UU Cipta Kerja dan Kepastian Hukum Iklim Investasi
Agar kehadiran UUCK jo Perppu No 2/2022 dipahami jernih, tidak gaduh, demi kepentingan iklim investasi yang selalu tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya, maka penting untuk menjelaskan-nya kepada masyarakat.

Ilustrasi
Teori Raymond Vernon (1966) yang sangat terkenal, ”Vernon’s Product Life Cycle Theory”, relevan untuk kita pahami saat ini. Teori ini mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada satu pun investasi (asing) yang tidak berorientasi profit.
Semua orientasi atau motif investasi pasti ”profit”. Pham Hoang Mai sebagaimana dikutip oleh Zaidun (2005) juga menjelaskan hal yang sama.
Untuk Indonesia, terkait dengan kehadiran Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) yang kemudian dianulir Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai inkonstitusional bersyarat, dan kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2/2022, sangat penting untuk dijelaskan kepada masyarakat.
Mengapa penting? Agar kehadiran UUCK jo Perppu No 2/2022 dipahami secara jernih, tidak gaduh, demi kepentingan iklim investasi yang selama ini selalu tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam.
Harus diakui bahwa berbelit-belitnya prosedur perizinan di negara kita telah menjadi permasalahan klasik yang tidak menarik minat investasi di Indonesia.
Secara obyektif, birokrasi perizinan menjadi salah satu hambatan untuk meningkatkan investasi melalui kemudahan berusaha.
Secara obyektif, birokrasi perizinan menjadi salah satu hambatan untuk meningkatkan investasi melalui kemudahan berusaha. Hal ini tecermin dari laporan kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) yang dilakukan Bank Dunia terhadap 190 negara, termasuk Indonesia. Peringkat kemudahan berusaha Indonesia selama kurun 2015 hingga 2019 diakui memang cenderung terus mengalami peningkatan. Misalnya, dari peringkat ke-114 (2015) menjadi ke-109 (2016), ke-91 (2017), ke-72 (2018), dan ke-73 (2019). Namun, masih diperlukan upaya reformasi regulasi untuk meningkatkan kemudahan berusaha sehingga bisa menarik investasi lebih banyak lagi.
Meski Indonesia sudah masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country), kita menghadapi tantangan untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap), di mana perekonomian suatu negara tidak dapat meningkat menjadi negara berpendapatan tinggi (high income country).
Indonesia perlu keluar dari jebakan ini karena negara yang terjebak dalam middle income trap akan berdaya saing lemah, yang disebabkan kalah bersaing dari negara berpendapatan rendah (low income country) karena upah tenaga kerja mereka yang lebih murah, dan kalah bersaing dalam hal teknologi dan produktivitas dari negara berpendapatan tinggi.

Dari pengalaman negara yang sukses, kontribusi daya saing tenaga kerja dan produktivitas jadi andalan untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah.
Perbedaan kepentingan
Upaya untuk mengatasi tantangan dan hambatan yang ada itu—apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 yang mengubah pola kegiatan ekonomi dan penghidupan masyarakat—memerlukan basis regulasi yang kuat dalam bentuk UU.
UU ini sekaligus harus mampu mengubah dan menyempurnakan berbagai UU yang ada yang masih tumpang tindih dan memakan waktu yang cukup lama, sekitar 17 tahun, jika harus diubah satu demi satu. Itulah sekelumit pertimbangan mengapa Indonesia perlu UU Cipta Kerja jo Perppu No 2/2022.
Ada hubungan tak seimbang antara negara pembawa modal dan negara penerima modal. Ini bisa dilihat sebagai berikut (Sumantoro, 1980; Pramono, 2007). Pertama, pemodal asing selalu berorientasi profit, sedangkan penerima modal mengharapkan modal asing dapat membantu mencapai tujuan pembangunan. Kedua, pemodal asing memiliki posisi yang lebih kuat dalam berunding dan bernegosiasi, yang dalam pelaksanaannya dapat bertentangan dengan kepentingan negara penerima modal.
Baca juga : DPR Akan Menilai Pemenuhan Kegentingan Memaksa Perppu Cipta Kerja
Baca juga : Penolakan Perppu Cipta Kerja Terus Berlanjut
Ketiga, pemodal asing memiliki jaringan usaha yang kuat dan luas, berbentuk korporasi multinasional yang melayani kepentingan negara dan pemilik saham di negara asal, sehingga sulit untuk melayani kepentingan negara penerima modal.
Investor sering menuntut beberapa fasilitas, antara lain, pertama, peraturan perundang-undangan yang konsisten dan menjamin kepastian hukum dalam jangka panjang. Kedua, prosedur perizinan yang tidak berbelit-belit yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Ketiga, jaminan terhadap investasi serta proteksi hukum hak kekayaan intelektual (HKI). Keempat, sarana dan prasarana yang menunjang, antara lain komunikasi, transportasi, perbankan, dan asuransi.
Meningkatkan iklim investasi
Agar investor mau membawa modal- nya masuk ke Indonesia, tentu saja hal- hal yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha dalam jangka panjang perlu diperbaiki. Ini satu di antaranya yang diperbaiki melalui UUCK jo Perppu No 2/ 2022. Tujuannya tentu untuk memberikan kemudahan investasi di Indonesia.

Kehadiran UUCK merupakan langkah terobosan untuk menjembatani problem tumpang tindih peraturan perundang- undangan yang tak mendukung iklim investasi. Tercatat ada sekitar 78 UU tersebar di sektor-sektor seperti pertambangan, pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, perdagangan, tata ruang, perizinan, yang semuanya harus diperbaiki.
Jika diperbaiki satu demi satu, akan memakan waktu sekitar 17 tahun. Dibuatlah UUCK dengan menggunakan metode omnibus law, yang sayangnya ternyata tak dibenarkan oleh MK karena metode itu belum terdapat dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bagaimanapun putusan MK harus dihormati atas dasar doktrin res judicata pro veritate habetur.
Pemerintah kemudian mengubah UU No 12/2011 dengan UU No 13/022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12/ 2011, dengan memasukkan metode omnibus law dalam UU No 13/2022 tersebut. Dengan pertimbangan adanya kegentingan memaksa, pemerintah mengeluarkan Perppu No 2/2022.
Kehadiran UUCK merupakan langkah terobosan untuk menjembatani problem tumpang tindih peraturan perundang- undangan yang tak mendukung iklim investasi.
Kegentingan memaksa
Indikator kegentingan memaksa berkaitan dengan 1) terjadinya pelemahan pertumbuhan ekonomi, bersamaan dengan fenomena stagflasi; 2) permasalahan mata rantai pasok yang berdampak pada keterbatasan suplai, terutama pada barang pokok, seperti makanan dan energi. Selain itu, 3) perekonomian Indonesia akan terdampak oleh stagflasi global yang sudah terlihat; dan 4) respons standar bauran kebijakan, khususnya antara kebijakan moneter dan fiskal, yang terus diperkuat semenjak awal pandemi Covid-19, akan semakin dibutuhkan.
Penetapan perppu ini diputuskan Presiden Joko Widodo sebagai upaya mencegah Indonesia agar tidak masuk ke dalam situasi stagflasi (krisis).
Soal kegentingan memaksa, tentu ini diskresi yang jadi lingkup kewenangan Presiden. Di masa-masa sebelumnya, saya mencatat ada beberapa perppu yang sama sekali tak menjelaskan adanya pertimbangan kegentingan memaksa.
Pertama, pada krisis 1997/1998, lahir Perppu No 1/1998 tentang Perubahan UU tentang Kepailitan. Perppu ini lahir di tengah krisis yang pertimbangan kegentingan memaksanya sangat bernuansa pertimbangan ekonomi. Pemerintah waktu itu sudah menghabiskan dana talangan Rp 600 triliun, tak pernah mengatakan tegas bahwa negara dalam keadaan darurat (staad noodrechts ), dalam keadaan kegentingan memaksa.

Pertimbangannya, gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan 1997 telah memberi pengaruh yang tak menguntungkan terhadap perekonomian nasional, dan menimbulkan kesulitan yang besar di kalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya, termasuk dalam memenuhi kewajiban kepada kreditor. Tak ada yang meributkan hal ini.
Kedua, Perppu No 1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas juga tak menyebut adanya kegentingan memaksa.
Ketiga, Perppu No 1/2004 tentang Perubahan UU No 41/1999. Tak ada satu pun kalimat yang menyatakan adanya kegentingan memaksa sehingga keluar perppu ini. Pertimbangannya, adanya ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan, terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya UU itu, sehingga bisa menempatkan pemerintah dalam posisi sulit dalam mengembangkan iklim investasi.
Keempat, Perppu No 1/2014 yang membatalkan UU No 22/2014 tentang Pilkada, sama sekali juga tak menjelaskan adanya kegentingan memaksa. Alasan yang dipakai, UU No 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur mekanisme pilkada secara tak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan luas dari rakyat. Selain itu, proses pengambilan keputusannya juga menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan MK No 138/PUU-VII/2009.
Oleh sebab itu, tindakan antisipatif dengan Perppu No 2/2022 ini menurut saya adalah tindakan yang tepat, tanpa harus menunggu untuk terjadi krisis dahulu, baru kita semua ”kelabakan” agar keluar dari krisis. Belum lagi jika terulang situasi chaos seperti 1997-1998.
Saya yakin, jika kita mau berpikir secara arif dan bijaksana, tentu tidak ada satu pun anak bangsa yang menghendaki peristiwa 1997-1998 kembali terulang.
Dalam soal investasi untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa, kita sudah jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
Indonesia harus belajar dari dua kali krisis, yaitu krisis 1997-1998 yang menghabiskan uang rakyat Rp 600 triliun untuk kebijakan blanket guarantee yang sampai sekarang tak sepenuhnya bisa kembali. Kemudian, krisis 2008 yang menyisakan kasus Bank Century yang juga tak kunjung selesai tuntas sampai sekarang. Program dana talangan melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berkisar Rp 7 triliun-Rp 8 triliun tidak juga bisa kembali semuanya.
Dampak UUCK
Mari kita dengan arif dan bijaksana menyikapi perppu ini, dengan narasi-narasi yang sejuk, yang tidak selalu menyalahkan dan cenderung asal berbeda dengan kebijakan pemerintah.
Janganlah kita sebagai bangsa besar terjebak dengan perdebatan-perdebatan yang menurut saya tak perlu. Dalam soal investasi untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa, kita sudah jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. Dengan lahirnya UUCK, investasi asing secara langsung (foreign direct investment/FDI) ke Indonesia tercatat 20,1 juta dollar AS pada 2021. FDI ke Indonesia pada 2021 merupakan yang terbesar kedua di Asia Tenggara.
Dengan basis data terlihat bahwa investor telah merespons secara positif upaya reformasi struktural melalui UUCK. Berdasarkan laporan analisis Bank Dunia pada publikasi Indonesia Economic Prospect (IEP), Desember 2022, reformasi struktural melalui UUCK berdampak positif terhadap peningkatan penanaman modal asing (PMA) di Indonesia, bahkan mampu lebih tinggi dari PMA sebelum reformasi dilaksanakan.
Total realisasi PMA meningkat rata-rata 29,4 persen pada lima triwulan setelah diterbitkan UUCK (pascakebijakan) dibandingkan prakebijakan (lima triwulan sebelum UUCK terbit).

Mengutip publikasi IEP, Desember 2022, rata-rata PMA di sektor manufaktur meningkat 34,6 persen pada periode pascakebijakan. Pada triwulan III-2022, PMA bruto di bidang manufaktur telah menyusul dan lebih tinggi dari PMA nonmanufaktur pada 2020 dan 2021. Penanaman modal dalam negeri (PMDN) di bidang manufaktur pada triwulan IV-2021 juga lebih tinggi daripada tingkat prakebijakan, sejalan dengan pergerakan PMA.
Reformasi struktural melalui UUCK juga mampu menurunkan hambatan perdagangan dan investasi di Indonesia. OECD dalam publikasi Product Market Regulation in Indonesia: An International Comparison, 12 Desember 2022, menyebutkan, berdasarkan hasil identifikasi awal, implementasi UUCK dapat mengurangi hambatan untuk FDI lebih dari sepertiga dan mengurangi hambatan perdagangan dan investasi hampir 10 persen pada tahun 2021.
UU Cipta Kerja jo Perppu No 2/2022 adalah UU masa depan yang berdampak positif bagi iklim investasi untuk menunjang lapangan kerja. Mari kita sikapi dengan bijak agar Perppu No 2/2022 bergulir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Nindyo PramonoGuru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada