”Pelacuran ilmiah” dan ”pelacuran keagamaan” adalah contoh frasa yang menyuguhkan suatu pemaknaan yang berlawanan. Jika yang pertama membuka kesempatan terhadap interpretasi yang mungkin muncul, yang kedua sebaliknya.
Oleh
Teguh Candra
·4 menit baca
Bicara soal kata pelacuran, tidak bisa lepas dari kata pembentuknya, yaitu lacur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, kata lacur memiliki dua makna. Yang pertama adalah ’malang, celaka, atau sial’, sedangkan arti kedua adalah ’buruk laku’.
Kedua arti tersebut merupakan kata sifat. Setelah melalui proses afiksasi, muncullah, salah satunya, kata pelacuran. Nah, di sini mulai greng sebab kata pelacuran memunculkan banyak makna dan tampilan visual yang sering kali liar sifatnya. Beranjak dari kata ini pula, pembahasan yang asyik ini dimulai.
Apabila kembali merujuk KBBI daring, kita akan menjumpai arti kata pelacuran ini sebagai, pertama, ’perihal menjual diri sebagai pelacur; persundalan’, dan kedua, ’tempat melacurkan diri’.
Setelah melewati proses afiksasi, terlihat ada perubahan kelas kata dari kata sifat menjadi kata benda. Arti kata pun menjadi bertambah luas, tidak hanya berhenti pada tataran leksikal.
Kata pelacuran ini kemudian menjadi lebih menarik apabila tersua dalam bentuk gabungan kata. Banyak contoh gabungan kata yang dapat dibentuk berpasangan dengan kata pelacuran. Dalam tulisan kali ini, penulis hanya akan menggunakan dua gabungan kata yang tertulis sebagai contoh dalam KBBI daring.
Kedua contoh gabungan kata ini menjadi menarik untuk dilihat kembali karena menyuguhkan sesuatu yang sangat berlawanan.
Gabungan kata yang pertama menyodorkan kesempatan untuk dapat melahirkan contoh pelacuran ilmiah secara lebih bervariasi, sedangkan gabungan kata yang kedua malah menutup kemungkinan untuk memperluas ruang cakupan makna. Kedua gabungan kata itu adalah pelacuran ilmiah dan pelacuran keagamaan.
Gabungan kata pelacuran ilmiah terbangun dari kata dasar lacur yang mendapat afiksasi menjadi kata pelacuran dan kemudian dibentuk melalui proses konstruksi sosial sehingga terciptalah gabungan kata tersebut.
Dalam KBBI daring, gabungan kata pelacuran ilmiah dimaknai secara gramatikal sebagai ’penyelewengan yang terdapat pada dunia ilmu pengetahuan’.
Dalam KBBI daring, gabungan kata pelacuran ilmiah dimaknai secara gramatikal sebagai ’penyelewengan yang terdapat pada dunia ilmu pengetahuan’.
Pemaknaan tersebut memunculkan berbagai kemungkinan contoh pembahasan karena keluasan wilayah yang dirambahnya melalui kata dan gabungan kata, yaitu penyelewengan dan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, individu yang melacurkan diri dengan memanfaatkan pengetahuan bidang khusus yang ia kuasai, untuk mengeruk kekayaan secara rakus dengan menihilkan kemanusiaan, bisa disebut sebagai orang yang melakukan pelacuran ilmiah.
Menyalahgunakan ilmunya untuk kepentingan yang sempit dengan mengorbankan banyak hal lainnya yang lebih besar.
Secara sah, individu seperti itu bisa juga disebut sebagai pelacur karena, berdasarkan KBBI daring, pelacur adalah orang yang melacur, alias melakukan buruk laku, yang merupakan arti kedua dari kata lacur.
Kembali ke pembahasan, meski bisa dianggap sebagai perluasan makna, kata pelacuran dalam gabungan kata pelacuran ilmiah memiliki arti yang sama sekali berbeda dengan arti asalnya saat berdiri sebagai kata tunggal.
Ketika berdiri sendiri memiliki makna, pertama, ’perihal menjual diri sebagai pelacur; persundalan’ dan, kedua, ’tempat melacurkan diri’; saat membentuk gabungan kata, arti pelacuran dalam pelacuran ilmiah berubah menjadi proses atau kegiatan melacurkan.
Nah, bagaimana dengan pelacuran keagamaan? Gabungan kata ini, dalam KBBI daring, mendapatkan pemaknaan sebagai ’persetubuhan yang dilakukan dalam rangka upacara ritual yang keramat’. Kalimat tersebut bukanlah contoh, melainkan pemaknaan.
Dengan demikian, referensi visual yang langsung muncul menjadi contoh pun tak jauh dari peristiwa ”kolor ijo”, cerita-cerita soal pesugihan, film-film pendekar lokal era lawas, dan film-film asing bergenre petualangan yang kerap menyajikan adegan persetubuhan sebagai syarat untuk mencapai sesuatu.
Pemberian contoh pun menjadi terbatas pada lingkup ”itu-itu saja”. Kata persetubuhan dan gabungan kata upacara ritual yang keramat, yang terdapat dalam pemaknaan pelacuran keagamaan, langsung menghentikan gerak pikir, membatasi; jika tidak ingin menyebutnya sebagai mengerdilkan cakupan pembahasan. Seolah pelacuran keagamaan hanya terdapat di dunia yang dekat atau bahkan identik dengan persetubuhan dan ritual keramat.
Arti kedua gabungan kata ini menjadi menarik untuk dibahas karena yang pertama, pelacuran ilmiah, menyuguhkan pengertian tanpa menutup batasan terhadap interpretasi yang mungkin muncul, sedangkan pengertian gabungan kata kedua, pelacuran keagamaan, sangat membatasi arti, bahkan bisa dibilang memenjara interpretasi.
Ada apa? Apakah makna pelacuran keagamaan yang dimaksud dalam contoh hanya dibatasi seputar persetubuhan dan upacara ritual yang keramat? Kesan dari pemaknaan ini adalah gabungan kata itu hanya dapat digunakan untuk ritual yang secara khusus telah disebutkan.
Mengapa tidak memberikan pemaknaan yang membuka cakrawala pengertian lebih luas. Sebab, bisa saja pemaknaan dari pelacuran keagamaan adalah penyelewengan yang terjadi dalam dunia keagamaan.
Mengapa tidak memberikan pemaknaan yang membuka cakrawala pengertian lebih luas. Sebab, bisa saja pemaknaan dari pelacuran keagamaan adalah penyelewengan yang terjadi dalam dunia keagamaan.
Dengan demikian, dapat dielaborasi lebih luas contoh-contoh perilaku yang dapat masuk dalam kategori pelacuran keagamaan. Misalnya, seseorang yang memanfaatkan posisinya sebagai ahli agama untuk melakukan perbuatan memperkaya diri dengan memutarbalikkan dalil-dalil sehingga merugikan orang lain.
Pada zaman sekarang, ketika pola pikir telah berkembang secara lebih terbuka, selayaknya pula semua dapat disampaikan secara lebih luas, membuka kemungkinan-kemungkinan baru, termasuk dalam hal pemaknaan tentang sesuatu, apa pun itu.
Ingat, arti kata keagamaan dalam KBBI adalah yang berhubungan dengan agama (n). Jadi, apakah pelacuran keagamaan hanya berhenti pada persetubuhan dalam sebuah ritual?