Jangan sampai MBKM membuat sekat pemisah kelas sosial makin jelas. Karena itu, perlu diberikan fondasi yang kokoh dalam diri anak-anak bangsa dengan menerapkan sistem pendidikan yang lebih humanis alih-alih ekonomis.
Oleh
NOVIA UTAMI
·4 menit baca
Tujuan pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 adalah agar peserta didik dapat menggali dan mengembangkan potensinya serta menjadi manusia yang berdaya guna dan humanis. Alhasil, negara, lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi selalu berusaha mengupayakan agar sistem pendidikan dapat sungguh berbuah baik, menghasilkan anak anak bangsa yang harapannya dapat mampu bersaing di kancah global.
Hal tersebut disiasati dengan meluncurkan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Masih hangat di ingatan kita ketika Mendikbudristek Nadiem Anwar Makariem meluncurkan program tersebut pada Januari 2020. Berbagai komentar berlalu lalang di media kita. Misalnya, artikel ”Mahasiswa dan Dosen Keluhkan Program Merdeka Belajar ke Menteri Nadiem” yang ditulis oleh Nikson Sinaga di Kompas.idedisi 26 Oktober 2021. Dalam artikel tersebut, digambarkan secara gamblang mengenai belum siapnya berbagai pihak untuk menjalankan program MBKM.
Namun, semakin hari program MBKM terasa semakin bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat. Sebab, diyakini bahwa inovasi, kolaborasi, dan teknologi adalah instrumen utama guna meningkatkan kualitas hidup.
Salah satu pilar utama kehidupan manusia adalah kerja. Sebab, dengan bekerja, kita tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga dapat mengaktualisasikan diri.
Di dunia kerja, saat ini telah terjadi sebuah simbiosis yang saling menguntungkan cum saling menuntut antara perusahaan dan pekerjanya. Di satu sisi, banyak perusahaan yang terus berinovasi agar mampu bersaing di kancah global dan sejalan dengan itu mereka menarik pekerja yang profesional. Di sisi lain, banyak calon pekerja yang terus meningkatkan kualitas diri, skill, dan pengetahuannya agar dilirik oleh perusahaan-perusahaan bonafide.
Ada sebuah disposisi batiniah dari kedua sisi. Dari perusahaan, mereka menuntut para pekerjanya agar semakin kreatif, inovatif, dan mampu bekerja dengan cepat. Sementara dari sisi para pekerjanya menuntut kesejahteraan yang layak dan jaminan di masa depan. Inilah simbiosis kesalingan tunggang langgang. Perusahaan dan pekerjanya akan selalu berlari, menuntut, dan akan selalu melihat peluang untuk maju.
Sebagai calon pekerja, mahasiswa dikondisikan untuk terus mengasah bakat, meningkatkan kemampuan, dan berjejaring. Maka, tak heran, dalam program MBKM, pemerintah terus-menerus menyuarakan agar perguruan tinggi terus berkolaborasi dengan mitranya, terlebih di level internasional.
Meminjam istilah Manuel Castell, saat ini kita masuk ke dalam masyarakat jaringan (network society). Castells mendefinisikan masyarakat jaringan sebagai masyarakat dalam abad informasi di mana fungsi-fungsi dan proses-proses yang dominan semakin banyak ditata di sekitar jaringan. Setidaknya ada tiga ciri masyarakat jaringan.
Pertama, jaringan perusahaan (network enterprise). Ini berarti jaringan yang terbentuk dari beberapa perusahaan, dapat pula diartikan jaringan yang terbentuk dari beberapa instansi yang mengupayakan sesuatu dengan tujuan tertentu.
Dalam program MBKM, pemerintah terus-menerus menyuarakan agar perguruan tinggi terus berkolaborasi dengan mitranya, terlebih di level internasional.
Kedua, konsekuensi budaya (cultural consequences). Perlu disadari bahwa mempersiapkan mahasiswa di kancah global juga harus memperhatikan kemungkinan benturan budaya yang akan terjadi.
Ketiga, ruang arus (the space of flows). Saat ini telah terjadi diskontinuitas geografis di mana relasi menjadi sangat terserak dan chaos. Keterbaruan inovasi akan semakin kokoh menentukan mana tempat yang makmur dan yang bangkrut. Semua menjadi mudah diprediksi dan diukur sebab kini semua terkoneksi tanpa terkecuali.
Atas dasar itulah dan dengan tujuan agar generasi penerus bangsa tidak kehilangan fondasi eksistensialnya, maka semua pihak perlu menggalakkan program yang humanis di semua jenjang, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Secara khusus pada mata kuliah pembentukan karakter seperti: logika, Pancasila, etika, bahasa, critical thinking, bahkan filsafat.
Tanggapan kritis
Jaringan global itu sendiri pada dasarnya merupakan sebuah kondisi yang terbentuk dari globalisasi. Setidaknya ciri yang paling kental dalam globalisasi saat ini adalah menjadikan manusia ekonomi (homo economicus) sebagai kiblat seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Tujuan dari pendidikan saat ini cenderung untuk menciptakan manusia yang siap kerja dan dapat berpartisipasi aktif dalam kolaborasi antarelite perusahaan berskala global.
Proyek utama dari semua ini adalah kapitalisasi semua relasi. Maka, meminjam istilah Herry Priyono, pada fase ini, tidak ada lagi yang namanya warga negara, yang ada hanyalah konsumen. Tidak ada lagi yang namanya pendidikan, yang ada hanyalah bisnis sekolah, dan tidak ada lagi peserta didik, yang ada hanyalah konsumen pendidikan (Herry Priyono, 2006).
Inilah saat yang tepat untuk memeriksa program MBKM yang telah mantap berjalan. Kita semua dapat memegang peranan ini. Sebab, ini adalah tugas kita bersama, bukan hanya pemerintah, melainkan seluruh masyarakat Indonesia. Memeriksa di sini, bukanlah sebuah kritik dan perlawanan. Memeriksa di sini adalah sebuah upaya untuk menyelaraskan hati agar di ujung jalan nanti, program MBKM sungguh menghasilkan buah yang baik.
Pendidikan haruslah mampu menjadi solusi bagi persoalan yang mengemuka di tataran sosial masyarakat. Jangan sampai, MBKM malah membuat sekat pemisah kelas sosial semakin terang benderang. Oleh karena itu, perlu diberikan fondasi yang kokoh di dalam diri anak-anak bangsa dengan menerapkan sistem pendidikan yang lebih humanis alih-alih ekonomis.
Novia Utami, Dosen dan Koordinator MBKM Prodi Manajemen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya