Relasi Arab dengan Barat dan China
Setelah lama mati suri, Arab Teluk dan China menjalin hubungan diplomatik dan bisnis yang sangat dinamis dan intens belakangan ini. China kini dianggap mitra strategis Arab Teluk atas pertimbangan ekonomi dan politik.
Selama beberapa dekade, khususnya sejak Perang Dunia II, negara-negara Arab Teluk, yaitu negara-negara di kawasan Teluk Arab, seperti Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, dan Oman, menjadi sekutu setia negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris.
Hubungan baik negara-negara kaya di Timur Tengah itu dengan negara-negara Barat dilatari dan didorong kepentingan yang saling menguntungkan (mutual interest) dalam berbagai bidang: ekonomi, bisnis, politik, keamanan, pendidikan, dan lainnya. Selain itu, faktor kesejarahan juga menjadi dasar relasi konstruktif mereka.
Inggris adalah negara yang berjasa dalam proses pembentukan negara-negara Arab Teluk. Bahkan, bisa dikatakan Inggris yang ”menciptakan” mereka. Sementara AS berjasa dalam menciptakan fondasi ekonomi negara-negara Arab Teluk.
Sejak PD II dan era Perang Dingin, AS intens memperkenalkan dan membangun proyek modernisasi, kapitalisme, industrialisasi, dan developmentalisme di Timur Tengah, termasuk Arab Teluk, guna membendung dan menggembosi pengaruh musuh bebuyutannya: Uni Soviet beserta ideologi komunisme yang sudah lebih awal ”mencengkeram” Timur Tengah. AS juga yang berjasa menemukan ladang-ladang minyak di Arab Saudi dan lainnya pada akhir tahun 1930-an.
Baca juga: Seluk-beluk Qatar
Faktor lain yang tidak kalah penting ialah ”faktor Iran”. Keberhasilan Khomeini merebut Iran melalui revolusi tahun 1979, dari rezim Shah Pahlevi, membuat negara-negara Barat (Inggris, AS dan sekutunya) khawatir. Begitu pula negara-negara Arab Teluk.
Munculnya ”Iran baru” di bawah kontrol rezim Syiah militan-konservatif membuat negara-negara Arab Teluk yang didominasi rezim Sunni—dan merupakan tetangga Iran—waswas. Bagi Arab Teluk, ”Iran baru” produk revolusi yang anti-Barat dan sekutunya dianggap sebagai ”batu sandungan” (stumbling block). Padahal, sebelumnya, Iran adalah cs mereka karena sama-sama pro-Barat.
Karena khawatir terhadap pengaruh dan bahaya Iran, negara-negara Arab Teluk tahun 1981 kemudian bersekutu membentuk sebuah asosiasi politik-bisnis bernama Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC).
Dalam konteks sosio-historis inilah, relasi (dan sekutu) Arab-Barat bisa dimaklumi. Dampak dari persekutuan ini luar biasa. Arab Teluk menjelma menjadi ”rumah bisnis” negara-negara Barat. Banyak perusahaan AS, Inggris, dan lainnya yang beroperasi dan membuka kantor di Arab Teluk. Banyak pula universitas negara-negara Barat yang membuka cabang di Arab Teluk.
Sementara itu, Arab Teluk mendapat ”imbalan” proteksi keamanan jika ada gangguan dari faksi-faksi politik Syiah, khususnya Iran, tetapi juga lainnya, seperti Houthi di Yaman.
China: sekutu baru Arab Teluk
Sejak beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan peta politik-bisnis yang menarik di kawasan Arab Teluk, yakni mereka membentuk ”sekutu baru” dengan China (juga Jepang dan Korea Selatan). Setelah sekian lama mati suri, Arab Teluk dan China menjalin hubungan diplomatik dan bisnis yang sangat dinamis dan intens belakangan ini, didasarkan pada spirit simbiosis mutualisme.
Para pemimpin politik-pemerintahan dan berbagai institusi nonpemerintah (bisnis atau pendidikan) dari China dan negara-negara Arab Teluk saling mengunjungi dan menandatangani nota kesepahaman senilai miliaran dollar AS di berbagai sektor, yaitu ekonomi, bisnis, teknologi, energi, pendidikan, dan kebudayaan.
Beijing sendiri, di bawah bendera Satu Sabuk Satu Jalan (OBOR), telah meluncurkan berbagai program ambisius, khususnya di sektor ekonomi-bisnis, di Timur Tengah, termasuk Arab Teluk.
Presiden China Xi Jinping beberapa kali melawat ke negara-negara Arab Teluk untuk bertemu dengan para pemimpin politik, petinggi pemerintah, pebisnis, ataupun Sekjen GCC Abdul Latif bin Rasyid al-Zayani. Tujuannya, untuk memantapkan hubungan bisnis dan kemitraan China-Arab Teluk.
Setelah sekian lama mati suri, Arab Teluk dan China menjalin hubungan diplomatik dan bisnis yang sangat dinamis dan intens belakangan ini, didasarkan pada spirit simbiosis mutualisme.
Belum lama ini, pertemuan antara Presiden Xi dan para pemimpin negara-negara Arab Teluk digelar di Riyadh. Meskipun relasi Arab Teluk-China sudah terjadi sejak 1980-an, intensitas hubungan keduanya baru terjadi sejak beberapa tahun silam.
Ketika China jatuh ke tangan rezim komunis Mao Tse Tung tahun 1949, Arab Teluk tidak memiliki hubungan bilateral, baik hubungan diplomatik maupun relasi bisnis, dengan China. Hal itu disebabkan China ikut bergabung ke dalam Blok Komunis, satu gerbong dengan Uni Soviet, sedangkan Arab Teluk ikut Blok Kapitalis yang dipimpin AS.
Namun, kelak, sejak 1978, ketika China melakukan reformasi politik-ekonomi dengan mengubah strategi, arah, haluan, dan kebijakan politik-ekonomi yang tidak lagi bertumpu pada masalah pengembangan ideologi (komunisme), tetapi mengutamakan kemajuan ekonomi dan kemakmuran rakyatnya, relasi antara Arab Teluk dan China pun turut mengalami perubahan signifikan.
Tahun 1984, Uni Emirat Arab membuka hubungan diplomatik dengan China. Kemudian, Qatar tahun 1988, Bahrain tahun 1989, Oman tahun 1990, dan Arab Saudi tahun 1990. Di antara negara-negara Arab Teluk, hanya Kuwait yang membangun hubungan diplomatik dengan China lebih awal, sejak 1971.
Oleh negara-negara Arab Teluk, China kini dianggap sebagai mitra yang sangat strategis atas dua pertimbangan utama, yaitu ekonomi dan politik. Dari aspek ekonomi, China merupakan aktor dan kampiun baru di sektor ekonomi yang turut menentukan arah dan roda ekonomi dunia. China juga importir minyak Arab Teluk terbesar di dunia, mengalahkan AS dan Jepang.
Lebih dari 50 persen kebutuhan minyak China diimpor dari Arab Teluk (selain Iran). China dalam satu dekade terakhir merupakan eksportir terbesar (mengalahkan AS) untuk GCC dengan total ekspor 60 miliar dollar AS per tahun. Karena itu, jangan heran jika produk-produk China di hampir semua sektor membanjiri pasar Arab Teluk dan disambut dengan riang gembira oleh masyarakat setempat yang cenderung konsumtif.
Kerja sama ekonomi-bisnis Arab Teluk-China itu dilakukan di hampir semua sektor, yaitu energi, pertambangan (perminyakan, gas), infrastruktur, konstruksi, telekomunikasi, tekstil, transportasi, aerospace, dan keuangan. Konsekuensi dari relasi ekonomi-bisnis ini, perusahaan-perusahaan besar di kedua kawasan saling berinvestasi dan membuka kantor cabang di Arab Teluk dan China.
Oleh negara-negara Arab Teluk, China kini dianggap sebagai mitra yang sangat strategis atas dua pertimbangan utama, yaitu ekonomi dan politik.
Di Arab Saudi saja, seperti ditulis oleh Naser al-Tamimi, penulis buku China-Saudi Arabia Relations, ada 165 perusahaan raksasa China yang beroperasi di Arab Saudi dengan lebih dari 175 proyek besar di berbagai sektor pembangunan, yaitu dari konstruksi hingga telekomunikasi. Perusahaan-perusahaan raksasa Arab Teluk (misalnya Saudi Aramco, Saudi Basic Industries Corp, Kuwait Petroleum Corporation, dan Qatar Petroleum) juga melakukan hal sama di China.
Sementara itu, dari aspek politik, masuknya China di Arab Teluk diharapkan bisa melemahkan peran dan pengaruh Iran di Timur Tengah, khususnya GCC. Sejak revolusi 1979, China menjadi mitra utama dan sekutu loyal Iran. Bahkan, bisa dikatakan, dalam batas tertentu, roda kehidupan ekonomi-bisnis Iran sangat bergantung pada China, apalagi sejak Iran diembargo AS dan sekutunya.
China menjadi importir minyak dan mitra dagang utama Iran. China pula yang membantu Iran mengembangkan teknologi di bidang energi. Para insinyur China jugalah yang membangun jalan raya, bendungan, rel kereta api, jembatan, terowongan, dan sebagainya, di seluruh Iran.
Antara China dan Barat
Kenapa negara-negara Arab Teluk membangun hubungan intensif, terutama di bidang ekonomi, dengan China?
Selain pertimbangan politik dan ekonomi, seperti dijelaskan sebelumnya, ada satu hal penting yang patut diperhatikan, yakni China dianggap tidak tertarik dengan ”urusan rumah tangga” setiap negara Arab Teluk, terutama masalah- masalah yang menyangkut isu-isu hak-hak asasi manusia, pemberdayaan perempuan, problem pekerja migran, minoritas politik-agama, dan lainnya.
Hal ini sangat kontras dengan negara-negara Barat yang, di mata negara-negara Arab Teluk dianggap ”rese”, terlalu intervensi, dan sering protes urusan internal mereka.
Baca juga: Jejak Yahudi di Arabia
Dengan kata lain, yang membuat negara-negara Arab Teluk suka dan nyaman dengan China karena ”Negeri Panda” dipandang tidak pernah ikut campur tangan ”urusan dalam negeri” mereka. Setali tiga uang, China juga mengharap Arab Teluk tidak ikut mencampuri urusan internal di negaranya.
Itulah sebabnya, negara-negara Arab Teluk tidak memberi komentar tentang isu-isu menyangkut konflik Pemerintah China dengan warga Muslim Uighur dan Hui atau dengan Taiwan dan Hong Kong. Singkatnya, hubungan Arab Teluk dan China fokus di bidang peningkatan dan pemajuan ekonomi, bisnis, teknologi, dan pendidikan.
Meskipun Arab Teluk menjadikan China sebagai ”sekutu baru”, bukan berarti mereka ”cerai” dengan Barat. Arab Teluk tetap membangun relasi positif-konstruktif dengan negara-negara Barat, terlebih AS dan Inggris. Selain tidak strategis, sulit dan terlalu berisiko bagi Arab Teluk untuk melepas Barat karena faktor sosio-historis yang sangat kokoh.
Lagi pula, akan lebih baik, strategis, dan bermanfaat bagi Arab Teluk jika mereka ”merangkul” dan membangun mitra dengan Barat dan China yang tetap akan menjadi pemain global di sektor politik dan ekonomi yang diperhitungkan di masa-masa yang akan datang.
Sumanto Al Qurtuby,Senior Fellow Middle East Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum and Minerals