Bau sampah tidak terlalu menyengat. Sri dan Erning menunjukkan kepada saya gaun dari bahan sampah daur ulang. Tentu tidak untuk pemakaian sehari-hari. Mungkin di dunia ”fashion” disebut ”haute couture”, adibusana.
Oleh
Linda Christanty
·5 menit baca
SALOMO TOBING
Linda Christanty
Sampah lebih sering dikaitkan dengan masalah perkotaan sebagaimana banjir dan kemacetan. Anggapan itu akan mempersempit wilayah penanganan sampah di negara ini. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri pada 2022, jumlah kota di negara Indonesia hanya 98, sedangkan desa berjumlah 74.961, lebih 700 kali lipat dibandingkan kota. Menangani sampah desa jelas krusial. Kota besar, seperti Jakarta, pun dikelilingi, bahkan terdiri atas sekumpulan desa atau kampung.
Pada akhir 2022 lalu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi di masa Menteri Abdul Halim Iskandar ini melibatkan saya menulis tentang sampah desa, yang dihubungkan dengan penggunaan dana desa. Saya berangkat ke Desa Jatipuro di Jawa Tengah untuk melihat langsung penanganan sampah di sana.
Jatipuro terdiri atas sembilan dukuh dan merupakan satu dari 18 desa di Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Keberhasilan Jatipuro mengolah sampah organik dan anorganik penting didokumentasikan meski beberapa masalah di sana membutuhkan solusi.
Tempat penampungan sampah (TPS) Jatipuro berada di Dukuh Gesing, tidak jauh dari kantor desa. TPS 3R Maju Jaya namanya. 3R adalah singkatan dari reuse, reduce, dan recycle (menggunakan ulang-mengurangi-mendaur ulang).
Bangunan berwarna hijau itu berdiri di lahan milik desa, dekat areal persawahan. Tiga perempuan memilah sampah di situ dari Senin sampai Sabtu. Lima laki-laki bertugas mengangkat sampah dari rumah ke rumah untuk diangkut dengan mobil ke bangunan tersebut. Delapan pekerja ini digaji dengan iuran sampah warga. Sampah yang masuk tidak hanya berasal dari rumah-rumah di sembilan dukuh Jatipuro, tetapi juga dari 60 rumah di Sabranglor, desa lain. Semua itu sampah rumah tangga dari sekitar 1.400 KK (kepala keluarga). Lebih dari satu ton sampah dipilah dan diolah setiap hari di tempat ini. Tiga hari sekali sampah residu dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA) di Desa Troketon, sekitar 30 menit dari Jatipuro.
Erning, salah seorang pekerja, mengibaratkan TPS toko serba ada. Dia menemukan baju atau sepatu yang masih bisa dipakai, bandeng yang masih segar, biskuit yang masih garing, dan uang. Namun, Yuliana mengatakan ada dukanya kerja di situ. Ia terkejut melihat tikus mati penuh belatung. Erning jengkel menatap popok bayi berlumur tinja. Yuliana mengatakan, upahnya tidak banyak, tetapi ia senang melakukan hal berguna bagi masyarakat. Sudah setahun ia menerima bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 300.000 per bulan. ”Saya bisa membayar iuran BPJS empat anggota keluarga saya dan biaya listrik tiap bulan,” ujarnya.
Sampah anorganik, seperti botol plastik dan beling, juga dibersihkan di TPS ini untuk dijual. Sampah organik, seperti daun atau bahan yang bisa membusuk, dicacah dengan mesin pencacah, lalu difermentasi selama 21 hari. Setelah diayak hingga halus, pupuk organik itu siap dijual. Kendalanya, TPS ini belum dapat memasarkan pupuk organik secara teratur.
Tulus Nugroho, Lurah Jatipuro, menyatakan sudah menyurati bupati untuk membantu TPS. Dia membayangkan, ”Jika tiap desa di Klaten menganggarkan Rp 500.000 untuk membeli pupuk organik dari dana desa yang kisarannya antara Rp 800 juta sampai Rp 1 miliar itu, TPS bisa hidup dan tidak berhenti di tengah jalan.” Banyak desa memiliki taman sehingga bisa menggunakan pupuk organik. Menurut Tulus, kebanyakan petani memilih pupuk anorganik karena dalam setahun bisa panen empat kali dibandingkan menggunakan pupuk organik yang membuat panen hanya dua kali setahun. Pupuk organik aman bagi tanah, alam, dan manusia, tetapi masih dianggap kurang menguntungkan.
Dulu TPS 3R Maju Jaya sempat beternak maggot, belatung dari larva lalat, pemakan sampah organik. Peternakan itu berhenti setelah para pekerja tidak sanggup menangani dua pekerjaan sekaligus, menggiling sampah dan beternak maggot.
Eka Yulianti adalah penggagas TPS. Ia Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan istri Lurah Jatipuro. ”Sebelum ada TPS, ibu-ibu PKK aktif di bank sampah. Mereka mengumpulkan sampah anorganik untuk dijual,” kata Eka dalam perbincangan kami. Dua dukuh masih menjalankan bank sampah sampai sekarang, sedangkan sampah organiknya dikirim ke TPS.
Suatu hari Eka menulis surat kepada lurah, mengusulkan pembuatan TPS agar sampah organik bisa diolah. Lurah meminta bantuan Dinas Lingkungan Hidup Klaten (DLHK). Pembangunan TPS berlangsung pada 2018. Setahun kemudian TPS itu beroperasi.
Tantangan selalu ada. Mesin pencacah di TPS 3R Maju Jaya berkapasitas kecil, cepat panas, dan berhenti tiap satu jam. Akibatnya, sampahnya menumpuk, tidak bisa selesai digiling dalam sehari. Eka berharap ada bantuan mesin berkapasitas lebih besar.
Di ruang kerjanya di Desa Gergunung, Himawan Pamungkas, Kepala Bidang Pengolahan Sampah dan Limbah Dinas Lingkungan Hidup Klaten, menjelaskan bahwa lembaganya mendanai pembangunan 14 TPS percontohan pada 2018, juga membiayai sumber daya manusianya selama waktu tertentu dan pembelian alat-alat. Pemilahan sampah di TPS akan membuat residu (sampah tidak terurai) di TPA tinggal sedikit. Tetapi residu tetap bertambah. Lahan TPA akan menyusut. Bagaimana mengatasinya?
”Residu sebenarnya bisa diurai dengan teknologi,” kata Himawan. Ada residu yang bisa dimasukkan ke generator untuk pembangkit listrik. Ada kapsul untuk melelehkan beton. Ada alat pengolahan limbah cair hingga menjadi air minum atau aman dibuang ke sungai. Anggota staf DLHK, Wisnumurti, teringat ia pernah melihat popok bayi sekali pakai terurai jadi butiran pasir. Biaya pembuatan alat pengurai residu seharusnya dapat didukung pemerintah.
Langit biru bersih terlihat dari halaman TPS 3R Maju Jaya. Bau sampah tidak terlalu menyengat. Sri dan Erning menunjukkan kepada saya gaun dari bahan sampah daur ulang. Tentu tidak untuk pemakaian sehari-hari. Mungkin di dunia fashion disebut haute couture, adibusana.