Saya tergelitik membaca tulisan Adnan Topan Husodo di harian Kompas (Rabu, 28/12/2022) dengan judul ”Setengah Hati Mencegah Korupsi”. Kenyataannya memang demikianlah kondisi di negeri ini.
Adnan mengutip rapor pemberantasan korupsi yang tecermin dalam skor Indeks Persepsi Korupsi, yang menunjukkan bahwa perkembangan Indonesia tidak terlalu menggembirakan. Lima tahun berturut-turut (2017-2021), nilai Indonesia hanya maju satu skor, dari 37 (2017) ke 38 (2021). Bahkan, kita gagal mengamankan momentum kemajuan saat Indonesia meraih skor 40 pada 2019 karena limbung kembali ke level 37 pada 2020.
Saya bukan makhluk pesimistis, tetapi miris juga menyikapi kondisi negeri ini dengan fakta bahwa korupsi masih terjadi tanpa henti. Terlihat seakan upaya memberantas korupsi berlangsung setengah hati, sementara pelaku korupsi itu sepenuh hati.
Coba kita buka Kompas (Sabtu, 24/12/2022) tentang Catatan Politik dan Hukum Budiman Tanuredjo dengan judul ”Ibarat Memutar Kaset Lama”. Mengutip tesis Vishnu Juwono, dijelaskan bahwa salah satu sumber daya utama korupsi adalah eksistensi patronasi ekonomi berkelanjutan yang membantu tokoh konservatif melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang progresif.
Kalau kita mau introspeksi dan mawas diri dengan hati yang jernih, seharusnya kita malu dalam kancah bernegara secara internasional, karena korupsi di Indonesia selalu bersemi dan tidak pernah mati.
Harus dengan cara apa to memberantasnya? Pak Luhut berharap sisi pencegahan lebih dikedepankan untuk mencegah korupsi. Yakin? Bukankah kata-kata pencegahan ini sudah sampai ke tulang sumsum, tetapi hanya sebatas kata-kata dan terbukti tidak mujarab.
Cobalah buka Kompas (Selasa, 20/12/2022), di halaman 4 ada foto hakim yudisial mengenakan rompi tahanan menyusul dua hakim agung yang sudah berseragam rompi tahanan lebih dahulu.
Miris, masygul, dan menyesakkan dada. Apalagi ada tambahan angin tidak sedap dari Jawa Timur tentang dana hibah. Jabatan, kemakmuran, dan fasilitas dari negara tidak segaris dengan perilaku korupsi.
Semoga MA menepati janjinya untuk membuat pengawasan internal dengan sistem yang lebih canggih. Korupsi bukan kejahatan biasa. Kalau menangani korupsi dengan cara biasa saja, maka seperti kita bersiul di tengah hujan badai. Semoga tahun 2023 menjadi titik tekad kita bahwa korupsi akan berhenti.
Sri HandokoTugurejo, Semarang
Dua Kubu
Kori Kamandungan, Keraton di Solo, Jawa Tengah. Foto diambil Kamis *(19/9/2019).
”Dua Kubu yang Berseteru Kini Bersatu”, demikian judul berita dari Keraton Surakarta (Kompas, 5/1/2023).
Setelah bertahun-tahun konflik antarkerabat, dua kubu yang berseteru di Keraton Surakarta akhirnya memutuskan untuk bersatu. Mereka ingin memajukan keraton bersama- sama. Saya sebagai bagian dari masyarakat turut gembira mendengarnya. Tentunya, ini bisa membawa aura positif dari semesta.
Di sekolah, kita belajar politik pemecah belah (divide et impera) penjajah Belanda. Sampai sekarang pun masih kita temui di masyarakat, bahwa perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hanya menjadi bahan dan alat untuk menyebarkan kebencian, perpecahan, dan permusuhan antarwarga.
Dari sejarah kita tahu benar bagaimana Soekarno diperlakukan oleh Soeharto setelah kejatuhannya. Setelah Soeharto lengser pun, itu tak berubah. Perusak persatuan dan kedamaian bisa didaulat sebagai pemuka/pembimbing agama. Orang yang berani berkelahi didaulat sebagai pemimpin geng sekolah, geng motor. Orang yang lantang berdemo antipemerintah didaulat sebagai pemimpin mahasiswa.
Politik identitas kemudian muncul dan digunakan untuk memenangi pemilu. Pengaruhnya saat ini masih tergambarkan pada surat pembaca (Kompas, 5/1/2023) dari Pak Miduk Hutabarat tentang jalan provinsi di Sumatera Utara. Belum lagi kata-kata seperti ”Sikat, lawan, hancurkan” dan sebagainya, yang sepertinya sudah menjadi biasa di telinga angkatan muda. Juga korupsi dan penyuapan.
Saya berharap kita bisa mengevaluasi dan menjunjung tinggi filosofi budaya Jawa yang mengangkat kembali harkat dan martabat (atas kekalahan) pesaing kita.
Djoko Madurianto SunartoYogyakarta 55141