Perguruan tinggi perlu bebenah menjadi lebih humanis dalam menyikapi keluhan mahasiswa terkait biaya pendidikan, karena jika semua dilaksanakan secara digital, maka tidak jarang ada sisi kemanusiaan yang terabaikan.
Oleh
MUHAMMAD SYAMSURI
·4 menit baca
Viralnya utas Twitter tentang perjuangan Nur Riska Fitria Aningsih, mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta, yang meninggal saat memperjuangkan keringanan uang kuliah tunggal menjadi keprihatinan tersendiri sekaligus perlu disikapi dengan bijak dan tidak provokatif.
Hal ini karena bukan tidak mungkin viralnya cerita tersebut ditunggangi oleh kepentingan pihak-pihak yang tidak suka dengan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan merasa memiliki momentum untuk menjatuhkan ”nama besar” UNY sebagai salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Meski begitu, kejadian tersebut juga perlu mendapat respons serius dari UNY sebagai bahan instropeksi diri jika memang terdapat kekurangtepatan dalam birokrasi di perguruan tinggi pencetak guru-guru hebat yang tersebar di seluruh wilayah negara Republik Indonesia ini.
Menurut saya, sebenarnya dalam utas Twitter yang viral itu pun sudah dapat diketahui bahwa penyebab meninggalnya mahasiswi tersebut bukan hanya karena sedang memperjuangkan keringanan uang kuliah tunggal (UKT). Almarhumah memang memiliki penyakit hipertensi yang parah dan ditambah lagi sebagai pesilat yang dalam utas disebutkan sering melakukan tarung bebas sehingga pasti juga rentan terhadap cedera.
Mungkin UKT memang menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi almarhumah, tetapi jika hal tersebut sampai disebut menjadi penyebab meninggalnya almarhumah jelas itu sebuah ”penghinaan” kepada almarhumah. Kecil kemungkinan seorang mahasiswi ulet dan pekerja keras apalagi juga seorang pesilat meninggal ”hanya” disebabkan tidak mendapatkan keringanan UKT yang maksimal.
Menjadi pertanyaan besar pula bagi saya, ketika seorang mahasiswi yang berasal dari keluarga kurang mampu tetapi tidak mendapat beasiswa. Bukankah jika memang berasal dari keluarga kurang mampu, sejak sekolah menengah atas atau kejuruan seharusnya mendapat beasiswa, entah itu Program Indonesia Pintar (PIP) ataupun Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah sehingga ketika melanjutkan studi di perguruan tinggi tidak terlalu mengalami kesulitan pembiayaan.
Hal tersebut penting disinggung mengingat pemberitaan seolah menjadikan UNY sebagai sasaran tembak atas peristiwa tersebut. Padahal, keringanan UKT sifatnya adalah kebijakan perguruan tinggi dengan berbagai pertimbangan logis berdasar data pendukung untuk membantu mahasiswa yang dinilai kurang mampu.
Menjadi pertanyaan besar pula bagi saya, ketika seorang mahasiswi yang berasal dari keluarga kurang mampu, tetapi tidak mendapat beasiswa.
Jika di awal pendaftaran masuk perguruan tinggi ternyata data yang diserahkan mahasiswa tidak menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut berasal dari keluarga kurang mampu (di utas Twitter dijelaskan saat meng-upload data terkendala laptop/handphone), jelas hal tersebut akan membingungkan bagi perguruan tinggi. Meski begitu, ternyata UNY juga telah mengeluarkan kebijakan keringanan UKT meski tidak terlalu besar, tetapi jelas telah diberikan keringanan UKT.
Pemberlakuan UKT merupakan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang berlaku sejak 2013. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Berdasarkan kemampuan ekonomi
Secara umum tujuan kebijakan UKT adalah menghapus uang pangkal sehingga biaya kuliah yang harus dibayarkan oleh mahasiswa hanya dilakukan satu kali di setiap semester, dan tidak ada lagi biaya tambahan di luar itu. UKT tersebut telah menanggung semua kebutuhan mahasiswa setiap semester, mulai dari biaya yang berkaitan langsung dengan proses akademik hingga biaya yang sifatnya tidak langsung, seperti biaya perawatan sarana dan prasarana dan biaya kemahasiswaan. Adapun penentuan besaran UKT mahasiswa didasarkan pada kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua, atau pihak yang membiayai.
Kenyataannya, memang terdapat beberapa permasalahan terkait UKT, seperti penelitian yang dilakukan oleh Hasanudin (2019) dengan judul ”Persepsi Mahasiswa terhadap Implementasi Uang Kuliah Tunggal di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar” yang menyatakan penerapan UKT dianggap tidak sesuai dengan aturan dan tujuan diberlakukannya kebijakan UKT. Adapun beberapa indikasi permasalahan dari penerapan kebijakan UKT yang sering dikritik oleh mahasiswa adalah pertama, mengenai ketidaksesuaian kemampuan ekonomi mahasiswa dengan besaran golongan UKT yang didapatkan. Seperti mahasiswa yang kondisi ekonominya di atas hanya mendapatkan golongan UKT rendah. Sebaliknya, mahasiswa yang kondisi ekonominya di bawah justru mendapat golongan yang tinggi.
Kedua, penerapan UKT bagi mahasiswa jalur mandiri yang dianggap tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya. Golongan UKT-nya langsung ditetapkan oleh pihak kampus sebelum mahasiswa dinyatakan lulus. Sementara kalau mau dilihat dari beberapa aturan yang mengatur mengenai UKT, bahwa penetapan golongan UKT harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua, atau pihak yang membiayai mahasiswa tersebut.
Ketiga, dalam proses perkuliahan masih sering ditemukan pungutan di luar UKT seperti uang penelitian, uang buku, uang ramah tamah, dan akhir-akhir ini diterapkan pungutan bagi mahasiswa yang akan melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN). Keempat, mengenai kurangnya transparansi keuangan yang bersumber dari UKT.
Permasalahan di dunia perkuliahan memang tidak sedikit, apalagi jika terkait dengan pembiayaan. Meski begitu, jangan sampai pemberitaan yang tidak didukung data lengkap menyebabkan fitnah dan pencemaran nama baik perguruan tinggi yang pada kenyataannya sudah memberikan layanan maksimal kepada mahasiswanya. Perguruan tinggi juga perlu bebenah untuk ke depan lebih humanis dalam menyikapi keluhan mahasiswa, karena jika semua dilaksanakan secara digital, tidak jarang ada sisi kemanusiaan yang terabaikan. Semoga!
Muhammad Syamsuri, Mahasiswa Program Studi S-3 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta; Guru SMAN 2 Kintap, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan