Upaya untuk menaikkan kontribusi ekonomi biru terhadap PDB Indonesia membutuhkan perbaikan, dalam hal inklusivitas dan tata kelola sumber daya kelautan. Indonesia disarankan fokus pada sektor perikanan dan wisata bahari.
Oleh
M RIZA DAMANIK
·4 menit baca
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa 2023 merupakan tahun ujian bagi perekonomian global dan nasional (2/1). Sebagai negara kepulauan-tropis terbesar di dunia, Indonesia akan lulus melewati ujian ekonomi tahun ini dan ke depan dengan mengakselerasi kinerja ekonomi biru nasional.
Konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Pembangunan Berkelanjutan (UNCSD) telah mendefinisikan ekonomi biru sebagai aktivitas pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan untuk menumbuhkan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kesehatan ekosistem laut. Sejumlah negara, sebut saja Australia, Korea Selatan, dan China, telah lebih dulu dan berhasil memanfaatkan peluang besar dari ceruk ekonomi biru. Kontribusinya rata-rata telah mencapai 4,3-9 persen terhadap total PDB mereka (Fulton dan Hemer, 2022; Park, 2014; Xuemei, dkk., 2021). Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan lebih dari 1,33 triliun dollar AS per tahun, tetapi pemanfaatannya belum optimal. Sejak 2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menaruh target peningkatan kontribusi ekonomi biru ke dalam PDB dari kurang 4 persen saat ini menjadi 12,5 persen pada 2045.
Mari lihat hasil pengukuran Indeks Pembangunan Ekonomi Biru (BEDI) yang dikeluarkan pertama kali pada 2020 oleh Forum Negara-negara Pulau dan Kepulauan (AIS Forum). Posisi Indonesia hanya berada pada peringkat ke-36 dari 47 negara dengan skor 4,3. Lalu, apa penyebabnya? Ternyata ada dua dari delapan indikator BEDI Indonesia mendapat nilai rendah sehingga perlu perbaikan.
Pertama, indikator Indeks Pembangunan Inklusif (Inclusive Development Index). Indonesia hanya memperoleh skor 0,25. Ini menjelaskan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Tanah Air belum sepenuhnya terdistribusi merata, baik secara etnis, jender, maupun antargenerasi.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Pekerja memilah ikan yang baru tiba di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jakarta Utara, berdasarkan ukurannya, Kamis (13/10/2022). Kementerian Kelautan dan Perikanan menyiapkan lima program untuk mendorong penerapan prinsip ekonomi biru, salah satunya adalah program Penangkapan Ikan Terukur berbasis kuota.
Indikator kedua terkait Indeks Tata Kelola (Governance Index) meliputi pengukuran sejumlah aspek penting terkait kebijakan dan kapasitas kelembagaan, lingkungan usaha, kualitas air, energi, pelayaran, dan sumber daya alam. Di sini, Indonesia mendapat nilai 0,3 atau berpotensi mengalami masalah lingkungan dengan derajat tinggi, termasuk akibat dari tingginya pembuangan sampah plastik di laut.
Temuan serupa juga tersaji di dalam laporan The Economist Intelligent Unit (2019) yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-18 dari 20 negara dalam hal pengelolaan kualitas air—baik dari limbah rumah tangga maupun industri. Persoalan lain adalah tingginya angka kemiskinan di daerah pesisir dan keterbatasan infrastruktur.
Temuan serupa juga tersaji di dalam laporan The Economist Intelligent Unit (2019) yang menempatkan Indonesia pada urutan 18 dari 20 negara dalam hal pengelolaan kualitas air.
Sebagai contoh, infrastruktur penyaluran bahan bakar minyak untuk nelayan kecil dan tradisional. Indonesia memiliki lebih dari 11.000 desa pesisir tersebar dari pulau paling timur hingga barat. Sementara, infrastruktur layanan penyaluran BBM (baca: SPBUN) hanya ada di 388 titik, itu pun tidak semua berfungsi sebagaimana mestinya.
Akibatnya, nelayan harus membeli BBM secara eceran dengan harga tinggi. Bahkan, di sejumlah daerah, nelayan membayar 30-50 persen lebih mahal dari harga ketetapan pemerintah. Keterbatasan infrastruktur telah menyebabkan tingginya beban biaya produksi nelayan dan sekaligus melemahkan daya saing produk perikanan nasional di pasar dunia.
Solusi
Ikhtiar kebangsaan untuk menaikkan kontribusi ekonomi biru terhadap PDB Indonesia membutuhkan perbaikan dalam hal inklusivitas dan tata kelola sumber daya kelautan. Perbaikan terhadap keduanya mensyaratkan partisipasi publik lebih luas (lagi) dalam proses perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan.
Penelitian bersama Laboratorium Indonesia 2045 dengan SDGs Center Undip dan PKSPL IPB (2022) telah berhasil memetakan sektor prioritas ekonomi biru dengan mempertimbangkan tiga faktor pemungkin (enabling factor) yang berlaku di Tanah Air, masing-masing: ketersediaan investasi, teknologi dan inovasi, serta sumber daya. Pada fase paling awal, hingga 2024, Indonesia disarankan untuk berfokus pada dua sektor saja, yaitu perikanan dan wisata bahari. Kunci keberhasilannya ada pada penguatan ekosistem hulu-hilir usaha perikanan rakyat dan pelibatan lebih banyak lagi masyarakat lokal dalam pengembangan wisata alam.
Sementara untuk fase menengah, yakni periode 2024 hingga 2029, selain menjaga keberlanjutan pemanfaatan kedua sektor ekonomi sebelumnya (perikanan dan wisata bahari), Indonesia juga sudah harus mulai berinvestasi mempersiapkan sektor masa depan yang sedang berkembang (emerging future sector): mulai dari energi terbarukan, perkapalan, kepelabuhanan, logistik dan rantai dingin hingga desalinasi air dan kimia berbasis laut. Puncaknya, pada rentang 2029 hingga 2045 atau menuju 100 tahun Indonesia merdeka—seluruh potensi ekonomi biru nasional sudah dapat digerakkan secara mapan, inklusif dan berkelanjutan.
Pada fase lanjutan ini, akselerasi potensi ekonomi biru diharapkan sudah berada pada titik ideal antara pertumbuhan ekonomi dan keberlangsungan ekologi. Syaratnya, prioritas sektor ekonomi biru di tiap-tiap fase harus diikuti dengan penyesuaian fokus anggaran dan postur kelembagaan. Maka, keberhasilan mengakselerasi ekonomi biru telah menjadi solusi menghadapi tantangan ekonomi di 2023 dan (sekaligus) mengantarkan Indonesia Emas 2045.
M Riza Damanik, Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia; Senior Fellow Laboratorium Indonesia 2045