Politik Amnesti dan Memori Dialogis
Alih-alih terbelenggu memori mitos politik, bangsa Indonesia perlu menempuh rute menuju memori dialogis. Semua komponen bangsa mengakui peristiwa pelanggaran HAM berat dengan cara melampaui perspektif menang-kalah.
Pengakuan dan penyesalan pemerintah terhadap 12 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu menghapus stigma bahwa bangsa Indonesia mudah lupa. Pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Presiden Joko Widodo positif karena menghadirkan dimensi evaluatif perjalanan berbangsa.
Meski demikian, pengakuan dan penyesalan itu perlu diikuti dengan memori dialogis agar bangsa ini dapat mentransformasi trauma masa lalu menjadi visi moralitas bangsa.
Politik amnesti
Setelah runtuhnya Orde Baru, berbagai penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat menemui jalan buntu, misalnya peristiwa 1965-1966. Komnas HAM melalui tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM peristiwa 1965-1966 telah menyelidiki dan menyimpulkan peristiwa ini sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, hingga kini Pemerintah Indonesia belum mengungkapkan kebenaran melalui pengadilan.
Karena itu, pengakuan dan penyesalan pemerintahan Jokowi terhadap tragedi 1965 bisa dilihat sebagai langkah positif. Pemerintah menolak lupa terhadap pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Namun, dari sisi substansi, apa yang disampaikan Presiden pada 11 Januari 2023 itu tidak menunjukkan kemajuan berarti. Pernyataan itu hanya menyuarakan rekomendasi simposium nasional tragedi 1965 pada 18 April 2016. Seperti diberitakan Kompas (20/4/2016), simposium itu mengakui ada tragedi kemanusiaan pada peristiwa 1965. Terjadi kekerasan dan pembunuhan berskala luas.
Baca juga: Melawan Lupa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Simposium merekomendasikan agar pemerintah memenuhi hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan atas ketidakberulangan.
Dalam pengakuan dan penyesalan yang diungkapkan Presiden Jokowi, tidak ada permintaan maaf terhadap korban pelanggaran HAM berat. Presiden mengulangi sikap Luhut Binsar Pandjaitan yang dalam simposium delapan tahun lalu menolak untuk meminta maaf.
Yang berbeda, kalau simposium tersebut menolak penyelesaian yudisial, Presiden Jokowi menyebut pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan perlunya penyelesaian yudisial.
Namun, dengan mengatakan hal tersebut di satu tahun terakhir pemerintahannya, rasanya hampir mustahil pemerintahan Jokowi dapat melakukan penyelesaian yudisial terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat yang disebutnya.
Jika bacaan tersebut benar, Jokowi sedang menjalankan politik amnesti (Tornquist, 2015). Pengakuan dan penyesalan pemerintah terhadap 12 pelanggaran HAM berat memang menunjukkan bangsa ini menolak lupa. Namun, pengungkapan kebenaran dan keadilan terhadapnya menempuh amnesti nonyudisial untuk pelaku pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Prospek Penyelesaian HAM di Tahun Terakhir Jokowi
Politik amnesti bisa menjadi kompromi dan strategi efektif dalam menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM.
Christian Meier, profesor sejarah Jerman, melihat pentingnya politik amnesti sebagai strategi keluar dari ingatan konfliktual yang mengganggu relasi dan keharmonisan masa kini. Menurut dia, dalam sejarah Eropa, tindakan melupakan menjadi dasar perdamaian baik di zaman Yunani kuno saat perang Pelepponasian dan pascaperang sipil di Eropa 1648, yang ditandai Perjanjian Westphalia. Salah satu rumusan perjanjian itu berisi imperatif untuk melupakan dan mengampuni semua kejahatan yang telah terjadi (Assmann, 2015).
Namun, politik amnesti yang terlalu cepat melupakan kejahatan tanpa mengungkapkan kebenaran melalui jalur yudisial menegasi tuntutan rasa adil korban pelanggaran HAM. Maka, kita perlu memperhatikan suara Suciwati (istri almarhum Munir) dan Maria Sumarsih (ibu korban Tragedi Semanggi 1, Bernandus Realino) yang menuntut Presiden untuk mendorong penyelesaian jalur yudisial sebagai tindak lanjut pengakuan dan penyesalan pemerintah (Kompas, 13/1/2023).
Namun, politik amnesti yang terlalu cepat melupakan kejahatan tanpa mengungkapkan kebenaran melalui jalur yudisial menegasi tuntutan rasa adil korban pelanggaran HAM.
Melampaui dikotomi pelaku-korban
Edward Said dalam Invention, Memory and Place menjelaskan kaitan erat antara memori, identitas, nasionalisme, dan kekuasaan. Dalam konteks politik, menurut Said, masa lalu bisa hadir dalam dua bentuk: mitos politik atau tonggak memori perjalanan bangsa.
Pada yang pertama ia jadi instrumen manipulasi dan propaganda penguasa atau mereka yang hendak berkuasa. Di Indonesia, hantu PKI dan bahaya komunisme adalah perwujudannya. Peristiwa ini dipakai untuk kepentingan politik tertentu. Namun, yang kedua, dia jadi tonggak memori bangsa yang berguna membentuk identitas kolektif yang bermakna.
Pada yang pertama memori hadir melalui monolog penguasa. Caranya dengan melanggengkan wacana heroik hitam putih: pahlawan dan lawan; pemenang dan pecundang. Di Indonesia, peristiwa 1965 sering dibaca dengan perspektif ini.
Dari sisi pelaku atau pihak yang pro dengan pelaku, aktor pembunuhan tragedi 1965 dianggap pahlawan dan yang dibunuh sebagai lawan.
Dari sisi korban atau yang pro terhadap korban, peristiwa ini dimaknai sebagai penderitaan heroik karena melawan kelompok kontrarevolusi. Di luar perspektif hitam putih yang dikotomistik, memori dan pemaknaan lain ditolak. Memori dalam wujud mitos politik inilah yang hingga kini dipelihara.
Rasanya, salah satu tantangan berat pemerintah Jokowi—dan pemerintah setelahnya—dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat disebabkan bangsa ini masih mengikuti perspektif menang-kalah, benar-salah, pelaku-korban. Mereka yang diduga pelaku masih ada sampai sekarang dan mungkin memiliki relasi dekat dengan kekuasaan. Siapa yang mau dan berani mengadili teman, kelompok, atau saudara sendiri?
Karena itu, alih-alih terbelenggu memori mitos politik, bangsa Indonesia perlu menempuh rute menuju memori dialogis. Semua komponen bangsa mengakui peristiwa pelanggaran HAM berat dengan cara melampaui perspektif menang-kalah atau keluar dari dikotomi pelaku-korban.
Karena itu, alih-alih terbelenggu memori mitos politik, bangsa Indonesia perlu menempuh rute menuju memori dialogis.
Dalam situasi politik yang konfliktual di tahun 1960-an, tiap-tiap pihak bisa memainkan posisi sebagai pelaku dan korban. Memori dialogis ini sifatnya self-reflective. Ia pertama-tama mengevaluasi diri dan kelompok sendiri dari pada menilai pihak di luar dirinya.
Ia membuka ruang pada trauma serta memori yang saling berkontestasi (Asmann, 2023). Karena bersifat dialogis, masing-masing bersetuju menempuh penyelesaian yudisial sebab tak ada yang merasa paling benar dan tak ada yang kehilangan muka karena dihakimi sebagai penjahat HAM.
Pengungkapan kebenaran melalui jalur yudisial lalu dimaknai dalam semangat ketulusan dan kerendahan hati. Tujuannya rekonsiliasi, bukan saling menghakimi. Kita berharap pemerintahan Jokowi bisa mengemudikan arah penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui rute tersebut.
Darwin Darmawan,Rohaniwan/Pendeta, Wakil Sekretaris Umum Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat