Kolaborasi, Bukan Kompetisi antara Laki-laki dan Perempuan
Sudah bukan saatnya mempertentangkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Sekarang adalah waktunya bagi perempuan dan laki-laki berkolaborasi untuk menciptakan kesetaraan jender yang akan menguntungkan keduanya.
Oleh
MAYA JUWITA
·5 menit baca
Kesetaraan jender masih sering dianggap ”hanya” sebagai isu perempuan. Bahkan setelah beberapa dekade upaya kemajuan untuk menjadikan perempuan mitra yang setara dengan laki-laki dalam ekonomi dan masyarakat oleh berbagai pihak, kesenjangan di antara laki-laki dan perempuan tetap besar, khususnya di tempat kerja yang tidak banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
Terlihat dari angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Agustus, 2021 di mana tenaga kerja laki-laki sebanyak 82,27 persen sedangkan tenaga kerja perempuan sebanyak 53,34 persen. Di bulan yang sama pada 2019, tenaga kerja laki-laki sebanyak 83,25 persen dan tenaga kerja perempuan sebanyak 51,81 persen. Angka ini merupakan cerminan dari budaya patriarki di Indonesia yang masih mengakar dan mengidentifikasi pekerjaan di ruang domestik melekat pada peran perempuan.
Hasil penelitian yang dilakukan Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) bahwa organisasi dengan keragaman jender yang lebih besar cenderung memiliki keuntungan yang lebih tinggi, serta menarik dan mempertahankan bakat terbaik. Penelitian terhadap 416 perusahaan nasional dan internasional di Indonesia pada 2020 menunjukkan bahwa 66 perusahaan terbukti mengalami peningkatan kinerja pegawai, produktivitas, hingga kreativitas dan inovasi. Selain itu, data juga mengungkap sebanyak 32 persen perusahaan mengalami peningkatan profit 5-10 persen, bahkan 18 persen perusahaan mengalami kenaikan keuntungan sekitar 15-20 persen.
Terlepas dari hasil riset tersebut, kenyataannya masih banyak laki-laki yang memiliki bias dan stereotip terhadap perempuan, serta anggapan bahwa perempuan kurang mampu untuk menjalankan tugas-tugas tertentu, lebih lagi untuk menjadi pemimpin.
Padahal, untuk membuat kemajuan menuju kesetaraan jender di tempat kerja, laki-laki perlu untuk terlibat. Tetapi bias zero-sum (bias di mana semua tentang kompetisi) sering menghalangi laki-laki untuk terlibat dalam percakapan (apalagi mengambil tindakan) karena memicu keyakinan bahwa laki-laki harus mengorbankan sumber daya atau diri mereka bagi perempuan untuk mendapatkan tempat atau posisi. Meskipun pemikiran zero-sum tidak valid oleh data, hal itu mempengaruhi narasi kesetaraan tempat kerja.
Isu laki-laki
Kesetaraan jender juga merupakan isu laki-laki karena budaya patriarki juga merugikan mereka. Budaya maskulinitas tradisional kerap identik dengan ketabahan, daya saing, dominasi, dan agresi yang secara keseluruhan berbahaya. Karena mayoritas cara laki-laki dibesarkan untuk menjadi mandiri dan mampu menjaga diri mereka sendiri sehingga memendam perasaan yang menandakan segala sesuatunya tidak baik-baik saja.
Laki-laki yang menyimpan sesuatu dalam diri mereka melihat bahwa tidak ada orang lain yang berbagi tentang konflik apa pun yang mereka rasakan. Itu membuat mereka merasa terisolasi. Mereka merasa sendirian. Merasa lemah. Mereka merasa tidak baik-baik saja. Mereka tidak menyadari bahwa ada laki-laki lain yang juga memendam pikiran, emosi, dan konflik pribadi.
Kesetaraan jender juga merupakan isu laki-laki karena budaya patriarki juga merugikan mereka. Budaya maskulinitas tradisional kerap identik dengan ketabahan, daya saing, dominasi, dan agresi yang secara keseluruhan berbahaya.
Perilaku ini bisa mengarah pada depresi hingga mengakhiri hidupnya sendiri. Secara global, tingkat bunuh diri pada laki-laki lebih dari dua kali lipat daripada perempuan. Menurut data Global Health Data Exchange, tahun 2017 tingkat bunuh diri secara global untuk perempuan adalah 6,3 kematian per 100.000 dan untuk laki-laki lebih dari dua kali lipat angka itu, yaitu di 13,9 kematian per 100.000. Sementara tingkat bunuh diri di Indonesia, laki-laki sebesar 4,73 kematian dan perempuan sebanyak 1,55 kematian per 100.000.
Intinya adalah memahami bahwa laki-laki mungkin mengalami tekanan luar biasa untuk memenuhi aturan-aturan seputar maskulinitas yang telah mereka pelajari dalam konteks budaya mereka sendiri.
Mengubah paradigma
Kesetaraan jender dapat dicapai dengan mengubah paradigma atau pola pikir laki-laki untuk berbagi ruang kepada perempuan dan bersama-sama menjadi subyek dalam kemajuan perusahaan. Dalam konteks budaya patriarki, membincang kesetaraan jender di komunitas laki-laki menjadi tantangan. Hal ini disebabkan oleh program kesetaraan jender yang selama bertahun-tahun menyasar hanya kepada kelompok perempuan, dan sangat sedikit program yang menyasar laki-laki.
Dengan kesetaraan jender, laki-laki memiliki lebih banyak kebebasan tentang bagaimana mereka mengekspresikan diri serta tidak menghadapi banyak tekanan untuk menyesuaikan diri dengan stereotip yang ada. Ini meluas ke bidang karier, juga, karena tidak ada pekerjaan yang dianggap ”hanya untuk perempuan atau hanya untuk laki-laki”. Laki-laki juga memperoleh cuti orangtua dan waktu keluarga tanpa diskriminasi. Peningkatan kebebasan berekspresi dan pilihan kerja fleksibel yang menuntun pada kenyamanan bekerja.
Karena itu, pelibatan laki-laki dalam program kesetaraan jender menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Termasuk di setiap tingkat organisasi dengan memanfaatkan berbagai ruang untuk mendiskusikan seputar kebijakan keragaman dan inklusi yang bertujuan untuk menutup kesenjangan jender. Mendorong laki-laki untuk menjadi bagian dari percakapan tersebut membantu mereka memahami manfaat dan peluang melakukannya.
Dalam konteks perusahaan, organisasi bisa membentuk inisiatif diskusi tersebut yang hanya terdiri dari laki-laki saja agar mereka bebas menyuarakan pendapat mereka dan bisa juga mendapatkan sedikit pencerahan tentang apa sebenarnya kesetaraan jender di tempat kerja. Hal ini untuk memberikan ruang bagi laki-laki untuk berefleksi atas privilese mereka di masyarakat patriarki.
Tentu saja, perubahan ini akan lebih efektif apabila datang dari puncak organisasi. Pemimpin perusahaan bisa mengubah budaya perusahaan menjadi lebih inklusif melalui kebijakan serta program-program kesetaraan jender di tempat kerja. Salah satu contoh adalah pemimpin laki-laki yang menjadi sponsor bagi salah satu bawahan perempuan terbaik di perusahaan. Program sponsorship sudah dilakukan di beberapa perusahaan di Indonesia dan dapat menjadi jalan pembuka bagi talent perempuan di perusahaan serta menjadi langkah penting bagi kesetaraan jender di tempat kerja.
Hakikat dari kesetaraan jender adalah memastikan perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan akses dan partisipasi yang sama. Dalam upaya mewujudkan kesetaraan jender, laki-laki memiliki peran untuk berbagi ruang serta mendukung perempuan untuk berkembang dan meraih kesempatan yang seluas-luasnya. Sudah bukan saatnya mempertentangkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan, sekarang adalah waktunya bagi perempuan dan laki-laki berkolaborasi untuk menciptakan kesetaraan jender yang akan menguntungkan keduanya.
Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Policy Manager WiBAC B20 Indonesia