Akhir bulan Desember 2022, loper koran saya memberitahukan bahwa harga langganan Kompas mulai Januari 2023 akan naik. Ia memberikan fotokopi surat dari Kompas Media Nusantara, penerbit harian Kompas. Dari harga Rp 143.000 menjadi Rp 200.000.
Setelah saya pelajari masalah penerbitan koran, saya berkesimpulan bahwa informasi itu sebenarnya mahal, tetapi menjadi murah kalau sudah diberitakan dalam koran. Mengapa? Informasi koran isinya meliputi politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, olahraga, dan pelbagai peristiwa kemanusiaan di seluruh dunia, termasuk berbagai berita aktual di seluruh Indonesia.
Untuk mendapatkan informasi tersebut, Redaksi Kompas harus mengakses kantor berita asing. Ini berarti, Kompas harus berlangganan dan konsekuensinya tentu harus membayar. Bisa juga mengirimkan wartawan untuk meliput, seperti perebutan Piala Dunia Sepak Bola di Qatar bulan Desember 2022, atau mengirim wartawan ke perang Ukraina-Rusia beberapa waktu lalu. Semua itu tentunya membutuhkan biaya.
Untuk berita atau informasi di Indonesia pun, harus berlangganan kantor berita Antara atau ada wartawan yang meliputnya. Kehadiran wartawan berarti harus ada honor atau gaji. Setelah berita dikirim pun, Redaksi harus menyeleksi dan mengedit untuk bisa dimuat di koran. Setelah dicetak, dikirim ke seluruh wilayah Indonesia, bahkan ke luar negeri, tempat para pelanggan berada. Ini tentunya juga memerlukan biaya.
Bisa dibayangkan berapa yang harus dikeluarkan oleh penerbit. Untuk menutup kebutuhan itu, ada biaya berlangganan, selain pemasukan dari pemasang iklan.
Dengan mengetahui alur penyampaian berita dan biaya yang terkait di dalamnya, harga langganan per bulan yang ”hanya” Rp 200.000 sungguh sangat murah.
MustakimPondok Duta 1, Tugu, Cimanggis, Depok 16451
”Kompas” Naik (Lagi)
Saya cukup terkejut ketika diberi tahu oleh loper koran langganan di dekat kampus bahwa harga eceran koran Kompas dari Rp 6.500 menjadi Rp 9.000 dan harga langganan dari Rp 143.000 menjadi Rp 200.000 per bulan. Rasanya sulit diterima, apalagi dengan pemasukan yang pas-pasan.
Untuk menyiasati hal itu, seorang rekan saya berujar, ”Beralih ke digital saja. Hitung-hitung menghemat pengeluaran.”
Beralih ke digital? Saya belum ada niat, apalagi saya terbiasa membaca kemasan cetak dan menemukan kenyamanan dengan itu.
Tebersit dalam hati, ”Aduh, sepertinya sudah tidak sanggup lagi berlangganan koran Kompas.”
Tetapi, lalu bagaimana? Saya masih ”sayang” dengan loper koran langganan. Ia pasti juga butuh biaya dari saya selaku pelanggan dan pembaca. Di sisi lain, saya harus menyesuaikan dengan pemasukan yang saya punya.
Ah, sudahlah. Mungkin ini cara Kompas menguji pembaca agar tetap setia.
Saya cemburu melihat media cetak di Amerika, Eropa, bahkan Singapura yang masih tebal halamannya tanpa memusingkan biaya cetak ataupun biaya operasional.
Alvin Lazuardie AlkhafSurakarta 57169
Harga Naik
Perubahan harga langganan koran Kompas per 2 Januari 2023, menjadi Rp 200.000 per bulan (belum termasuk ongkos kirim), terasa berat.
Itu pun hanya harga berlangganan koran Kompas. Biasanya harga Rp 170.000 (sebelum naik) sudah termasuk langganan majalah Intisari. Artinya, akan ada perubahan harga jika Intisari juga naik.
Saya keberatan karena belum termasuk ongkos kirim. Lain cerita jika sudah termasuk ongkos kirim.
Jika alasan kenaikan harga untuk memperkuat layanan jalur distribusi, saya rasa itu juga kurang tepat. Sebab, koran Kompas kadang baru diantar ke rumah kami pada siang hari, terlebih jika ada kendala cuaca.
Kualitas berita yang disampaikan biasa saja, apalagi sudah banyak dari media elektronik. Belakangan saya lihat isinya lebih banyak iklan atau promosi produk tertentu, daripada isi berita utama. Apalagi, halaman juga makin sedikit.
Awan DermawanJl Diponegoro, Tegal
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas semua tanggapan yang disampaikan. Kami mohon maaf atas situasi ini. Semoga jadi pemacu untuk melayani lebih baik lagi.