Solusi untuk mengatasi beban fiskal BPJS Kesehatan harus tetap memenuhi prinsip keadilan. Dan, solusinya bukan melalui kolaborasi dengan asuransi swasta atau sekadar menyisir tagihan listrik 1.000 ”orang kaya”.
Oleh
MUHAMMAD HATTA
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menuai kontroversi pada Rapat bersama DPR RI beberapa waktu lalu (Detik.com, 22/11/22). Berencana menyisir 1.000 klien BPJS Kesehatan yang memiliki daya listrik di atas 6.600 watt, Menkes berasumsi orang-orang yang punya daya listrik sebesar itu adalah kalangan kaya yang tak perlu dijamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dua premis patut diulas tentang opini Menkes tersebut. Pertama, konsep JKN bersifat universal health coverage (UHC) yang bermakna semua warga negara harus tercakup tanpa terkecuali. Ia hadir melindungi risiko pembiayaan kesehatan tanpa melihat status serta latar belakang sosial ekonomi pesertanya, selama mereka membayar iuran sesuai nominal kelas yang diinginkan. Meminjam teori filsuf John Rawls, JKN merupakan ”kontrak bersama” yang mesti dipatuhi segenap penduduk Indonesia dan diejawantah dengan Undang-Undang Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (UU SJKN).
Kedua, JKN mempergunakan metode pooling of risks, yaitu upaya bersama antar-individu berkontribusi ke dalam suatu wadah yang nanti akan dipakai untuk membiayai individu-individu yang membutuhkannya (World Bank, 2006). Jika JKN diibaratkan sebuah kolam besar, semua klien BPJS Kesehatan ”mengiur” sejumlah air ke dalam kolam agar dapat didistribusi kepada kolega klien lainnya yang tengah butuh air (baca: jatuh sakit).
Sejumlah penduduk yang tak mampu menyetor air ke dalam kolam lalu dibantu oleh pemerintah dan disebut sebagai kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI). Individu yang bekerja, baik pada pemerintahan (ASN) maupun pada sektor swasta (karyawan swasta), ”iuran air”-nya ditanggung renteng via pemotongan gaji dan pemerintah atau perusahaan.
Model ”kolam besar” JKN tersebut jelas berbeda dengan asuransi nonpooling of risks yang mendiskriminasi berdasar jumlah ”iuran air” yang dibayarkan masing-masing individu. Ia pun tak mengenal ”iuran air” tambahan (copays) atau beralih ke ”kolam” milik swasta untuk penyakit-penyakit nondasar dan membutuhkan layanan spesialistik seperti yang ingin diterapkan oleh Menkes (Kompas, 30/11/22).
Singkatnya, JKN tak memberi celah bagi back door, seperti jaminan sosial model Bismarck yang diterapkan oleh Jerman ataupun sistem copays yang diterapkan Carte Vitale Perancis.
Di Jerman, setiap warganya wajib membayar premi bulanan yang ditanggung renteng bersama pihak pemberi kerja (perusahaan). Premi tersebut bersifat wajib (statutory health insurance-SHI) serta proporsional terhadap gaji/pendapatan individual. Sickness Fund Jerman berbeda dengan JKN kita karena ia mempergunakan ratusan perusahaan asuransi guna menampung dana iuran tersebut. Perbedaan lain adalah mayoritas perusahaan asuransi tersebut merupakan entitas swasta, tetapi harus bersifat nonprofit (Reid,2009).
Di Jerman, setiap warganya wajib membayar premi bulanan yang ditanggung renteng bersama pihak pemberi kerja (perusahaan).
Warga berpendapatan 68.000 dollar AS per tahun atau memiliki perusahaan sendiri diberi opsi boleh tidak ikut asuransi wajib SHI dan memilih asuransi swasta yang menerapkan premi berdasar risiko (risk-related premium). Back door seperti inilah yang tak diakomodasi oleh UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kita.
Di Perancis, Caisses d’assurance maladie menetapkan warga harus membayar selisih biaya medis (copays) bagi semua jenis layanan yang diperoleh. Pihak asuransi swasta yang tercakup dalam sistem Carte Vitale kemudian akan membayar kembali (reimburst) atau tidak sama sekali, tergantung dari seberapa banyak biaya pengobatan yang timbul (Capel, 2007).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga mengurus kelengkapan administrasi untuk mendapatkan tanggungan biaya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di RS Siloam Semanggi, Jakarta, Senin (13/8/2018). Pemerintah akan menyuntikkan dana ke BPJS Kesehatan untuk menutupi defisit yang terjadi. Besarnya defisit akan ditentukan berdasarkan audit dan kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Menerapkan ”adverse selection”
Idealnya, Menkes Budi menelisik terlebih dahulu akar permasalahan sebelum menuding orang kaya yang membebani JKN, sebab kondisi sakit tak mengenal status sosial ekonomi individu. Telah lama kita ketahui ada delapan penyakit yang menguras kantong BPJS Kesehatan, di antaranya penyakit jantung, kanker, dan stroke.
Pada 2019-2021 saja, BPJS Kesehatan mengeluarkan Rp 61,42 triliun untuk membiayai klaim penyakit-penyakit tersebut (CNN Indonesia, 24/11/22). Mayoritas penyakit ditimbulkan perilaku yang sebetulnya dapat dimodifikasi sebelum berkembang menjadi kronis. Contohnya perilaku merokok yang merupakan ”ibu” dari sebagian besar penyakit degeneratif di atas.
Metode adverse selection mengenakan premi yang jauh lebih mahal kepada perokok ketimbang yang tidak merokok. Proses ini amat bermanfaat karena ”mengingatkan” tiap pengiur agar aktif bertanggung jawab atas kesehatan masing-masing. Ia pun berguna ”menekan” pengiur untuk menghentikan perilaku berisiko yang tengah dilakukan (konsekuensi membayar premi lebih mahal).
Untuk mengontrol pembiayaan penggunaan obat-obatan, teknologi kesehatan modern, serta metode medis yang dipergunakan, sebaiknya Menkes Budi memperkuat Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK). Di Inggris, lembaga serupa Komite PTK berjuluk National Institute for Health and Care Excellence (NICE) amat berperan menentukan obat, teknologi, ataupun metode yang akan dibiayai atau tidak oleh NHS Inggris. Fungsi tersebut bisa dilakukan NICE oleh karena ia merupakan lembaga publik independen, tak seperti PTK kita yang berbentuk komite dan hanya disahkan via Permenkes 51/2017.
Semua alternatif solusi di atas memang tak menjamin beban fiskal BPJS Kesehatan akan berkurang. Namun, ia lebih memenuhi prinsip keadilan (fairness) ketimbang kolaborasi dengan asuransi swasta yang mementingkan profit atau sekadar menyisir tagihan listrik 1.000 ”orang kaya”.
Muhammad Hatta, Dokter di Balai Rehabilitasi BNN Baddoka Makassar; Alumnus School of Public Health University of Illinois at Chicago AS