“Green Defense” untuk Kedaulatan Negara
Sudah saatnya Kementerian Pertahanan mempercepat implementasi microgrid untuk mendukung kehadiran pangkalan-pangkalan militer terutama di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar.
Di sebuah desa di Jawa Timur, pagi itu seorang petani memandang langit dengan harap-harap cemas. Dalam beberapa tahun terakhir, kalendar jawa “pranata mangsa” yang merupakan kearifan lokal dan secara turun-temurun digunakan untuk menentukan musim tanam tidak lagi sepenuhnya akurat.
Sebagai orang awam, dia tidak paham mengapa hal itu bisa demikian, Dia hanya diberitahu oleh seorang penyuluh pertanian bahwa hal itu terjadi karena fenomena pemanasan global.
Kesepakatan Paris yang diprakarsai PBB bertujuan untuk menanggulangi pemanasan global dan menghentikan kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius dibandingkan masa pra-revolusi industri.
Jika kenaikan suhu bumi linier seperti saat ini, dan tanpa ada upaya untuk menghambatnya, seperempat abad ke depan diperkirakan 10 persen spesies hewan dan tumbuhan akan musnah. Bahkan, dalam lima abad ke depan umat manusia diperkirakan akan punah.
Emisi karbon seperti CO2 yang banyak dihasilkan dari penggunaan bahan bakar berbasis fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara ditengarai menyebabkan efek gas rumah kaca yang memicu pemanasan global tersebut.
Militer yang memiliki misi khusus untuk mempertahankan kedaulatan negara atau memenangkan perang, membutuhkan energi fosil besar dan berkualitas tinggi agar memperoleh superioritas strategi dan peralatan perangnya.
Pada perang dunia kedua, militer Amerika mengkonsumsi rata-rata satu galon bahan bakar per prajurit per hari. Pada perang Teluk tahun 1990-1991, militer Amerika mengkonsumsi empat galon bahan bakar per prajurit per hari. Sedangkan pada operasi militer di Afganistan dan Irak pada 2006, militer Amerika mengonsumsi enam belas galon bahan bakar per prajurit per hari. Walaupun belum ada laporan resmi, konsumsi bahan bakar pada perang antara Rusia dan Ukraina diyakini lebih besar lagi.
Kebutuhan bahan bakar fosil yang semakin besar pada era perang modern menimbulkan keprihatinan masyarakat internasional.
Kebutuhan bahan bakar fosil yang semakin besar pada era perang modern menimbulkan keprihatinan masyarakat internasional. Militer pun diimbau memikirkan cara untuk ikut berpartisipasi mengurangi emisi karbon. Menjawab tuntutan tersebut, para ahli militer menawarkan konsep pertahanan hijau (green defense) untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan.
Kekuatan militer untuk menggerakkan armadanya saat ini masih bertumpu pada bahan bakar berbasis fosil. Hanya beberapa kapal induk dan kapal selam milik negara-negara besar yang sudah menggunakan energi nuklir.
Sementara kita masih harus menunggu pengembangan teknologi militer yang memanfaatkan energi bebasis non fosil, penggunaaan energi terbarukan untuk pangkalan militer menjadi opsi yang sangat mungkin.
Karakteristik sumber daya energi terbarukan seperti surya, angin, air, biomasa dan sejenisnya yang bersifat lokal dianggap cocok memenuhi kebutuhan listrik untuk mendukung kegiatan pangkalan militer. Selain ramah lingkungan, pengoperasian peralatan kritis seperti radar dan telekomunikasi menjadi lebih handal dilakukan oleh sebuah pangkalan militer.
Pada masa perang, ketergantungan pasokan listrik pada grid nasional yang rentan terhadap sasaran musuh untuk dilumpuhkan dapat menyebabkan kegiatan pangkalan militer tidak dapat bekerja maksimal. Berbagai potensi sumber daya energi terbarukan di sekitar pangkalan militer lalu diidentifikasi, dibangkitkan, dan diintegrasikan dalam jaringan listrik mikro yang disebut microgrid.
Militer Amerika mentargetkan akan membangun microgrid militer pada 130 pangkalan militernya di seluruh dunia pada tahun 2035. Microgrid itu mengkombinasikan pembangkit dari energi terbarukan dan genset. Sesuai target net zero emission (NZE), pada tahun 2050, seluruh microgrid militer sudah bebas dari pembangkit yang menghasilkan emisi CO2 (carbon free).
Pembangunan microgrid untuk pangkalan militer di Indonesia memiliki masa depan yang menjanjikan. Sebagai negara Kepulauan yang terdiri 17.000 pulau, memiliki 3 perbatasan darat dan 10 perbatasan laut dengan negara tetangga, kehadiran pangkalan militer di daerah-daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar diperlukan untuk menjaga kedaulatan wilayah negara.
Masalah yang dihadapi pada daerah-daerah tersebut adalah pasokan listrik dari grid Nasional (PLN) yang belum tentu tersedia, sehingga pangkalan militer harus mengupayakan sendiri pasokan listriknya dengan genset. Bahan bakar untuk genset dipasok dari luar daerah yang tidak selalu lancar pengirimannya karena lokasi yang jauh dari depo bahan bakar dan faktor cuaca.
Pada beberapa lokasi, prajurit harus berjibaku menerjang ombak untuk meraih galon-galon bahan bakar yang dilemparkan begitu saja ke pinggiran pantai karena ketiadaan dermaga bagi kapal pemasok untuk merapat. Kondisi akan menjadi lebih parah jika cuaca sedang tidak mendukung bagi kapal pemasok bahan bakar untuk beroperasi yang mengakibatkan tidak adanya pasokan bahan bakar untuk genset yang berarti tidak ada listrik sama sekali.
Tanpa pasokan listrik, payung radar dan telekomunikasi yang harus mencakup seluruh wilayah Indonesia berpotensi mengalami ruang kosong (blank spot) yang rawan terhadap ancaman penyelundupan, pencurian ikan secara ilegal, perdagangan manusia maupun penyusupan musuh.
Teknologi microgrid yang dapat mengintegrasikan pembangkit listrik dari berbagai sumber daya energi terbarukan di sekitar pangkalan militer (distributed generation), mampu beroperasi secara mandiri (island mode), dan merupakan jaringan listrik pintar sehingga cocok untuk mendukung kehadiran pangkalan-pangkalan militer di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar beroperasi mandiri.
Pembangunan microgrid skala kecil pada markas komando pasukan marinir (Mako Pasmar) 3 Sorong, menggunakan energi surya sebagai pembangkit listrik sebagai percontohan bagi pangkalan-pangkalan militer yang lain.
Dari total 6.000 pulau Indonesia yang dihuni ternyata 2.000 pulau belum teraliri listrik dan umumnya di daerah perbatasan dan pulau terluar. Kehadiran pangkalan militer dengan teknologi microgrid untuk kemandirian energi di daerah yang belum teraliri listrik ini akan menguntungkan bagi banyak pihak.
Pertama, militer dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik dalam menjaga kedaulatan negara sekaligus menjawab tuntutan untuk berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon.
Kedua, kehadiran pangkalan militer ini dapat menjadi berkah bagi masyarakat sekitar. Kelebihan kapasitas pasokan listrik yang tidak atau belum termanfaatkan oleh pangkalan militer dapat disalurkan kepada masyarakat sebagai stimulus untuk mulai beradaptasi dengan kehidupan berbasis listrik seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, dan pemanfaatan peralatan-peralatan berbasis listrik untuk menggerakkan ekonominya.
Kehadiran pangkalan militer ini dapat menjadi berkah bagi masyarakat sekitar.
Hal yang lebih penting lagi bagi negara adalah dapat menghilangkan tergerusnya rasa nasionalisme masyarakat di wilayah perbatasan yang merasa kurang mendapat perhatian. Apalagi, jika wilayah negara tetangga yang berbatasan terang benderang dan hiruk pikuk dengan kehidupan berbasis listrik.
Ketiga, adaptasi masyarakat sekitar pangkalan militer dengan kehidupan berbasis listrik ini secara perlahan akan mendorong tumbuhnya kebutuhan listrik (demand side) yang pada saatnya dapat memberikan insentif ekonomi yang menarik bagi penyedia listrik seperti PLN maupun investor (supply side) untuk membangun pembangkit listrik di daerah tersebut.
Sudah saatnya Kementerian Pertahanan mempercepat implementasi microgrid untuk mendukung kehadiran pangkalan-pangkalan militer terutama di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar demi kedaulatan negara Indonesia.
Imam Supriyadi adalah dosen Universitas Pertahanan, Sekjen Forum Komunikasi Industri Pertahanan, dan Anggota Indonesia Strategic Management Society
Email: Imamsup@gmail.com