) yang biasa dipakai dalam kuis cerdas-cermat di stasiun televisi dan lain-lain.
Jangan lupa, trivium juga bertakrif serius yang mewadahi makna penting selain arti remeh-temeh tadi. Di negara-negara Eropa abad Pertengahan, trivium merupakan sebutan bagi satuan kurikulum liberal arts yang diampu Gereja; terdiri dari gramatika, retorika, logika—kini dikenal sebagai rumpun humaniora. Sementara, kelompok ilmu pengetahuan lain ialah quadrivium; meliputi aritmatika, geometri, astronomi, musik—beken sebagai sains sekarang (Crane Brinton, dkk, Civilization in the West, 1964).
Jauh hari kemudian (akhir 1970-an), peneliti sejarah di Eropa, khususnya di Italia, mengangkat kata trifle—sinonim trivia—sebagai konsep dasar genre sejarah mikro. Tidak seperti sejarah konvensional yang condong pro-grandiose ’kemegahan’, sejarah mikro justru peduli pada sisi-sisi inarticulate dalam kehidupan sosial orang ramai di Daratan Eropa pada abad-abad lampau.
Antologi Microhistory and the Lost Peoples of Europe (ed Edward Muir dan Guido Ruggiero, 1991), contohnya, berkisah tentang pengumpul koral, perajin minyak zaitun, tukang sihir, penjarah rumah ibadah, unwed mothers alias kaum perempuan ”hamil duluan”, dan topik-topik ”sepele” yang lain.
Dalam kamus saku tesaurus Webster (2002), nomina trifle dipadankan dengan toy, dally, flirt, coquet (British: coquette). Intinya, kira-kira, ”main-main”, ”bergenit-genit”, dan yang serupa. Namun, seperti ditunjukkan pengkaji sejarah mikro, trifle(s), di balik ”kesepelean”-nya, hakikatnya suatu pengetahuan tentang manusia jua.