Mencari Peta Jalan Indonesia Sehat
Sebagai bagian dari upaya kesehatan masyarakat (UKM), sudah waktunya puskesmas dikembalikan ke khitahnya. Untuk menjalankan peran hulu, puskesmas dapat kerja sama dengan kader kesehatan dan agen pemberdaya kesehata lain.
Hingga akhir 2022 ini, sektor kesehatan di Indonesia masih menghadapi triple burden (beban tiga kali lipat) berupa berbagai masalah penyakit ataupun masalah gizi.
Beban masalah penyakit tersebut, pertama, adanya penyakit infeksi new emerging dan re-emerging seperti Covid-19. Kedua, penyakit menular belum teratasi dengan baik. Ketiga, penyakit tidak menular (PTM) cenderung naik setiap tahun. Sementara tiga masalah gizi (triple burden of malnutrition) adalah kekurangan gizi, kelebihan berat badan, dan kekurangan zat gizi mikro.
Kedua beban tiga kali lipat di atas berpengaruh pada derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Persoalannya kemudian, kepada siapa masyarakat berbangsa Indonesia mengadukan nasib untuk berharap terbebas dari jeratan kedua beban tiga kali lipat tersebut?
Tentu saja jawaban dari pertanyaan di atas adalah kepada pemerintah, secara khusus yang bertanggung jawab mengurus masalah kesehatan masyarakat. Pertanyaan berikutnya, dengan cara bagaimana? Cukupkah dengan program enam transformasi di bidang kesehatan? Tentu saja sangat belum cukup karena kelihatannya enam transformasi tersebut lebih banyak berjibaku di hilir, menunggu masyarakat sakit baru dilayani.
Baca juga : Turbulensi Program Kesehatan 2023
Lalu, hulunya apa dan mau diserahkan kepada siapa? Hulu dari kesehatan itu program promotif-preventif, seperti ketersediaan air bersih, lingkungan sehat dan bersih, sanitasi, perbaikan gizi, perilaku hidup sehat, serta tentu saja imunisasi dan vaksinasi. Karena itu, hemat penulis, semua masalah hulu dan paling hulu dari kesehatan masyarakat tersebut adalah tugas utama dari pemerintah.
Konstitusi (UUD Negara RI 1945) telah memberi tahu kita bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan negara RI adalah ”memajukan kesejahteraan umum”. Dan, ”memajukan kesejahteraan umum” ini jika diterjemahkan ke dalam tataran praktis dapat dimaknai sebagai ”meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia”.
Konstitusi pula yang menjelaskan: ”Hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan” (Pasal 28H Ayat 1). Selanjutnya, ”perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” (Pasal 281 Ayat 4).
Karena itu, jika pemerintah serius ingin meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan mewujudkan cita-cita Indonesia Sehat, hemat penulis pemerintah perlu pula mengedepankan konsep berpikir sehat (paradigma sehat) dengan memprioritaskan mencegah agar masyarakat yang sehat tidak jatuh sakit. Bukan lebih mengedepankan rumah sakit, obat, laboratorium, alat dan teknologi kesehatan, serta produksi dokter spesialis sebanyak-banyaknya.
Penataan sistem
Penataan sistem kesehatan adalah wacana yang hampir setiap saat didengungkan oleh pemerintahan baru.
Dan, memang hanya pemerintah yang kuasa melakukannya walau dalam implementasinya terkadang hanya mengutak-atik pasal-pasal undang-undang atau peraturan perundang-undangan, tanpa jelas apa konsep besarnya. Tak ada naskah akademiknya. Tak jarang pekerjaan mengutak-atik itu mengabaikan transparansi dan perlunya partisipasi masyarakat, terutama pemangku kepentingan (stakeholder) utamanya. Kadang pula stakeholder utama dilibatkan di ujung pembahasan, menjelang ketuk palu.
Karena itu, jika pemerintah serius ingin menata sistem kesehatan, siapkan terlebih dulu konsep besar dan naskah akademiknya secara transparan. Libatkan stakeholder utama serta semua komponen masyarakat yang berkepentingan dengan sehat dan kesehatan untuk merancang dan merumuskan sejak awal. Misalnya, jika ingin menata tenaga kesehatan, libatkanlah tenaga kesehatan yang menjadi stakeholder utamanya.
Karena itu, jika pemerintah serius ingin menata sistem kesehatan, siapkan terlebih dulu konsep besar dan naskah akademiknya secara transparan.
Tenaga kesehatan memang perlu ditata, baik itu tenaga profesi maupun yang vokasi. Begitu pula tenaga kesehatan yang kompetensi dan kewenangannya di sektor upaya kesehatan perseorangan (untuk kuratif dan rehabilitatif). Pun tenaga kesehatan yang kompetensinya atau memilih berperan di sektor upaya kesehatan masyarakat, seharusnya dioptimalkan pula untuk melakukannya di tengah masyarakat.
Tidak seperti sekarang ini, di mana tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan di sektor upaya kesehatan perseorangan, dibebani juga program promotif-preventif di tengah masyarakat. Sementara yang seharusnya menjadi ujung tombak promotif-preventif di tengah masyarakat dibuat terpaku di dalam tembok bangunan puskesmas, yang telah disulap menjadi pelayanan kuratif.
Akibat ketidaktertataan di atas, entitas masyarakat di luar tembok puskesmas seperti kehilangan arah. Kurang tahu apa yang mesti dilakukan untuk memelihara kesehatannya karena hubungan antara masyarakat dan puskesmas telah tercipta sebagai hubungan individual. Hubungan antara orang sakit (pasien) dan tempat pengobatan. Bukan lagi hubungan antara masyarakat dan pusat kesehatannya.
Padahal, sejatinya, hak asasi manusia tertinggi dalam kesehatan adalah ”mengajarkan setiap manusia tentang hak untuk hidup sehat” dan bukan mengobati pada saat mereka telah sakit. Itu pula esensi pemerintahan suatu negara dibentuk, yakni memenuhi hak tertinggi dari masyarakat tersebut. Dan, juga esensi mengapa suatu negara membentuk kementerian kesehatan, bukan kementerian pengobatan orang sakit.
Pembagian tugas profesional
Kebiasaan orang awam, ketika menghadapi masalah kesehatan selalu hanya terfokus kepada tenaga medis. Mencari dokter, dokter spesialis, dan rumah sakit. Dokter spesialis pun sering diberi peran ganda, sebagai ”pemain serang” di sektor hulu sekaligus sebagai pemain ”bertahan” di sektor hilir (pertahanan). Berperan sebagai agen promotif-preventif dan di hilir sebagai agen kuratif-rehabilitatif. Padahal, semestinya promotif-preventif hanya dilakukannya di hilir dalam hubungan dokter dan pasien.
Menjadi pemeran ganda seperti ini akan membuat dokter dan dokter spesialis itu kerepotan dan kelelahan. Karena itu, perlu dibuat pembagian peran sesuai dengan kompetensi setiap tenaga kesehatan. Dokter sebaiknya lebih banyak difokuskan pada sektor di mana tenaga kesehatan lain tak punya kompetensi dan kewenangan untuk melakukannya.
Baca juga : Rakyat Sehat Negara Kuat
Lain halnya jika dokter tersebut ditunjuk menjadi pejabat publik, seperti menjadi menteri kesehatan atau kepala dinas kesehatan. Tentu konsekuensinya ia harus mengubah cara berpikirnya untuk lebih mengedepankan masalah hulu, di sektor upaya kesehatan masyarakat, sekalipun ia adalah dokter spesialis terbaik dan satu-satunya.
Masih segar dalam ingatan kita pada puncak Covid-19, beberapa dokter spesialis mengatakan, ”Kalau yang gejalanya ringan janganlah dibawa kepada kami, yang dikasih ke kami yang berat-berat saja.”
Artinya, dokter spesialis tersebut sangat menyadari kalau mereka adalah dokter spesialis yang bekerja di sektor upaya kesehatan perseorangan (di sektor terakhir). Mereka sangat ingin berbagi tugas dengan tenaga kesehatan lain. Bekerja maksimal sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya (berat-berat dan spesifik), yang tidak mungkin dapat dibebankan kepada tenaga kesehatan lain.
Lagi pula membebankan sebagian besar masalah kesehatan kepada dokter, apalagi dokter spesialis, tentu kurang menguntungkan. Seolah-olah semua masalah kesehatan akan dibebankan kepada profesi dokter. Padahal, kita semua tahu bahwa dokter dan dokter spesialis itu jumlah dan produksinya terbatas.
Dan, hal ini juga dapat menimbulkan kerancuan berpikir jika kita bicara sistem kesehatan. Perlu juga diingat bahwa negeri ini telah meluluskan banyak sekali tenaga dan sarjana kesehatan masyarakat, ahli promosi kesehatan, ahli sanitasi, ahli gizi, ahli kesehatan lingkungan, dan lain-lain, yang juga dapat bekerja serta berbagi tugas dan peran sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
Puskesmas kembali ke khitah
Sebagai bagian dari upaya kesehatan masyarakat (UKM), sudah waktunya puskesmas dikembalikan ke khitahnya. Kembali ke peran utamanya yang selama ini sering terabaikan. Berinteraksi secara optimal dengan masyarakat di luar tembok bangunan puskesmas untuk melakukan program promosi kesehatan dan pencegahan.
Puskesmas perlu mengajari masyarakat untuk hidup sehat, olahraga, penyediaan air bersih, perbaikan sanitasi, perbaikan gizi, cegah tengkes, cegah penyakit degeneratif, dan lain-lain. Untuk menjalankan peran hulu tersebut, puskesmas dapat bergandengan tangan dengan kader kesehatan, kader pelopor sanitasi, kader gizi, kader posyandu, dan agen pemberdaya kesehatan lain.
Puskesmas perlu mengajari masyarakat untuk hidup sehat, olahraga, penyediaan air bersih, perbaikan sanitasi, perbaikan gizi, cegah tengkes, cegah penyakit degeneratif, dan lain-lain.
Tugas itu hanya bisa terlaksana jika puskesmas diberi ruang dan juga uang (anggaran) yang juga besar. Tanpa anggaran yang cukup, maka program hulu berupa promosi kesehatan dan pencegahan dalam lingkup UKM tidak akan mungkin diminati, apalagi berhasil.
Masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk berikhtiar, dengan mengubah paradigma, menata sistem, melakukan pembagian peran secara profesional, serta mengembalikan puskesmas sebagai ujung tombak program promotif dan preventif di tengah masyarakat. Semoga dengan ikhtiar ini peta jalan cita-cita Indonesia Sehat bisa ditemukan kembali. Wallahualam bissawab.
Zaenal Abidin;Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Periode 2012-2015