
Program Merdeka Belajar diyakini menjadi terobosan dalam transformasi pendidikan. Tujuannya untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
Namun, sejak diluncurkan pada 2019, program Merdeka Belajar terus menuai polemik, mulai dari proses penyusunannya yang dinilai kurang melibatkan para pemangku kepentingan pendidikan hingga pelaksanaannya yang dinilai bias kelas. Hasil evaluasi dua tahun pelaksanaan program ini juga dikritisi karena masih menitikberatkan pada pencapaian kuantitatif dan belum mengevaluasi dampak program secara mendalam (Kompas, 16/1/2023).
Baca juga: Evaluasi Program Merdeka Belajar Masih Menekankan Pencapaian Kuantitatif
Jika menilik tujuan program Merdeka Belajar, dampak program ini selama dua tahun pelaksanaannya diharapkan mengarah kepada peningkatan kualitas pembelajaran. Apakah metode pembelajaran sudah berubah/meningkat dari semula berpusat kepada guru menjadi berpusat kepada siswa sebagaimana roh Kurikulum Merdeka? Sejauh mana langkah guru dan sekolah melakukan perubahan untuk pembelajaran yang lebih berkualitas?
Masyarakat menunggu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari hasil dua tahun pelaksanaan program Merdeka Belajar karena program ini ”menjanjikan” praktik pendidikan yang lebih berkualitas. Paling tidak dampak program tersebut secara mendalam di sekolah penggerak yang memang dipersiapkan dan didukung untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Dampak nyata kualitas pendidikan meningkat tentu belum bisa diukur dalam waktu singkat ini karena pendidikan merupakan proses jangka panjang.

Hingga Juli 2022, berdasarkan data Kemendikbudristek, ada sekitar 143.000 lembaga pendidikan di 34 provinsi yang menerapkan Kurikulum Merdeka, belum ada separuh total jumlah sekolah di Indonesia yang sekitar 394.000. Dari 143.000 sekolah tersebut, kurang dari 3.000 yang berstatus sekolah penggerak. Adapun jumlah guru penggerak yang menjadi kunci implementasi Kurikulum Merdeka baru sekitar 147.000—berdasarkan data guru yang mengikuti pelatihan calon guru penggerak—masih sangat sedikit dibandingkan total jumlah guru yang sekitar 3,3 juta orang.
Memberi kesempatan yang sama bagi guru dan sekolah, berarti juga memberi kesempatan sama kepada semua siswa untuk menikmati pembelajaran yang berkualitas.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dari hasil evaluasi dua tahun pelaksanaan program Merdeka Belajar yang hingga kini telah mencapai 22 episode, masih perlu upaya lebih keras untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Memberi kesempatan yang sama bagi guru dan sekolah, berarti juga memberi kesempatan sama kepada semua siswa untuk menikmati pembelajaran yang berkualitas, menjadi pekerjaan rumah terbesar program ini.

Keberadaan guru dan sekolah penggerak yang memang mendapat perhatian khusus pemerintah untuk melaksanakan program ini jangan sampai justru melestarikan adagium bahwa sekolah berperan dalam memproduksi kesenjangan sosial. Karena itu, perlu juga ada evaluasi apakah para guru penggerak sudah bisa menjadi agen perubahan bagi lingkungan pendidikan di sekitarnya, bukan hanya di sekolah-sekolah di mana mereka berada.
Baca juga: ”Dunia Persilatan” Merdeka Belajar
Selanjutnya, kepedulian pemerintah kepada daerah-daerah tertinggal dengan membangun infrastruktur, terutama listrik dan akses internet, akan memberikan kesempatan yang sama kepada para siswa di sana untuk mengalami transformasi pendidikan.