Meluruskan Salah Kaprah di Sekitar Bung Karno
Banyak salah kaprah terkait berbagai hal di sekitar Presiden Soekarno. Mulai dari istilah, nama tempat, ajaran, harta kekayaan, sejarah, dan lainnya. Kesalahkaprahan tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi ketelanjuran.
Apabila kita mengikuti berita-berita terkait Soekarno, kerap kali kita mendengar dan menemukan hal-hal yang salah diartikan atau tidak tepat diungkapkan dalam pengertian yang sebenarnya.
Sebut saja, mulai dari istilah, nama tempat, ajaran, keturunan, cerita atau sejarah, harta kekayaan, dan lainnya di sekitar Presiden Soekarno. Saya menyebutnya banyak yang salah kaprah.
Sebagai anak sulung Bung Karno, penulis mencoba menguraikan yang sebenarnya agar kesalahkaprahan tak terus-menerus menjadi ketelanjuran.
Dari massa aksi hingga ”Istana” Batu Tulis
Contoh pertama, hampir semua pembawa acara dan media massa salah menjelaskan pengertian ”massa aksi” dalam sebuah berita demonstrasi. Disebutkan ”massa aksi” mencoba menjebol pagar Gedung DPR.
Penggunaan kata ”massa aksi” dalam kasus ini dinilai tak tepat dan berbeda dengan istilah ”massa aksi” yang digunakan Bung Karno dalam tulisan-tulisannya, termasuk dalam pleidoinya di Pengadilan Bandung, ”Indonesia Menggugat”.
Sejauh yang penulis amati aksi demonstrasi di Indonesia selama ini bukanlah suatu massa aksi seperti dalam Teori Gerakan Massa Revolusionernya Bung Karno. Namun, hanya massa aksi, aksi massal, atau aksinya massa (action de masse/mass action). Dalam aksi ini, pesertanya bisa berjumlah puluhan, ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu.
Istilah massa aksi didapat Bung Karno dari pengalaman membaca banyak buku tentang gerakan sosial-demokrat di Eropa.
Istilah ”massa aksi” yang digunakan untuk sekadar menjebol Gedung DPR Senayan sebenarnya keadaan di mana sejumlah besar orang bertindak secara bersamaan/serempak dengan cara sama, tetapi secara individual, tanpa koordinasi.
Massa aksi dalam Teori Gerakan Massa Revolusioner Bung Karno merupakan perjuangan untuk mengubah keadaan secara revolusioner, militan, dan terorganisasi, bukan sekadar spontanitas. Istilah massa aksi didapat Bung Karno dari pengalaman membaca banyak buku tentang gerakan sosial-demokrat di Eropa.
Seperti dalam pidato ”Indonesia Menggugat”, ia merujuk penjelasan massa aksinya dari pengalaman Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP/ Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda). Dalam pidatonya kemudian, Bung Karno banyak menyatakan soal massa aksi, mulai dari pleidoinya di Pengadilan Bandung, ”Indonesia Menggugat”, hingga tulisannya Di Bawah Bendera Revolusi dan Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Terkait istilah ”Istana” Batu Tulis yang beberapa waktu lalu diberitakan, juga terjadi kesalahkaprahan. Disebutkan, pertemuan empat mata antara Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarno Putri dilakukan di ”Istana” Batu Tulis.
Penyebutan istana untuk rumah Batu Tulis milik keluarga Soekarno jelas keliru. Rumah di Jalan Batu Tulis, Bogor, itu bukanlah istana. Apalagi jika disebutkan itu bagian dari Istana Kepresidenan, seperti Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Negara, Istana Merdeka, Istana Yogya (Gedung Agung), dan Istana Bali (Tampak Siring).
Rumah ini berdiri sendiri dan tidak di bawah pengelolaan Sekretariat Negara. Di era Presiden Abdurrahman Wahid, rumah ini diserahkan kembali ke ahli waris Bung Karno. Atas kesepakatan keluarga, rumah diserahkan pengelolaannya kepada Megawati. Jadi, rumah ini milik pribadi Bung Karno.
Rumah Batu Tulis dibangun berdasarkan inisiatif almarhum Sultan Hamengku Buwono IX yang waktu itu melihat Bung Karno sebagai presiden sama sekali tak punya rumah pribadi.
Sultan kemudian mengerakkan sejumlah pengusaha bergotong royong mendirikan rumah buat Bung Karno. Rumah dirancang dan dibangun oleh arsitek RM Sudarsono yang membangun Istana Bali. Biaya pembangunannya dipikul secara gotong royong oleh pengusaha-pengusaha di era itu. Mereka antara lain Dasaad, Hasyim Ning, Markam, Karkam, dan Mas Agung, pemilik PT Gunung Agung. Bung Karno kemudian menamakan rumah ini ”Hing Puri Bima Sakti”.
Sultan kemudian mengerakkan sejumlah pengusaha bergotong royong mendirikan rumah buat Bung Karno.
Salah kaprah berikutnya adalah saat menyebutkan nama istana di Jakarta, antara Istana Merdeka dan Istana Negara. Penyebutannya sering keliru.
Pembawa acara di televisi kerap kali tidak tepat menyatakan bahwa peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus dilaksanakan di halaman Istana Negara, padahal seharusnya di Istana Merdeka. Istana Merdeka dulu digunakan Presiden Soekarno sebagai tempat tinggal keluarganya setelah kembali dari Yogyakarta pada 1949.
Waktu itu namanya masih Istana Gambir. Pasca-diturunkannya bendera Belanda dan diganti dengan bendera Merah Putih, istana tersebut dikenal dengan Istana Merdeka.
Lokasi Istana Merdeka tepat di Jalan Merdeka Utara dan berhadapan dengan Monumen Nasional (Monas). Adapun Istana Negara berlokasi di Jalan Segara (kini Jalan Veteran), menghadap Sungai Ciliwung.
Dari trah ke harta Bung Karno
Juga penting untuk diluruskan adalah urusan trah atau keturunan Soekarno. Hiruk-pikuk jelang Pemilu 2024 terkait bakal capres ataupun cawapres merembet masuk ke trah Soekarno. Banyak yang mengartikan semua keturunan Bung Karno sampai cucu dan cicit-cicitnya adalah trah Soekarno.
Jika ditinjau dari akar budaya Jawa dan Bali, karena orangtua Bung Karno berasal dari Jawa dan Bali, maka trah Bung Karno ditentukan menurut garis bapak dan bukan garis ibu (matrilineal). Dari sudut pandang ini, cucu dari keturunan Soekarno dan Fatmawati yang dapat dikatakan sebagai trah Soekarno hanyalah seorang, yaitu putri tunggal penulis, Puti Guntur Soekarno.
Yang lainnya tak bisa dikatakan trah atau membawa nama Soekarno karena keseluruhannya mengikuti garis ibu. Anak dari Soekarno-Fatmawati, mulai dari penulis, berhak menggunakan nama Soekarno, yaitu Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Sukarnoputra.
Yang lainnya tak bisa dikatakan trah atau membawa nama Soekarno karena keseluruhannya mengikuti garis ibu.
Soal lain yang kerap salah kaprah adalah tudingan untuk mendiskreditkan Bung Karno secara politik dalam penulisan naskah pidato, terutama saat Peringatan HUT Proklamasi 17 Agustus. Pernah disebutkan, seolah seluruh pidato Bung Karno, terutama Pidato Kenegaraan pada HUT Proklamasi, ditulis oleh Menteri Nyoto dari PKI sebagai konseptornya.
Tudingan itu ditulis dalam buku Ganis Harsono, Cakrawala Politik era Sukarno (Haji Masagung, 1989), yang menyebutkan nama Soebandrio dan Molly Warner Bondan sebagai penulis naskah pidato. Demikian pula buku yang diterbitkan majalah Tempo, Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara, juga menuliskan Nyoto bersama Carmel Brickman Boediardjo, selain juga Ruslan Abdulgani, sebagai penulis pidato.
Terus terang untuk hal-hal tersebut saya kurang yakin, tetapi mungkin saja sesekali mereka diminta membuatkan pidato berdasarkan pointers yang dibuat oleh Bung Karno. Waktu itu mungkin Bung Karno semakin sibuk setelah era Demokrasi Terpimpin.
Sebagai putra Bung Karno, penulis melihat sendiri pengalaman Bung Karno menulis pidato. Penulis khawatir tudingan itu seolah ingin menunjukkan bahwa Bung Karno adalah simpatisan PKI dan berideologi komunis. Mungkin saja yang mengembus-embuskan itu tak lain tak bukan adalah kelompok anti-Soekarno.
Tegasnya, mereka kelompok-kelompok, yang dengan segala cara sampai sekarang, terus melakukan de-Soekarnoisasi di segala bidang: politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tujuannya, menjatuhkan reputasi Bung Karno sebagai seorang nasionalis, Patriot Paripurna, dan Dwi Tunggal Pahlawan Proklamator Soekarno-Hatta.
Sebagai pembantu Presiden Soekarno, Nyoto memang pernah diperintah oleh Bung Karno untuk menyusun konsep pidato presiden dalam rangka HUT Ke-39 PKI. Namun, pidato yang disusunnya itu sebelumnya sudah dibuatkan terlebih dahulu pokok-pokok bahasannya (pointers)-nya oleh Bung Karno. Untuk pidato-pidato lainnya, hingga Bung Karno didongkel dari kekuasaannya, penulis yakin tidak pernah dibuatkan oleh pihak lain.
Keseluruhan pidato merupakan tulisan tangan Bung Karno yang kemudian diketik oleh tim pengetik cepat dari Sekretariat Negara dan dipimpin seorang anggota Brimob dari Detasemen Kawal Pribadi bernama Prihatin. Yang bersangkutan juga anggota Protokol Kepresidenan yang bertanggung jawab atas upacara pengibaran bendera Pusaka pada HUT Kemerdekaan RI di Istana Merdeka sampai masuknya Orde Baru.
Pengalaman penulis, pidato-pidato kenegaraan setiap tahun ditulis tangan oleh Bung Karno di ruang tengah (aula) Istana Merdeka jika Presiden berada di Jakarta. Jika ada di Istana Bogor, pidatonya ditulis di Paviliun Banyurini (kini wisma dan menjadi tempat tinggal dinas Presiden Jokowi). Saat Bung Karno ada di Istana Cipanas, Bung Karno menulis naskah pidato di rumah Bentol, yang dibangun Bung Karno di Istana Cipanas.
Dalam buku Bung Karno, Bapakku, Kawanku, Guruku (1977), penulis menceritakan bagaimana Bung Karno bolak-balik menyuruh penulis mengambilkan beberapa buku sebagai referensi saat menulis naskah pidato. Jadi, sama sekali tak benar jika dikatakan semua pidato Bung Karno adalah hasil karya Nyoto atau lainnya.
Untuk pidato-pidato lainnya, hingga Bung Karno didongkel dari kekuasaannya, penulis yakin tidak pernah dibuatkan oleh pihak lain.
Yang juga tidak benar, Bung Karno selalu digembar-gemborkan media Barat sebagai seorang presiden yang kaya raya melebihi raja-raja, kaisar, atau kepala negara di dunia. Saking kayanya, Bung Karno pernah diberitakan memiliki kekayaan melebihi jutawan Yunani, Aristoteles Onassis, di era 1960-an. Angkanya sekitar 5,5 miliar dollar AS (dengan kurs sekarang sekitar Rp 85 triliun).
Bung Karno dituduh memiliki setidaknya tiga pesawat terbang pribadi yang digunakan untuk melanglang buana di dalam dan di luar negeri. Padahal, pesawat itu, yaitu helikopter Sikorsky SH-3 Marine One, merupakan hadiah dari Presiden AS John F Kennedy, yang diberikan kepada Angkatan Udara RI (AURI). Juga pesawat Ilyushin 28, hadiah dari PM Uni Soviet Nikita Kruschev, yang lalu digunakan untuk AURI.
Dalam perkembangannya, pesawat itu oleh Bung Karno diberi nama Dolok Martimbang. Pesawat ketiga, Lockheed Jet Star C-140, hadiah dari pabriknya saat berkunjung ke AS. Semua pesawat itu masuk dalam jajaran armada udara AURI dan tak pernah menjadi milik pribadi Bung Karno.
Demikian pula beberapa mobil mewah yang kemudian digunakan sebagai kendaraan dinas kepresidenan RI, seperti ZIM dari Uni Soviet, beberapa sedan Cadillac dari AS, dan Mercedes-Benz 600. Mobil-mobil mewah saat itu tidak ada yang dibeli, tetapi hadiah gratis dari luar negeri. Sebagian mungkin masih disimpan pihak Istana sebagai memorabilia.
Jadi, salah besar jika ada yang mengira kekayaan pribadi Bung Karno sungguh luar biasa. Asal tahu saja, saat Bung Karno didongkel, kehidupan keluarga Bung Karno sangat sulit. Apalagi Bung Karno sama sekali tak meninggalkan harta, kecuali bendera Merah Putih yang pernah dijahit Fatmawati dan kitab suci Al Quran saat dipaksa keluar dari Istana Merdeka.
Dengan segala daya upaya dan bantuan teman-teman, seperti Ali Sadikin waktu itu, keluarga Bung Karno mampu bertahan hidup dan menopang keluarga dengan ekonomi yang diusahakannya sendiri.
Guntur Soekarno,PutraPresiden Ke-1 RI Soekarno, Ketua Dewan Ideologi DPP Persatuan Alumni GMNI, dan Pemerhati Sosial