Suku Bunga Global Menghantui Rupiah
Pengetatan kebijakan moneter dan fiskal AS berpotensi membawa perekonomian global kembali ke fase resesi yang dirasakan sejak triwulan I-2022 hingga saat ini. Indonesia perlu ikut menaikkan suku bunga acuan BI.
Ekonom dan para pelaku pasar sepakat bahwa perekonomian global sedang memasuki era baru, yaitu era inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan kelangkaan modal. Kenaikan inflasi di Amerika Serikat dan zona euro memicu kenaikan suku bunga global yang menggerus likuiditas global. Investor global mengalihkan kepemilikan asetnya ke dalam aset keuangan AS.
Inflasi tinggi yang disebabkan oleh gangguan sisi pasokan bersifat permanen. Hal ini juga dibahas dalam tulisan Mohammad Ikhsan, ”Inflasi Tinggi, Temporer atau Permanen?” (Kompas, 12/1/2022).
Tulisan Mohamad Ikhsan mengutip dua penerima Nobel ekonomi, Profesor Michael Spence dan Profesor Nouril Roubini (2022), dalam buku terbaru mereka , Megathreat; yang berpendapat bahwa inflasi dewasa ini lebih bersifat permanen dan akan berlangsung dalam jangka waktu panjang.
Sejalan dengan pandangan di atas, The Economist (10-16 Desember 2022), dengan kalimat provokatif menyatakan ”welcome to the end of cheap money”. Judul tulisan ”The New Rules” tersebut pada intinya mengingatkan bahwa perekonomian global tengah memasuki tatanan baru yang ditandai oleh inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan kelangkaan modal.
Baca juga : Inflasi Tinggi, Temporer atau Permanen?
Kenaikan suku bunga AS menyebabkan likuiditas perbankan di perekonomian negara-negara yang sedang bertumbuh (emerging market economies/EMEs) menyusut. Sebagai bagian dari EMEs, perbankan Indonesia mengalami penurunan likuiditas dari posisi Januari 2022 yang sekitar Rp 1.021,181 triliun menjadi Rp 575,242 triliun pada September 2022.
Inflasi dan suku bunga tinggi
Berdasarkan sasaran inflasi yang ditetapkan oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) sebesar 2 persen —dengan inflasi AS hingga November 2022 sebesar 7,1 persen—ada sinyal bahwa suku bunga acuan The Fed, Federal Fund Rate (FFR), akan naik secara agresif.
Hingga saat ini, suku bunga acuan FFR sudah naik dari 0,25-0,50 persen pada Januari 2022 menjadi 4,25-4,50 persen pada 14 Desember 2022. Perkembangan inflasi AS yang masih jauh dari target The Fed diperkirakan akan diikuti oleh kenaikan FFR menjadi 4,75-5,0 persen pada triwulan I-2023.
Hal yang sama juga dilakukan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang menaikkan suku bunga acuan dari 0,5 persen pada Juli 2022 menjadi 2,5 persen pada 14 Desember 2022. Selanjutnya, suku bunga ECB diperkirakan menjadi 3 persen pada awal 2023, mengingat inflasi ZE masih 10,1 persen pada November 2022.
Ekonom senior dari Harvard Kennedy School yang juga mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers ikut mendorong agar The Fed secara agresif menaikkan FFR dalam rangka menekan laju inflasi.
Langkah tersebut terpaksa dilakukan meskipun pengorbanannya adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat naiknya biaya dana dan meningkatnya angka pengangguran menjadi 4,4 persen dari 3,5 persen tahun 2022.
Inflasi tinggi yang dialami oleh perekonomian AS, zona euro dan China tidak terlepas dari kebijakan kontrasiklus, yaitu kebijakan untuk melawan penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 tahun 2020.
Perekonomian global memasuki fase resesi pada triwulan II-2020, yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi negatif pada tiga perekonomian terbesar dunia, yaitu Amerika, China dan zona euro selama dua triwulan berturut-turut.
Melemahnya perekonomian global akibat pandemi Covid-19 direspons oleh negara maju dan EMEs secara bersamaan dengan kebijakan moneter dan fiskal ekspansif. Otoritas moneter menurunkan suku bunga dan otoritas fiskal memberikan stimulus fiskal sangat besar, lebih dari 4 triliun dollar AS yang setara dengan 20 persen produk domestik bruto (PDB) global tahun 2020.
Melemahnya perekonomian global akibat pandemi Covid-19 direspons oleh negara maju dan EMEs secara bersamaan dengan kebijakan moneter dan fiskal ekspansif.
Kebijakan moneter dan fiskal super longgar di negara maju dan EMEs segera membawa perekonomian global keluar dari resesi pada triwulan III-2020. Karena itu, resesi global tahun 2020 tercatat sebagai resesi tersingkat sepanjang sejarah sejak tahun 1970-an.
Meski demikian, ada harga yang harus dibayar oleh perekonomian global karena setelahnya inflasi naik sangat ekstrem di negara-negara maju. Inflasi AS mencapai titik tertinggi dalam 40 tahun terakhir, yakni 9,1 persen pada Juni 2022. Di zona euro, inflasi mencapai sekitar 10,6 persen pada Oktober 2022.
Secara khusus, persistensi inflasi AS dipicu oleh faktor yang bersumber dari sisi permintaan dan pasokan. Penyebab inflasi dari sisi permintaan adalah pergeseran konsumsi dari jasa ke barang, kebijakan moneter longgar, dan stimulus fiskal.
Sementara itu, pada sisi pasokan, faktornya adalah gangguan rantai pasok akibat pandemi Covid-19, kelangkaan di pasar tenaga kerja, serta tekanan harga makanan dan energi akibat perang Ukraina.
Inflasi tinggi yang bersifat permanen menyebabkan perubahan arah kebijakan moneter dan fiskal, yaitu berubah dari longgar menjadi ketat. Pengetatan kebijakan ditandai oleh kenaikan suku bunga acuan secara agresif dan berkurangnya stimulus fiskal secara drastis yang dilakukan bersamaan oleh negara maju dan EMEs.
ilustrasi
Tidak bisa dihindari, pengetatan kebijakan moneter dan fiskal berpotensi membawa perekonomian global kembali ke fase resesi yang dirasakan sejak triwulan I-2022 hingga saat ini. Secara teknis, perekonomian AS kembali memasuki resesi pada triwulan II-2022 di mana pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan I dan II tahun 2022 secara berturut-turut adalah minus 1,6 persen dan minus 0,6 persen.
Adapun perekonomian zona euro diperkirakan memasuki resesi pada triwulan I-2023. Tren pertumbuhan ekonomi di negara-negara zona euro terus menurun, yaitu dari pertumbuhan ekonomi positif 0,8 persen pada triwulan II menjadi 0,3 persen pada triwulan III, menjadi diperkirakan tumbuh negatif pada triwulan IV-2022 dan triwulan I-2023. Resesi adalah pertumbuhan negatif PDB selama dua kuartal berturut-turut (Julius Shiskin, 1974).
Implikasi bagi Indonesia
Pengalaman tahun 1980-an, saat inflasi AS sangat tinggi, sekitar 11,83 persen, Ketua The Fed saat itu, Paul A Volcker, mengambil kebijakan menaikkan FFR hingga 22,36 persen.
Kebijakan ini kemudian dikenal sebagai Volcker disinflation. Kebijakan Volcker menaikkan FFR menyebabkan depresiasi tajam rupiah. Hal sama terjadi pertengahan 2000-an, kenaikan FFR membuat rupiah juga tertekan.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Sejak awal Januari 2022 hingga saat ini, mata uang rupiah mengalami tekanan, terdepresiasi sekitar 10,07 persen dari Rp 14.279 per dollar AS pada awal Januari 2022 menjadi Rp 15.773 per dollar AS pada 28 Desember 2022.
Kebijakan Volcker menaikkan FFR menyebabkan depresiasi tajam rupiah.
Depresiasi rupiah disebabkan oleh aliran modal keluar akibat kenaikan suku bunga acuan The Fed. Penurunan likuiditas terjadi karena investor memindahkan asetnya dari surat berharga Indonesia ke surat berharga AS karena tergiur imbal hasil surat berharga AS berjangka waktu sepuluh tahun yang mengalami kenaikan.
Sebagai solusi terhadap permasalahan di atas, ada baiknya merujuk pada suatu konsep yang sangat terkenal dalam ekonomi moneter internasional, yaitu trilema kebijakan moneter (Mundell-Fleming trilemma). Konsep ini menjelaskan hubungan tiga variabel, yaitu kestabilan nilai tukar, kebebasan arus modal, dan independensi kebijakan moneter, di mana pengambil kebijakan hanya bisa mencapai dua dari tiga faktor tersebut dalam satu waktu.
Terdapat tiga opsi kebijakan yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Pertama, mempertahankan kebebasan arus modal dan independensi kebijakan moneter dalam rezim nilai tukar mengambang bebas.
Kedua, menjamin kestabilan nilai tukar dan kebebasan arus modal, tetapi menghilangkan independensi kebijakan moneter. Ketiga, membatasi arus modal untuk menjamin kestabilan nilai tukar dan independensi kebijakan moneter.
Dalam jangka pendek, pilihan kebijakan paling realistis bagi Indonesia adalah pilihan pertama, yakni dengan tetap konsisten pada doktrin kebebasan arus modal, nilai tukar mengambang bebas, dan kebijakan moneter yang fokus pada pengendalian inflasi.
Dalam jangka menengah dan panjang, memilih opsi kedua dengan menghidupkan kembali ide ASEAN currency union. Opsi ini dapat menjaga kestabilan nilai tukar sekaligus menjamin kebebasan aliran modal meskipun mengorbankan independensi kebijakan moneter.
Singkatnya, di tengah situasi global seperti sekarang, pilihan kebijakan yang segera bisa dilakukan adalah ikut menaikkan suku bunga acuan BI. Targetnya adalah menekan inflasi, mengurangi aliran modal keluar, mempertahankan likuiditas perekonomian, dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah meskipun pengorbanannya adalah biaya dana meningkat yang memberatkan konsumen dan pelaku usaha.
Muhammad Syarkawi Rauf Tenaga Pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Komisaris Utama PTPN IX