Teknologi Digital Jembatan Emas Pendidikan?
Digitalisasi pendidikan di Indonesia pada kenyataannya ditopang oleh keringat guru. Masih banyak yang harus dibenahi. Akses digital belum merata, teknologi digital juga tidak bisa mengembalikan pembelajaran yang hilang.
Pemanfaatan teknologi digital dianggap jembatan emas bagi berbagai kebijakan pendidikan nasional. Oleh sebab itu, dalam pertemuan Education Working Group (EDWG) G20, tuan rumah residensi Indonesia mengajukan pemanfaatan teknologi sebagai salah satu dari empat agenda dalam transformasi pendidikan secara global.
Pemerintah menunjukkan keberhasilan pemanfaatan teknologi digital di Indonesia dilihat dari sebaran massal penggunaannya. Misal, Platform Merdeka Mengajar (PMM) buatan tim bayangan Mendikbudristek Nadiem Makarim yang selalu dibanggakan telah diunduh oleh lebih dari 2 juta guru (Inspektorat, 2022). Padahal, jumlah pengunduh aplikasi tidak bisa menjadi jaminan bahwa sebuah platform telah sukses. Namun, jika kita ingin melihat dengan jelas kebermanfaatan teknologi dalam pendidikan, pandemi Covid-19 bisa jadi pelajaran.
Selama pandemi Covid-19, kebijakan belajar dari rumah (BDR) dalam konteks pembelajaran jarak jauh (PJJ) dilaksanakan dengan pemanfaatan teknologi digital, khususnya platform edukasi. Berbagai platform edukasi dari perusahaan teknologi edukasi (edtech) nasional dan global muncul seperti jamur. Namun, kemajuan tersebut tidak berbanding lurus dengan kondisi pembelajaran anak-anak kita. Survei Unicef menunjukkan, 69 persen anak Indonesia mengaku tidak nyaman belajar selama PJJ (Unicef, 2020). Hasilnya, learning loss dialami anak-anak selama pandemi Covid-19 (Mckinsey, 2021).
Baca juga: Kekuatan Teknologi Digital yang Membawa Perubahan Belajar
Nyata bahwa teknologi digital tidak bisa mengembalikan pembelajaran yang hilang. Sementara itu, survei Kemdikbud (kini Kemendikbudristek) terhadap guru selama PJJ menunjukkan bahwa 69 persen guru terkendala jaringan atau kuota dan 68 persen guru mengaku kesulitan memantau perkembangan anak (PSKP Kemdikbud, 2020). Selama tahun ajaran 2020/2021, meski terdapat bantuan kuota internet, sebanyak 57,6 persen guru masih menggunakan biaya pribadi (Kemdikbud, 2020).
Kebermanfaatan kosong
Sejak awal, pemanfaatan teknologi digital dalam pendidikan diterima begitu saja tanpa pertanyaan. Kondisi ini menyebabkan dua risiko. Pertama, asumsi bahwa setiap guru harus mengatasi ketertinggalan kemajuan teknologi (Selwiyn, 2011). Guru dituntut berada di garda depan dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi terbaru, tetapi soal akses, fasilitas, dan kesejahteraan para guru ditempatkan di belakang.
Dengan demikian, sudah jelas bahwa guru tidak akan mencapai target yang diharapkan. Bahkan, kebijakan digitalisasi sekolah tidak berdampak signifikan kepada para guru yang tinggal di daerah tertinggal. Faktanya mereka hidup dengan listrik dan sinyal yang minim.
Laporan guru di Kepulauan Riau, Sangihe, dan Kabupaten Berau misal, menyatakan bahwa Chromebook yang mereka terima tidak bisa dipakai (Data Internal P2G, 2022). Perangkat keras tersebut hanya berfungsi melalui sinyal internet (Chromebook) dan tidak bisa dipakai tanpa jaringan. Mempercepat digitalisasi tentu tidak sepenuhnya keliru, tetapi menganggap seluruh wilayah Indonesia dengan kondisi beragam bisa menerima kebijakan seragam adalah sebuah kesalahan fatal. Data dari survei belajar selama pandemi Covid-19 malah menunjukkan bahwa kebutuhan guru pada perangkat TIK di daerah tertinggal (17,4 persen) lebih kecil daripada daerah non-tertinggal (28,7 persen).
Ironi yang kita hadapi bahwa teknologi digital tidak serta-merta menyesuaikan diri dengan penggunanya (guru). Kenyataannya, dibutuhkan adaptasi, pelatihan, percobaan, dan penguasaan literasi digital untuk memakainya. Baik di daerah tertinggal maupun tidak, Survei Kemdikbud menunjukkan bahwa pelatihan TIK (13-17 persen) dianggap penting bagi guru selain kuota (39-43 persen), perangkat TIK (17-28 persen), dan dukungan orangtua (17-21 persen) (Kemdikbud, 2020).
Cakap digital dianggap setara dengan kecakapan pedagogik. Guru yang tidak paham pedagogik tertutupi oleh kemahiran mereka menggunakan berbagai aplikasi edukasi teranyar.
Namun, para guru yang sudah menguasai kompetensi digital mumpuni seringkali dianggap sebagai guru yang sukses dalam mengajar hanya karena mereka terampil menggunakan berbagai platform dan menciptakan konten digital dengan kreasi visual yang menarik. Akhirnya kecakapan dalam pengajaran dianggap sinonim dengan terampil menggunakan platform digital. Cakap digital dianggap setara dengan kecakapan pedagogik. Guru yang tidak paham pedagogik tertutupi oleh kemahiran mereka menggunakan berbagai aplikasi edukasi teranyar.
Siklus ini menyebabkan guru dan sekolah berkelana dari platform ke platform lainnya. Misal, Kemendikbudristek menuntut sekolah memakai berjubel platform, seperti PMM, RKAS, SIPlah, dan Tanya Bos (Mendikbudristek, 2022). Sementara itu, guru dalam pembelajaran dituntut terkoneksi dengan akun belajar.id untuk menerima semua paket layanan Google (Classroom, Calendar, Mail, Drive, spreadsheet, dan slide). Betapa panjangnya labirin sirkuit platform yang harus dilalui guru hanya untuk menjadi pengguna aplikasi dari kementerian.
Dalam pembelajaran kelas, kementerian juga bekerja sama dengan produk desain visual seperti Canva dengan program pelatihan yang terus-menerus. Kapasitas gadget atau laptop seadanya tentu tidak akan sanggup menampung itu semua dalam mendukung pembelajaran di kelas.
Jeruk makan jeruk
Jika melihat Indonesia secara luas, layanan semacam ini hanya bisa diterapkan secara efektif di kota-kota besar yang memiliki akses listrik dan sinyal yang baik. Belum sampai situ, kementerian gencar mendorong pelatihan virtual reality (VR), padahal sebagian besar guru tidak memakainya dan mungkin tidak tahu bagaimana cara kerja layanan digital tersebut. Kemajuan ini mendahului kapasitas guru.
Mudah mengatakan bahwa sebab utama persoalan ini karena kompetensi digital guru yang memprihatinkan. Namun, bagaimana jika penerapannya melompat-lompat dan secara tidak sadar telah menempatkan guru di belakang untuk mengejar target yang terus menjauh karena kebijakan itu sendiri selalu berubah-ubah? (Perhatikan bagaimana Kurikulum Merdeka telah berganti nama dua kali dalam dua tahun).
Baca juga: Transformasi Pendidikan Menjanjikan Guru yang Merdeka dan Otonom
Sirkulasi platform yang harus dipakai guru melampaui waktu mereka untuk memahami satu per satu platform yang harus dipakai. Dengan demikian, mereka menggunakan semua aplikasi sekaligus. Puncak keterampilan guru dari program semacam ini hanya sanggup menjadi user experience. Tekanan untuk terus menjadi pengguna tidak memberikan kesempatan bagi guru untuk memahami computational thinking (CT) yang jauh lebih penting sebagai pengetahuan dasar pelaku aktif digital.
Ini belum dihitung dengan sekolah yang secara mandiri telah memiliki learning management system (LMS). Karena tuntutan memakai aplikasi dari kementerian, beberapa sekolah akhirnya mengambil jalan tengah dengan memaksa guru menggunakan dua layanan sekaligus, baik dari kementerian maupun LMS mereka sendiri. Inilah kenyataan yang tidak pernah mau diakui kementerian, yang dengan bangga menyebut platform-platform mereka sebagai solusi manajemen pendidikan secara nasional. Sulit menyadarkan pemangku kebijakan bahwa inovasi yang mereka banggakan adalah jenis beban kerja yang semakin memberatkan guru.
Kedua, peningkatan penggunaan teknologi digital dalam pendidikan berkaitan dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja dalam ekonomi pengetahuan. Sebagian besar pekerjaan tersebut berpusat kepada pemrosesan informasi. Keterampilan yang meningkat pada pelajar terbatas pada seberapa banyak pengalaman mereka menggunakan platform terbaru yang memproses informasi.
Tekanan untuk terus menjadi pengguna tidak memberikan kesempatan bagi guru untuk memahami computational thinking yang jauh lebih penting sebagai pengetahuan dasar pelaku aktif digital.
Sementara itu, pelajar kita hanya terampil sebagai tukang comot informasi. Padahal, praktik mencari informasi di internet memiliki konsekuensi neurologis. Nicholas Carr menyebutnya sebagai konsumen data tanpa otak (Carr, 2011: 125). Salah satu indikasinya yaitu keluhan para guru bahwa anak-anak yang mereka ajar hari ini lebih sering kesulitan berkonsentrasi.
Meski demikian, sekolah sering kali tidak kritis melihat persoalan ini. Solusi yang ditawarkan, bukan mengevaluasi dan mengkritisi penggunaan teknologi digital, melainkan dengan logika anggaran, sekolah lebih memilih memperbarui (upgrade) aplikasi digital. Hal ini membuat sekolah (selalu) merasa perlu secara terus-menerus memperkenalkan layanan platform terbaru kepada pelajar paling muda sekalipun.
Cara berpikir sekolah ini mirip juga dengan regulasi dinas pendidikan dan Kemendikbudristek. Karena pendidikan diasumsikan harus terus mengejar perkembangan terbaru teknologi digital sedini mungkin, sementara guru yang tenaganya dipakai untuk mengejar perkembangan teknologi digital—yang disebut Selwyn—sengaja ditempatkan agar selalu tertinggal di belakang (2011).
Komitmen digital
Digitalisasi pendidikan di Indonesia pada kenyataannya ditopang oleh keringat guru. Sebagai contoh, penyelenggaraan Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 membuat guru-guru di daerah miskin sinyal harus berjuang berjalan puluhan kilometer dan menaiki pepohonan hanya untuk memastikan komputer atau laptop yang mereka pakai untuk AN mendapatkan sinyal. Sebegitu pentingnya akses internet dalam AN tercantum dalam Permendikbudristek No 17/2021 Pasal 5 Ayat 5 bahwa pelaksanaan AN harus memiliki akses jaringan internet.
Untuk mengatasi masalah tersebut, ada lima alternatif solusi yang perlu dipertimbangkan. Pertama, Kemendikbudristek harus mulai merampingkan aplikasi yang mereka ciptakan sehingga mengurangi beban administrasi. Jika sebaliknya, apa fungsi platform tersebut?
Baca juga: Digitalisasi dan Pemerataan Pendidikan
Kedua, Kemendikbudristek perlu mempersiapkan data center alternatif bagi pendidikan sehingga tidak bergantung kepada perusahaan teknologi tertentu. Pengumuman bahwa layanan ruang penyimpanan awan bagi guru dari kementerian (Google Drive aka belajar.id) dikurangi per 2023 menjadi tanda betapa pentingnya menyusun strategi data yang mandiri.
Ketiga, kementerian perlu memperhatikan dan segera memperbaiki masukan dari pengguna platform seperti guru, sekolah, dan dinas pendidikan. Keempat, berikan porsi kebijakan alternatif bagi daerah tertinggal dan nirkoneksi internet. Misal, bagi daerah-daerah tersebut, pemakaian platform berbasiskan internet tidak wajib. Bisa dengan dua cara, pertama mengubah platform agar bisa dipakai secara terputus sinyal (offline) kemudian akan memperbarui data ketika terhubung kembali. Dengan cara ini, para pengguna (guru dan sekolah) tidak perlu terhubung setiap waktu.
Kedua, mempersiapkan intranet di setiap sekolah terpencil. Misal dalam AN, sekolah terpencil tidak diwajibkan untuk terhubung dengan internet. Pelaksanaan AN bisa dilakukan secara terputus, menggunakan sistem kemananan berbeda. Mungkin dengan solusi tersebut, jembatan emas yang dimaksud bisa diwujudkan!
Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)