Tiko-Eny, Merindu Layanan Kesehatan Jiwa Komunitas
Terlihat jelas dalam kasus Tiko-Eny, kondisi kesehatan jiwa memberi dampak luar biasa terhadap situasi sosial mereka. Sayangnya, kasus seperti ini lebih sering disorot dalam kacamata sosial ketimbang kesehatan.
Sebelas tahun Tiko menghadapi masalah Kesehatan jiwa ibunya, Ibu Eny, sendirian. Sebagai caregiver (pengasuh) orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang masih belia, Tiko melakukan hal yang luar biasa, jauh melebihi hal yang bisa dilakukan oleh orang seusianya.
Terbayang dalam usia 11 tahun mulai mengunjungi tetangga, menawarkan barang-barang rumah tangga untuk dibeli sebagai upaya bertahan hidup. Tiko tidak peduli, ketulusan luar biasa dalam merawat Ibu Eny telah merampas masa remaja, pendidikan, dan masa depannya.
Masyarakat menganggap kondisi Ibu Eny terjadi akibat ditinggal suami. Padahal, seperti pada banyak kasus ODGJ, sangat mungkin kesehatan jiwa Ibu Eny sudah ada sebelumnya. Ia yang semula berperilaku sopan dan dapat bekerja dengan baik mulai berubah secara perlahan menjadi pemarah, selalu merasa terancam, curiga dengan semua orang, termasuk dengan suami dan keluarga yang lain. Agar merasa aman ia mulai mengisolasi diri, membangun kastil pribadi. Akhirnya, demi ketenangan Ibu Eny, suami dan keluarga lainnya pergi menghindar dan menjaga jarak.
Baca juga: Setelah Tiko dan Eny Disorot Publik...
Sejak lebih dari 11 tahun yang lalu, Ibu Eny dan keluarga tidak tersentuh layanan kesehatan jiwa. Akibatnya, kondisi Ibu Eny terus menurun, berdampak serius kepada kondisi sosial. Kemampuan kerja menurun, hubungan sosial memburuk, keluarga berantakan, masa depan anak menjadi suram. Rumah mewah yang dihuni menjadi terbengkalai.
Masalah sosial versus masalah kesehatan
Brew, youtuber dengan konten rumah seram, ”menemukan” Tiko-Eny. Ia kemudian mengundang Teh Novi, youtuber yang khusus dengan konten evakuasi ODGJ. Teh Novi kemudian menghubungi dinas sosial untuk mengevakuasi Ibu Eny, bukan dinas kesehatan atau puskesmas setempat. Kerja sama Brew dan Teh Novi membuat kasus ini menjadi viral, menarik perhatian masyarakat.
Masalah ODGJ lebih sering disorat dari kacamata sosial ketimbang kesehatan. Memang, masalah kesehatan jiwa saling terkait dengan masalah sosial. Terlihat jelas dalam kasus Tiko-Eny, kondisi kesehatan jiwa memberi dampak luar biasa terhadap situasi sosial mereka. Sebelumnya hidup dalam kecukupan, kini Tiko-Eny terpuruk dan memerlukan bantuan sosial dari masyarakat sekitar untuk dapat bertahan hidup.
Masalah ODGJ lebih sering disorat dari kacamata sosial ketibang kesehatan. Memang, masalah kesehatan jiwa saling terkait dengan masalah sosial.
Sebaliknya bisa terjadi, tekanan sosial dapat memicu munculnya masalah kesehatan jiwa. Seperti agen penyakit (kuman), tekanan sosial berkepanjangan bisa meruntuhkan pertahanan jiwa yang kokoh, mengantar seseorang menjadi depresi, cemas, dan berbagai gangguan jiwa lain. Apabila sudah terdeteksi mengalami gangguan jiwa, penanganan bidang kesehatan seharusnya menjadi nomor satu.
Masyarakat sudah membantu mengatasi masalah sosial Tiko-Eny dengan membeli barang yang ditawarkan Tiko, mempekerjakan sebagai tenaga keamanan, memberikan kesempatan menjadi sopir, menyediakan akses air bersih, serta tetap berkomunikasi dengan Eny. Sayangnya, masalah kesehatan jiwa kurang tersentuh. Harian Kompas dalam beberapa edisi awal Januari ini juga lebih menyoroti kasus Tiko-Eny sebagai masalah sosial ketimbang masalah kesehatan jiwa.
Layanan kesehatan jiwa komunitas
Masih banyak yang belum tahu bahwa ODGJ bisa sembuh, kembali produktif, dan hidup normal di tengah masyarakat. Ketidaktahuan menghambat proses pemulihan. Pengobatan terlambat, bahkan berakibat penelantaran dan pemasungan. Di pelosok Indonesia mudah ditemui Eny yang lain, di jalanan, panti, hutan/kebun di pinggiran desa, telantar dan terpasung. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 memperlihatkan masih ada 14 persen keluarga yang pernah memasung ODGJ (anggota keluarganya).
Layanan terhadap ODGJ memerlukan sikap yang proaktif karena banyak ODGJ tidak merasa sakit. Karena itu, layanan kesehatan jiwa tidak hanya tersedia, tetapi juga harus proaktif melakukan program promosi dan preventif, menemukan kasus, mengobati sedini mungkin, dan terus menjaga kesinambungan pengobatan.
Kembali ke kasus Ibu Eny, apakah setelah diketahui sebagai ODGJ, harus dievakuasi ke rumah sakit jiwa (RSJ)? RSJ diperlukan bagi ODGJ yang sudah tidak bisa dipertahankan di masyarakat. Apakah Ibu Eny membahayakan diri dan masyarakat sehingga perlu dievakuasi?
Baca juga: Kesehatan Jiwa Bagi Semua, Antara Asa dan Realita
Tiko berulang kali menegaskan, ibunya tidak dalam kondisi berbahaya, masih bisa merawat diri, belanja ke warung, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar tanpa meresahkan masyarakat. Tiko juga menolak perawatan di RS, menolak berpisah dengan ibunya, dan merindukan proses pengobatan yang melibatkan dirinya serta mempertahankan kebersamaannya dengan Ibu Eny.
Melihat ini, bisa dikatakan Tiko adalah perawat terbaik yang dibutuhkan Bu Eny dalam proses pemulihannya. Perawatan di rumah, di tengah masyarakat melalui layanan kesehatan jiwa komunitas, merupakan alternatif yang seharusnya dipertimbangkan.
Kementerian Kesehatan menyadari pentingnya layanan Kesehatan jiwa berbasis komunitas, dan tahun 2009 mengeluarkan pedoman layanan Kesehatan jiwa komunitas (406/Menkes/SK/VI/2009). Pedoman ini mengacu pada perubahan pengobatan gangguan jiwa di banyak negara lain, dari pengobatan individual di rumah sakit untuk menghilangkan gejala menjadi pengobatan untuk mencapai kehidupan produktif di tengah masyarakat.
Harusnya pedoman ini menjadi acuan bagi tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, pekerja sosial, petugas keamanan, dan semua pihak terkait untuk proaktif memberikan layanan kesehatan jiwa di tengah masyarakat. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota pedoman ini diharap jadi pemicu untuk mengembangkan layanan kesehatan jiwa komunitas di wilayahnya dengan melihat contoh-contoh yang ada di dalamnya.
Layanan kesehatan jiwa tidak eksklusif, melainkan menyatu dalam layanan kesehatan yang ada, dari layanan primer, sekunder, hingga tersier.
Layanan kesehatan jiwa tidak eksklusif, melainkan menyatu dalam layanan kesehatan yang ada, dari layanan primer, sekunder, hingga tersier. Selain menyediakan pengobatan medis, tiap tingkatan layanan kesehatan juga wajib berperan dalam layanan promotif, preventif, dan rehabilitatif untuk ODGJ.
Program manager kasus adalah contoh layanan kesehatan jiwa yang dapat dilakukan di puskesmas. Tenaga kesehatan ditunjuk sebagai manager kasus dan bertanggung jawab kepada beberapa ODGJ, untuk menjamin keberlangsungan pengobatan. Program kunjungan rumah adalah contoh lain yang bisa dilakukan untuk memberikan layanan kesehatan bagi ODGJ dan keluarga yang kesulitan datang ke puskesmas. Kader kesehatan di posbindu dan posyandu dapat berperan dalam menemukan kasus dan memberikan edukasi tentang kesehatan jiwa.
Integrasi dalam layanan umum di puskesmas sudah berjalan. Jakarta, misalnya, sudah sejak 2015 mempunyai layanan Ketuk Pintu Layani dengan Hati (KPLDH). Kementerian Kesehatan memiliki Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK). Kedua program ini identik, petugas puskesmas mendatangi tiap rumah tangga di wilayah kerjanya untuk mendata masalah kesehatan tiap keluarga. Ada 12 indikator yang dinilai, salah satunya adalah indikator kesehatan jiwa, untuk memastikan ODGJ yang ada di keluarga mendapatkan pengobatan yang sesuai.
Program PIS-PK sejalan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan sebagai indikator kinerja bidang kesehatan pemerintah daerah (PP 2 Tahun 2018). Salah satu SPM adalah semua ODGJ harus mendapat pengobatan. Layanan kesehatan jiwa komunitas adalah kendaraan penting untuk mencapai SPM tersebut.
Perangkat regulasi kesehatan jiwa sudah berlimpah, termasuk UU Kesehatan Jiwa (2014), yang juga menekankan pentingnya kehadiran layanan kesehatan jiwa di tengah masyarakat. Namun, mengapa masih banyak masyarakat yang belum tersentuh dengan layanan kesehatan jiwa?
Penggunaan teknologi informasi dalam bidang kesehatan yang berkembang pesat dalam masa pandemi Covid-19 dapat dimaksimalkan dalam mendukung layanan kesehatan jiwa komunitas.
Kompleksitas masalah kesehatan jiwa mengharuskan layanan berkesinambungan, multidisiplin, dan lintas sektor. Koordinasi salah satu kelemahan. Layanan kesehatan jiwa menjadi terpecah-pecah dilakukan oleh tiap sektor sendiri-sendiri.
Kementerian Kesehatan terus berjuang untuk penyediaan layanan kesehatan jiwa di setiap lapis tingkat layanan kesehatan. Kementerian Sosial juga memiliki program sendiri. Demikian juga bidang hukum, keamanan, pendidikan, serta agama memiliki pandangan dan cara sendiri dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa di masyarakat. Untuk itu, apakah perlu leadership nasional untuk menghadirkan segera layanan kesehatan jiwa komunitas?
Masalah klasik lain adalah kurangnya SDM kesehatan jiwa. Bidang kesehatan jiwa kurang menyediakan insentif untuk menarik. Akibatnya, rasio psikiater dan psikolog di Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Perawat yang khusus dalam bidang kesehatan jiwa serta tenaga profesional lain seperti pekerja sosisal dan okupasi terapis masih langka.
Baca juga: Pelajaran dari Kealpaan Mendeteksi Gangguan Jiwa di Brebes
Untuk jangka panjang perlu ada kebijakan yang mendorong talenta muda untuk tertarik dalam bidang kesehatan jiwa. Sementara dalam jangka pendek pelatihan sederhana untuk tenaga kesehatan yang ada, kader kesehatan dan tenaga lain untuk terlibat dalam layanan kesehatan jiwa mutlak diperlukan.
Penggunaan teknologi informasi dalam bidang kesehatan yang berkembang pesat dalam masa pandemi Covid-19 dapat dimaksimalkan dalam mendukung layanan kesehatan jiwa komunitas. Berharap kerinduan Tiko-Eny dan ODGJ lain di masyarakat kepada layanan kesehatan komunitas segera terpenuhi.
Irmansyah, Psikiater Konsultan Psikiatri Komunitas; Peneliti Ahli Utama BRIN