Memasuki 2023, meski diliputi optimisme pemulihan ekonomi, Indonesia masih dihadapkan pada persoalan mendasar dalam meningkatkan kualitas SDM, mulai dari persoalan kualitas pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi.
Oleh
HANDI RISZA
·6 menit baca
Di tengah rasa optimisme yang muncul menyambut tahun 2023 akibat membaiknya perekonomian nasional yang tumbuh di atas angka 5 persen sepanjang tahun 2022, sesungguhnya Indonesia masih dihadapkan kepada persoalan mendasar, yaitu stagnannya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Perekonomian kadang hanya dinilai dari angka-angka statistik dan pembangunan fisik, tetapi alpa terhadap permasalahan SDM, mulai dari rendahnya kualitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat.
Semenjak Adam Smith (1729-1790) menganggap bahwa manusialah sebagai faktor produksi utama yang menentukan kemakmuran bangsa-bangsa, banyak negara memulai pembangunannya dari SDM. Smith menilai bahwa alokasi sumber daya manusia (SDM) yang efektif akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal (capital) baru mulai dibutuhkan untuk menjaga ekonomi terus tumbuh dan berkembang (growth).
Dengan kata lain, alokasi SDM yang efektif merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi. Teori pembangunan manusia kemudian dikembangkan oleh Amartya Sen dengan bukunya, Development as Freedom hingga Mahbub Ul Haq yang kemudian melahirkan Human Development Indeks (HDI).
Memulai pembangunan dengan memperbaiki kualitas SDM tidak hanya didominasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, tetapi juga dilakukan oleh negara-negara besar Asia, seperti Jepang, Korea, dan China. Restorasi Meiji diprakarsai oleh Kaisar Jepang Matsuhito atau Kaisar Meiji dalam mereformasi Jepang secara mendasar dan menekankan pada pembangunan SDM. Hal ini dilakukan untuk mengatasi ketertinggalan Jepang dari negara-negara Barat sekaligus menaikkan posisinya di mata internasional. Begitu pula Korea Selatan memulai pembangunan negaranya dengan memperbaiki kualitas SDM.
Setelah memasuki hampir delapan dekade merdeka, Indonesia masih berkutat dengan persoalan mendasar dalam meningkatkan kualitas SDM, salah satunya adalah kemampuan dalam mengonsumsi makanan bergizi. Berdasarkan riset harian Kompas beberapa waktu yang lalu, biaya yang perlu dikeluarkan orang Indonesia untuk membeli makan bergizi seimbang adalah sebesar Rp 22.126 per hari atau Rp 663.791 per bulan. Harga tersebut berdasar standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB), yang juga digunakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO).
Dengan biaya sebesar itu, terdapat 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang tidak mampu membeli makanan tersebut. Artinya, mayoritas masyarakat Indonesia tidak bisa mengakses kebutuhan makanan bergizi seimbang atau makanan sehat. Informasi ini seharusnya menampar wajah pemerintah yang tidak mampu menyediakan makanan bergizi yang terjangkau bagi warganya.
Keberhasilan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti fatamorgana, belum mencerminkan kondisi SDM yang sesungguhnya. Bisa saja kue pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang, akibatnya kesenjangan makin melebar. Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi lebih banyak dipengaruhi oleh modal (capital intensive) ketimbang oleh SDM (labor intensive).
Hal ini terlihat dari sektor-sektor yang berkontribusi terhadap jumlah SDM terbesar, seperti sektor pertanian, kontribusi, dan pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan sektor lainnya. Artinya, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu membuka segelintir lapangan pekerjaan baru.
Keberhasilan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti fatamorgana, belum mencerminkan kondisi SDM yang sesungguhnya.
Stagnasi kualitas SDM
Sisa masa pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin hingga 2024, memiliki pekerjaan rumah dalam membenahi SDM yang mesti dilakukan segera. Dari sejumlah indikator perhitungan Human Capital Index (HCI) yang dirilis Bank Dunia digunakan untuk mengukur kualitas atau tingkat produktivitas SDM suatu negara.
Nilai HCI Indonesia tercatat sebesar 0,54 di tahun 2020 atau di bawah rata-rata nilai HCI ASEAN. Diperkirakan angka HCI tidak akan banyak perubahan pada 2022. Capaian HCI menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah di bidang pembangunan SDM di Indonesia, khususnya bidang pendidikan dan kesehatan, masih rendah dan dihadapkan pada tantangan yang sangat kompleks.
Begitu pula dengan kualitas pendidikan yang masih tertinggal dibandingkan dengan negara di kawasan. Skor PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia belum menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Capaian skor PISA Indonesia untuk keterampilan matematika, sains, dan membaca masih berada di bawah 400 pada tahun 2018. Bahkan berada di bawah rata-rata negara ASEAN. Skor PISA tahun 2022 diperkirakan belum meningkat bahkan sama dengan tahun 2018. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan dan sekolah di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Masalah besar yang dihadapi Indonesia ke depan adalah rendahnya kualitas bayi yang dilahirkan. Hal tersebut tergambar dalam angka prevalensi tengkes (stunting) pada anak balita di Indonesia masih terbilang tinggi. Tahun 2022 pemerintah menargetkan angka prevelansi berkurang 3 persen atau menjadi 21 persen dari tahun 2021 sebesar 24,4 persen.
Tingginya angka tengkes di Indonesia mencerminkan buruknya kualitas gizi dan fasilitas kesehatan yang bisa diakses oleh ibu hamil. Padahal, anggarannya selalu meningkat setiap tahun. Rendahnya angka tengkes akan sangat berdampak terhadap kualitas dan daya saing SDM yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ke depan.
Tingkat kesejahteraan masih rendah
Walaupun jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta jiwa atau sekitar 9,54 persen turun dibandingkan periode yang sama tahun 2021 sebesar 27,54 juta jiwa atau sekitar 10,14 persen (BPS: 2022), angka ini masih tergolong tinggi. Selisih jumlah penduduk miskin perkotaan dibandingkan dengan perdesaan cukup tinggi. Pada Maret 2022, penduduk miskin perkotaan sebesar 7,50 persen, sedangkan perdesaan mencapai 12,29 persen. Kurang meratanya penanganan kemiskinan selama Covid-19 menyebabkan tingkat kemiskinan ekstrem mencapai 4 persen atau 10,86 juta jiwa.
Jumlah pengangguran di Indonesia ada sebanyak 8,42 juta orang per Agustus 2022. Jumlah ini meningkat sekitar 200.000 orang dari posisi per Februari 2022 yang mencapai 8,40 juta orang (BPS: 2022). Tingkat pengangguran di Indonesia masih tinggi dan belum kembali ke posisi sebelum pandemi. Masih banyak ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan dan pabrik sepanjang tahun 2022. Pertumbuhan ekonomi saat ini belum bisa memenuhi penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, baik dari sisi tenaga kerjanya maupun dari sisi peningkatan kualitas tenaga kerja.
Angka rasio gini (gini ratio) pada Maret 2022 sebesar 0,384, meningkat 0,003 poin jika dibandingkan dengan angka pada September 2021 sebesar 0,381 (BPS: 2022). Angka ini menunjukkan tingkat ketimpangan semakin melebar. Rasio gini di perkotaan tercatat 0,403 pada Maret 2022. Nilai itu naik dibandingkan pada September 2021 yang sebesar 0,398. Sementara rasio gini di perdesaan dilaporkan sebesar 0,314. Angkanya tidak berubah dibandingkan kondisi September 2021. Rasio gini mengindikasikan bahwa pemulihan ekonomi pada 2022 belum merata dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Penutup
Memasuki tahun 2023, meski diliputi rasa optimisme pemulihan ekonomi, sesungguhnya Indonesia masih dihadapkan pada persoalan mendasar dalam meningkatkan kualitas SDM. Mulai dari persoalan kualitas pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi. Sejumlah indikator SDM menunjukkan Indonesia masih harus bekerja keras untuk meningkatkan kualitas SDM. Hal ini perlu dilakukan segera, mengingat Indonesia akan segera memasuki puncak bonus demografi pada 2030-2040 dan puncak perayaan 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045.