Pengusaha tahu dan tempe kita resah karena harga kedelai naik 2,94 persen secara bulanan dan 6,84 persen secara tahunan di pasar internasional. Kenaikan harga ini ditransfer ke dalam negeri dengan kenaikan lebih besar.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
AP PHOTO/GUSTAVO GARELLO
Petani Pablo Giailevra memeriksa lahan pertaniannya di Tostado, Santa Fe, Argentina, 18 Januari 2023. Lebih dari 300 hewan ternak mati di lahan pertanian itu akibat kekeringan.
Harga pangan dunia tahun 2023 diperkirakan masih akan tinggi. Negara-negara harus bersiap menjaga ketahanan pangan di dalam negerinya.
Setidaknya ada empat faktor menurut analisis Dana Moneter Internasional (IMF) yang diterbitkan 9 Desember 2022 memengaruhi harga pangan. Penurunan panen dunia, kenaikan 1 persen suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat menurunkan harga pangan hingga 13 persen setelah 3 bulan; kenaikan harga pupuk; dan kenaikan harga minyak bumi.
Faktor penting lain adalah iklim. La Nina yang membawa banyak hujan di kawasan sekitar Pasifik menunjukkan tanda mulai melemah. Bagi Indonesia dan negara-negara yang langsung dipengaruhi sistem pemanasan air laut Samudra Pasifik, masa tiga tahun berkelimpahan air akan berakhir. Dunia harus mengantisipasi beberapa tahun ke depan periode iklim lebih kering dan dampaknya terhadap produksi pangan.
AP PHOTO/ARSHAD BUTT
Orang-orang berusaha mendapatkan karung berisi gandum di Quetta, Pakistan, 12 Januari 2023.
Harga pangan tahun lalu bergerak naik cepat karena beberapa hal. Pandemi Covid-19 memengaruhi produksi dan distribusi pangan. Kemudian invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan kejutan pada produksi dan distribusi gandum yang memengaruhi harga komoditas pangan lain.
Boikot negara Barat pada Rusia menaikkan harga energi, termasuk gas yang memengaruhi harga pupuk. Rusia sendiri adalah produsen pupuk kalium terbesar dunia. Konsekuensi berikut, tindakan beberapa negara mengonversi pangan menjadi bahan bakar nabati untuk mengurangi tekanan kenaikan harga energi.
Kerentanan akibat peristiwa tak terduga yang terjadi berturutan, yatu pandemi Covid-19 dan invasi Rusia, memengaruhi perdagangan bebas antarnegara. Sejumlah negara menahan ekspor pangannya. Kecenderungan seperti ini harus diantisipasi dan badan dunia perlu merespons dengan menghilangkan hambatan perdagangan pangan.
Dunia harus mengantisipasi beberapa tahun ke depan periode iklim lebih kering dan dampaknya terhadap produksi pangan.
Bagi sejumlah negara, inflasi global dan reaksi Bank Sentral AS menaikkan suku bunga menyebabkan pelaku pasar berjangka komoditas menahan pembelian dan mendorong harga ke bawah. Pada sisi lain, menyebabkan keluarnya dana asing dari negara yang pasar uangnya belum dalam. Akibatnya, nilai tukar melemah dan menambah beban pembiayaan impor pangan.
Saat ini pengusaha tahu dan tempe kita resah karena harga kedelai naik 2,94 persen secara bulanan dan 6,84 persen secara tahunan di pasar internasional. Kenaikan harga ini ditransfer ke dalam negeri dengan kenaikan lebih besar. Kita juga perlu mewaspadai kenaikan harga internasional yang dapat memakan waktu satu tahun untuk dirasakan di pasar konsumen akhir.
Untuk menjaga ketahanan pangan, pilihannya adalah memproduksi sendiri atau mengimpor atau gabungan keduanya. Untuk memproduksi sendiri, yang diperlukan ialah kemauan politik karena faktor lain tersedia. Kita memiliki benih yang baik, teknologi dan lahan tersedia, serta yang terpenting adalah pasar. Pasar kita besar sebagai penghela produksi pangan. Apalagi kebutuhan kedelai kita sebagian besar dipenuhi melalui impor.