Masuknya perusahaan berkapasitas besar di daerah surplus dan fenomena pengaplingan petani menjadi tantangan sendiri bagi Bulog untuk bisa mempertahankan tugas sebagai jangkar kestabilan harga beras.
Oleh
CATUR SUGIYANTO
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Tak bisa dimungkiri, selama tiga tahun terakhir, Bulog mencapai kinerja gemilang: tak mengimpor beras. Namun, tiga tahun itu, surplus turun dari 4,37 juta ton (2018) menjadi 1,31 juta ton (2021).
Serapan Bulog untuk cadangan di dalam negeri juga rendah, turun dari rata-rata 800.000 ton menjadi hanya sekitar 500.000 ton di semester I-2022. Kondisi ini berlanjut dengan rendahnya cadangan beras pemerintah (CBP) yang jauh dari ideal di akhir 2022 sehingga menimbulkan spekulasi kenaikan harga. Akhirnya, 2022 ditutup dengan keputusan pemerintah mengimpor beras 500.000 ton.
Berbagai tanggapan muncul terhadap fenomena ini, salah satunya mengenai tata kelola cadangan beras. Hal ini mengingat hal mendasar pasar beras di dalam negeri adalah pola surplus/panen yang ajek: Februari-Maret panen raya dilanjut dengan Juni-September. Sementara di enam bulan yang lain terjadi defisit beras.
Demikian pula tidak terjadi perubahan: provinsi surplus dan defisit. Oleh karena itu, dipertanyakan kemampuan pemerintah/Bulog dalam pengelolaan cadangan untuk kestabilan harga beras nasional ke depannya.
Lahan pertanian padi di Indonesia tersebar di hampir seluruh pulau dengan kepemilikan petani dalam satuan kecil atau bahkan petani gurem.
Pada 1970-an pemerintah menginisiasi KUD/BUUD untuk efisiensi pemasaran padi/ beras dan membantu mengelola cadangan beras menghadapi fluktuasi panen raya dan defisit. Petani dipersatukan dalam kelompok tani dan disimpul dalam KUD-KUD. Namun, sayang, integrasi petani ke dalam KUD semakin langka, kalau tak mau dikatakan ambyar. Peran para penebas dan penggilingan padi individual menjadi dominan. Melalui mereka inilah Bulog bisa memperoleh cadangannya.
Dalam rantai pasok produk pertanian yang lain, seperti kelapa sawit, jagung, ayam pedaging, tembakau, susu, bahkan kopi, integrasi petani dengan perusahaan pengolah sudah jadi fenomena umum. Contohnya, pemerintah mengembangkan sistem Perusahaan Inti-Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) untuk mengintegrasikan pekebun dengan perusahaan sebagai inti.
Selain itu, terjadi pula integrasi antara peternak ayam pedaging dan perusahaan sarana produksi ternak, antara petani tembakau dan pabrik rokok, petani jagung dan perusahaan sarana produksi jagung, serta petani kopi dengan para eksportir dan buyer kopi dari luar negeri.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Calon pembeli memilih beras di pasar induk beras Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (15/12/2022). Beras menjadi salah satu komoditas pangan yang mengalami gejolak harga selain kedelai, telur, dan daging ayam.
Jaminan pasokan dari petani meningkatkan efisiensi perolehan bahan baku produk untuk proses selanjutnya. Di pasar desa (farm gate market) atau di hulu komoditas pertanian ini, hampir tak terjadi pasar bebas.
Petani tembakau Lombok atau Temanggung, misalnya, tak bisa menjual hasilnya ke sembarang pengumpul karena tembakaunya “milik perusahaan rokok tertentu“. Demikian pula petani sawit, peternak ayam pedaging, petani jagung di daerah Purwodadi, dan peternak sapi perah di Pacitan. Bahkan, peternak kalau sampai menjual ayam ke pihak luar bisa diputus hubungannya dengan perusahaan sarana produksi ternak dan sulit mencari integrator yang lain.
Petani yang menjual tembakau ke pedagang pengumpul, meski semula dijanjikan harga bagus, realisasinya harga yang diterima jatuh dan sulit kembali ke perusahaan rokok semula. Peribahasa sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya berlaku di sistem integrasi komoditas ini. Reputasi menjadi kunci langgengnya kerja sama.
Persaingan ketat
Fenomena integrasi komoditas pertanian ini tampaknya sedang tumbuh dan menggejala untuk padi. Perusahaan penggilingan padi di Batu Betumpang, Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, yang memiliki kapasitas mesin 8 ton per jam, misalnya, perlu dukungan tak kurang dari 300 petani dengan lahan rata-rata 2 hektar supaya mesin beroperasi penuh sepanjang tahun.
Banyak perusahaan penggilingan padi kapasitas besar harus bekerja sama dengan petani, bahkan kelompok tani dengan hamparan luas, untuk menjamin pasokan gabah. Perusahaan dengan kapasitas giling besar, seperti Wilmar (20-30 ton per jam), perlu kerja sama dengan kumpulan petani hingga 4.000 hektar dari sejumlah daerah.
Banyak perusahaan penggilingan padi kapasitas besar harus bekerja sama dengan petani, bahkan kelompok tani dengan hamparan luas, untuk menjamin pasokan gabah.
Contoh lain, gabungan CV Sumber Pangan, PT Surya Pangan Semesta, dan CV Surya Inti Pangan mampu menghasilkan 700-800 ton beras per hari, pastinya memerlukan petani-petani yang bisa diandalkan untuk memasok gabah ke penggilingan mereka. Petani di Subang, Jawa Barat; Kediri dan Ngawi di Jawa Timur; serta Sidenreng Rappang di Sulawesi Selatan sudah terkapling-kapling terintegrasi dengan berbagai perusahaan penggilingan besar.
Stok beras Bulog ada di seluruh provinsi. Mengingat tak semua provinsi daerah surplus, selain problem bagaimana menyerap hasil gabah petani, terutama di daerah surplus, Bulog juga menghadapi masalah distribusi gabah ke seluruh gudangnya. Ke depan, persaingan untuk memperoleh gabah dari petani akan semakin ketat.
Masuknya perusahaan berkapasitas besar di daerah surplus dan fenomena pengaplingan petani menjadi tantangan sendiri bagi Bulog untuk bisa mempertahankan tugas sebagai jangkar kestabilan harga beras.
Catur Sugiyanto, Dosen dan Ketua Program Studi S-3 Ilmu Ekonomi FEB UGM