Sebagai DPSP, infrastruktur pendukung harus dibenahi. Dari jalan, hotel, restoran, dermaga penyeberangan, hingga bandara agar mampu didarati pesawat bermesin jet untuk mengangkut penumpang lebih banyak.
Oleh
PRAMONO DWI SUSETYO
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUM
Pemandangan menawan Danau Toba, Sumatera Utara dilihat dari sisi Pulau Samosir, Jumat (22/7/2011). Danau Toba dikeliling tebing terjal dengan ketinggian rata rata 1.200 meter serta luas 1.780 km2 dengan titik terdalam mencapai 500 meter.
Indonesia dikaruniai Tuhan berbagai tempat wisata dengan pemandangan indah dan tersebar di mana-mana. Salah satu obyek wisata yang banyak dikunjungi adalah Danau Toba, yang berada di Provinsi Sumatera Utara.
Danau Toba merupakan salah satu danau terindah di Indonesia. Saat masih bertugas di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saya mengunjungi danau ini lebih dari tiga kali, termasuk menghadiri kemeriahan Festival Danau Toba. Terakhir, 2015, saya sempat menyeberang ke Pulau Samosir dari Parapat.
Danau ini sejak 2021 ditetapkan pemerintah sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP), bersama Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur (NTT), Mandalika di Nusa Tenggara Barat (NTB), Borobudur di Jawa Tengah, dan Likupang di Sulawesi Utara.
Sebagai DPSP, infrastruktur pendukung harus dibenahi. Dari jalan, hotel, restoran, dermaga penyeberangan, hingga bandara agar mampu didarati pesawat bermesin jet untuk mengangkut penumpang lebih banyak.
Pemerintah mengucurkan Rp 2,4 triliun tahun 2020 untuk membangun Jalan Lingkar Samosir, Jembatan Tano Ponggol, revitalisasi Danau Toba, embung, instalasi pengolahan air, sanitasi, dan penataan kawasan tepi Danau Toba. Pemerintah juga menata kawasan Dolok Sipiak di Kecamatan Parapat, Kabupaten Simalungun, tempat wisatawan menikmati keindahan Danau Toba.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merampungkan pembangunan 1.799 homestay DPSP Danau Toba pada 2021. Pembangunan berlangsung di enam kabupaten: Samosir, Toba, Tapanuli Utara, Simalungun, Humbang Hasudutan, dan Dairi.
Sayang, pembangunan infrastruktur belum seiring kecepatan perbaikan dan pencegahan kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba. Pemerintah telah membangun 37,25 hektar persemaian bibit tanaman pada 2022 di Desa Motung, Kecamatan Ajibata.
Persemaian akan menghasilkan bibit hingga 10 juta per tahun. Ada jenis kayu-kayuan, seperti mahoni, pinus, kemenyan, makadamia, suren, dan meranti. Juga
pohon produktif, seperti petai, durian, jengkol, kemiri, alpukat, aren, dan kopi. Namun, bibit yang akan ditanam di 29.000 ha lahan kritis Danau Toba (dari luas keseluruhan DTA 112.986 ha) belum tentu tumbuh menjadi pohon dewasa tanpa dijaga dan dipelihara minimal 15 tahun.
Belum lagi perilaku masyarakat yang masih membakar ladang untuk bercocok tanam. Kondisi ini dapat disaksikan dari kapal penyeberangan Parapat-Samosir.
Pramono Dwi SusetyoPensiunan KLHK, Villa Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
”Tepuk Tangan”
Ilustrasi
”Bertanyalah pada anjing yang menggonggong”. Itulah kalimat penutup opini Mas Butet (Kompas, 14/1/2023).
Jawaban dari beberapa ”anjing yang menggonggong” itu intinya sama, jika tulisan Mas Butet tidak ditepuktangani dengan tulus dan antusias, tulisan macam apakah yang layak mendapat tepuk tangan?
Tulisan reflektif itu membuka mata hati, pikiran, terlebih mata spiritual batin. Kita diajak menengok Orde Baru yang banyak ketidaktulusan (hidup dalam era komando).
Masa kini tampaknya lebih parah. Tepuk tangan tidak sekadar lewat komando, tetapi bahkan direncanakan.
Opini Mas Butet juga masuk ke aspek sosial: tepuk tangan yang diwajibkan kepada audiens; tepuk tangan sebagai legitimasi dukungan pemikiran seorang penguasa meski secara logika tidak logis; tepuk tangan sebagai pemenuhan perasaan bangga dan bahagianya para seniman yang rela nombok setiap mentas.
Kita juga diajak mengelilingi dimensi manusia, dengan unsur jenaka untuk menertawai diri, karena kita kalau jujur juga haus tepuk tangan.
Tinjauan dari sisi budaya (Jawa) yang saya rasakan selama ini adalah orang Jawa tidak mudah meluapkan ekspresi penghargaan, kegembiraan, kesenangan, ataupun kemarahan kepada orang lain. Ekspresi perasaan lebih banyak disampaikan secara
tidak langsung. Kadang lewat kiasan (sanepa) dan bahasa tubuh. Perasaan takut menyakiti, takut diketahui menyukai sesuatu, membuat orang diam.
Kediaman kadang menjadi sikap kebablasan yang sering dianggap tidak kritis, tidak mampu menghargai orang lain dan sebagainya. Efek psikologis bagi orang yang tidak pernah mendapat penghargaan adalah kesulitan menjalani penerimaan diri.
Diah Utari BRMranggen Kidul, Sinduadi, Mlati, Sleman, DIY