Komoditas wisata kekinian itu adalah gedung-gedung tinggi di pusat kota. Trotoar cantik sampai halte raksasa disiapkan untuk menikmatinya. Tren ini diharap tak kebablasan dan mengorbankan jejak historis kota.
Oleh
NELI TRIANA
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Neli Triana, wartawan Kompas
Komoditas wisata kekinian itu adalah gedung-gedung jangkung di pusat kota. Trotoar cantik, jembatan penyeberangan orang yang estetik, tempat bersantap di antara bangunan tinggi, sampai halte raksasa disiapkan untuk menikmatinya. Ada juga bus tingkat untuk keliling berwisata di sana. Di balik itu, ada perjuangan demi mencapai keadilan publik akan ruang terbuka dan menjaga lanskap historis kota agar tidak dikorbankan.
Jantung Jakarta yang kian tertata menarik dalam beberapa tahun terakhir berhasil menggaet wisatawan dadakan. Kehebohan Citayam Fashion Week tahun lalu bagian dari ledakan pesona pusat Ibu Kota yang berganti rupa, lebih ramah terhadap siapa pun karena mudah dan murah diakses dengan angkutan umum.
Daya tarik itu membangkitkan potensi ekonomi dan menggaet siapa pun yang jeli memanfaatkan pasar tersebut. Hadirnya videotron iklan tiga dimensi (3D) di kawasan poros utama itu hanyalah contoh kecil. Terbukti, iklan 3D itu sekaligus menjadi tambahan magnet yang menarik orang datang dan melihatnya.
Selain itu, dulu hanya restoran di atap atau puncak tertinggi gedung yang terkenal mewah dan menawarkan pemandangan khas dari ketinggian. Berkebalikan dengan reputasi restoran rooftop, tempat makan di antara gedung tinggi, termasuk di belakang perkantoran, dikenal dengan istilah ”amigos” atau agak minggir got sedikit alias warung-warung tenda yang jauh dari jaminan estetis apalagi higienis.
Kawasan Chillax di Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (8/1/2023).
KOMPAS/NELI TRIANA
Lorong utama di Chillax, Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (8/1/2023).
Sekarang dominasi amigos mulai diguncang. Telah hadir tempat makan di antara gedung-gedung tinggi yang memenuhi hasrat bersantap sembari memuaskan diri menatap dinding kaca bangunan pencakar langit yang berkilauan. Chillax di Jalan Sudirman, salah satunya. Menawarkan beragam menu dari banyak gerai dengan kebersihan dan penataan layaknya di mal ditambah ruang terbuka, tempat baru itu dengan cepat meraih popularitas.
Sebelum Chillax, Sarinah lebih dulu hadir menggebrak dan membuat publik terpikat atas hasil revitalisasi yang mengubah 180 derajat tampilan mal pertama di Indonesia tersebut.
Kawasan Sudirman-Thamrin yang beralih rupa menjadi keberhasilan tersendiri bagi Jakarta, karena setidaknya dapat mewujudkan keadilan atas ruang terbuka publik. Anak kecil hingga dewasa, yang berkebutuhan khusus maupun tidak, yang berpunya dan yang berkantong tipis, sama-sama berkesempatan menikmati sepanjang rentang dua jalan utama itu.
Merujuk pada teori ekuitas dari J Stacy Adams yang diterapkan dalam penataan kota, pembangunan dan penyediaan akses terhadap ruang terbuka publik seharusnya memenuhi asas keadilan spasial, sosial, dan hukum.
Lanskap Sudirman-Thamrin dari Jembatan Pinisi di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (8/1/2023).
Keadilan spasial mengacu pada pemerataan penyediaan ruang publik sesuai jumlah dan sebaran penduduk. Keadilan sosial yang fokus pada pembangunan ruang publik wajib mempertimbangkan kebutuhan serta kemampuan warga yang berbeda-beda. Kepastian hukum menjadi penting karena setiap warga dan kelompok masyarakat memiliki hak akses yang sama terhadap ruang publik sesuai kebutuhan dan kemampuannya.
Kawasan Sudirman-Thamrin menjadi contoh sukses pemenuhan keadilan spasial, sosial, dan hukum di ruang publik dalam lingkup area terbatas. Membicarakan Jakarta secara umum, meskipun taman-taman kota dinilai kian banyak tersedia, ternyata masih banyak permukiman warga dekat dengan fasilitas ruang terbuka publik. Trotoar yang belum ramah disabilitas, terhubung dengan halte dan stasiun, pun belum tersedia secara merata.
Ada kecenderungan bangunan historis ditinggalkan karena ketidaktahuan generasi saat ini sekaligus desakan kebutuhan kontemporer yang lebih baru. Pada akhirnya, ada kecenderungan ’kanibalisasi’ di ruang kota.
Meskipun demikian, ruang publik yang berorientasi pada kepentingan publik di Sudirman-Thamrin terancam oleh proyek-proyek pembangunan halte ikonik Transjakarta. Bangunannya menjulang dua lantai dengan tambahan ruang untuk retail atau area komersial. Ruang atas dilengkapi anjungan yang menawarkan pemandangan lanskap langit lepas memayungi jajaran gedung tinggi yang dibelah aspal dengan hilir mudik arus kendaraannya.
Sebagian masyarakat menerima mentah-mentah kehadiran halte ini dan mengglorifikasi dengan rela mengantre demi dapat berfoto di anjungannya.
Sejumlah warga memenuhi anjungan untuk berfoto di depan Patung Selamat Datang di anjungan Halte Transjakarta Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, Minggu (8/1/2023).
Letak halte ikonik tersebut di antaranya ada di kawasan yang bernilai historis Bundaran Hotel Indonesia dan Patung Selamat Datang. Bundaran HI dan Patung Selamat Datang tinggalan masa kepemimpinan Presiden Soekarno selama ini mewakili semangat mengisi kemerdekaan dengan derap pembangunan di Jakarta dan Indonesia setelah era kota Batavia pada masa penjajahan.
Selain itu, ada pula halte di kawasan Dukuh Atas masih di poros Sudirman-Thamrin yang berdekatan dengan Patung Jenderal Sudirman. Meskipun baru ada sejak 2003, patung yang secara keseluruhan setinggi 12 meter ini penanda ikonik sesuai nama jalan sekaligus bentuk penghormatan pada sosok panglima besar yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dalam kesatuan penataan kawasan kota, kehadiran bangunan ikonik memang dapat menjadi pencapaian tersendiri dalam arsitektur dan desain urban. Namun, bangunan ikonik—terlebih yang berbeda zaman dan tujuan pembangunan—di lokasi yang sangat berdekatan justru menciptakan gangguan visual di ruang kota. Sepintas, Jakarta kelak akan kaya infrastruktur dengan arsitektur unik, tetapi miskin karakter.
UNESCO membuat catatan tersendiri tentang hal tersebut. Secara global ada kecenderungan bangunan historis ditinggalkan karena ketidaktahuan generasi saat ini sekaligus desakan kebutuhan kontemporer yang lebih baru. Pada akhirnya, ada kecenderungan ”kanibalisasi” di ruang kota. Dampaknya dapat mengganggu karena identitas kota dan negara menjadi tidak jelas.
Bus Listrik Transjakarta X Higer Berpelanggan melintasi Patung Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (17/9/2021).
UNESCO mendorong tiap kota membangun melalui pendekatan lanskap urban bersejarah yang mengakui pentingnya ruang publik bagi masyarakat dengan mengintegrasikan upaya pelestarian bangunan dan kawasan historis, pembangunan sosial, serta target kemajuan ekonomi.
Dorongan UNESCO dan desakan banyak pihak tak direspons dengan baik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bergeming. Pembangunan halte ikonik berlanjut. Bahkan, di Dukuh Atas, halte Transjakarta yang masih dalam proses pembangunan berada di belakang Patung Jenderal Sudirman.
Dua puluh tahun lalu, pembangunan patung itu dikecam karena dalam posisi tangan seakan memberi hormat pada kesibukan lalu lalang kendaraan di sekitarnya. Pose itu dinilai merendahkan jasa Panglima Besar Jenderal Sudirman. Saat ini, patung pahlawan bangsa itu dikhawatirkan hanya akan saling memunggungi dengan bangunan ikonik yang lebih baru.
Harapannya, komodifikasi wisata gedung-gedung menjulang beratap bentangan langit tetap diselaraskan dengan pelestarian jejak historis kota. Identitas kota yang terbentuk beratus tahun janganlah dikacaukan oleh semangat menambah bangunan ikonik yang kebablasan. Masih ada waktu untuk berbenah.