Teknologi untuk Keunggulan Daya Saing
Pemanfaatan teknologi bukan sekedar mengenai teknologi itu sendiri tetapi lebih pada kemampuan organisasi untuk mengenali nilai kebaruan khususnya eksternal kemudian mengasimilasi dan menerapkannya pada tujuan organisasi
Pada awal 1960-an kondisi Indonesia dan Korea Selatan relatif sama, keduanya dikategorikan sebagai “under developed country” dengan tingkat kemiskinan sangat tinggi dan ketergantungan pada pinjaman negara-negara maju.
Pada awal 1970-an, Korea Selatan dan Indonesia mulai membangun perekonomian nasionalnya. Kondisi Korea Selatan saat itu masih babak belur, belum sepenuhnya pulih setelah berakhirnya perang Korea. Perekonomian negara bergantung pada pertanian dengan nilai total ekspor 41 juta dollar AS dan pendapatan per kapita hanya 82 dollar AS.
Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dimulai sejak pemerintahan Presiden Park Chung Hee, melalui penerapan pembangunan ekonomi lima tahunan. Kesuksesan ekonomi Korea Selatan dicapai pada akhir 1980-an ketika PDB berkembang dari rata-rata 8 persen per tahun, dengan nilai 2,7 miliar dollar AS pada tahun 1962 menjadi 230 miliar dollar AS pada 1989.
Mengandalkan ekonomi berbasis teknologi inovatif, sejak tahun 2005 Korea Selatan menjadi negara terdepan dalam akses internet kecepatan tinggi, memori semi konduktor, monitor layar datar dan telepon genggam.
Korea Selatan berada pada peringkat pertama dalam pembuatan kapal, ketiga dalam produksi ban, keempat dalam serat sintetis, kelima dalam otomotif dan keenam dalam produk baja. Tahun 2021 lalu, PDB Korea Selatan total sebesar 34.983 dollar AS per kapita, jauh meninggalkan Indonesia yang hanya 4.290 dollar AS pada tahun yang sama.
Dengan kondisi relatif sama diawal proses pembangunannya, mengapa Korea Selatan dapat mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding Indonesia pada periode yang sama?
Studi oleh tim dari MIT Sloan School of Management tahun 2008 menyatakan, kemampuan suatu negara untuk mengadopsi teknologi baru adalah hal terpenting yang mempengaruhi daya saing terutama biaya produksi barang modal dan pendapatan perkapita.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat pada negara-negara seperti Jepang, Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan di tahun 1990-an merupakan hasil dari kemampuan mereka mengadopsi teknologi baru seperti internet dan proses manufakturing yang inovatif secara cepat. Sebaliknya, negara-negara Amerika Latin dan sebagian besar negara-negara di Asia Selatan termasuk Indonesia, yang mengadopsi teknologi sejenis lebih lambat, menurun dratis pendapatan perkapitanya pada periode yang sama.
Adopsi dan utilisasi teknologi telah menjadi faktor kunci pertumbuhan ekonomi nasional dan memperkuat daya saing suatu negara. Keunggulan kompetitif atau daya saing diperoleh melalui karakteristik dan sumber daya suatu organisasi untuk memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan pesaingnya pada industri atau pasar yang sama (Porter, 1985).
Teknologi dan Kinerja Perusahaan
Dalam kontek bisnis, teknologi telah terbukti meningkatkan efisiensi dan produktifitas serta memunculkan model bisnis baru. Ia juga berfungsi sebagai enabler yang menghasilkan berbagai inovasi lainnya yang signifikan mempengaruhi kinerja suatu organisasi baik perusahaan maupun organisasi nir laba.
Walmart, perusahaan terbesar di dunia dengan pendapatan 570 miliar dollar AS pada tahun 2022 (Fortune Global 500), merupakan pelopor penerapan teknologi RFID pada manajemen rantai pasokan globalnya. Walmart, yang menerapkan strategi cost leadership, fokus menjaga harga tetap rendah setiap hari secara konsisten, menarik banyak konsumen yang berorientasi harga dan mencoba untuk menghindari kelebihan persediaan secara bersamaan. Wal Mart telah menerapkan penggunaan chip RFID pada lebih dari 5,4 juta tag item persediaannya, tersebar di 11.695 hyper stores yang berada di 28 negara.
Dengan omzet 570 miliar dollar AS, peningkatan satu persen persediaan out-of-stock dapat menghasilkan laba Walmart lebih dari 5 miliar dollar AS. Padahal adopsi teknologi RFID di Walmart, menurut studi University of Arkansas tahun 2005, mengurangi 16 persediaan out-of-stocks perusahaan itu. Bisa dibayangkan berapa ratus triliun rupiah laba Walmart dari teknologi RFID ini.
Perusahaan global lainnya Dell Inc, yang menawarkan total 1,6 juta konfigurasi produk yang berbeda untuk semua lini produknya, terkenal inovasinya dalam manajemen rantai pasokan e-dagang, terutama model penjualan langsung dan pendekatan “build-to-order” atau “configure to order” untuk manufaktur, menyediakan PC yang dikonfigurasi individual sesuai spesifikasi pelanggan.
Dell menjual sistem komputernya secara langsung kepada konsumen akhir melalui telpon atau internet, tanpa melalui distributor dan pengecer. Selain mengurangi biaya perantara, Dell juga bisa menghemat waktu untuk memproses pesanan pelanggan.
Dell memasang perangkat lunak yang dipesan di pabriknya sendiri sebelum mengirimkannya. Hal ini menghilangkan kebutuhan teknisi yang memasang perangkat lunak komputer, sehingga pelanggan mendapatkan keuntungan waktu dan biaya. Layanan ini tentunya didukung oleh teknologi “virtual inventory management” yang menghubungkan secara real time Dell dengan para pemasok pemasok komponennya.
Strategi ini membantu Dell mencapai keunggulan daya saingnya dengan tetap menjadi perusahaan pembuat monitor komputer terbesar di dunia sejak 2016, dan pemasok PC terbesar ke-3 di dunia, setelah Lenovo dan Hewlett Packard.
Tidak hanya Walmart dan Dell, banyak perusahaan yang membuktikan bahwa teknologi telah meningkatkan daya saingnya seperti ASML, NVIDIA, Qualcomm, Tesla, Intel, Alphabet, Tencent, Microsoft, Samsung, Huawei, Uber, Hyundai, Apple, Netflix, Alibaba dan lainnya. Di Indonesia sendiri, teknologi terbukti memberikan berbagai keuntungan baik bagi pelanggan, publik dan perusahaan terkait.
Kinerja BCA misalnya, terdongkrak dengan pemanfaatan masif teknologi ATM. Bank Mandiri berjaya salah satunya melalui teknologi sms dan perbankan elektronik. Kinerja keuangan PLN terbantu dengan implementasi meter pra bayar (saat ini jumlahnya terbesar di dunia). GoJek digdaya berkat teknologi finansial berbasis ekonomi berbagi. Ruang guru menjadi operator layanan pendidikan terbesar melalui platform e-learning dan lain-lain.
Kinerja keuangan PLN terbantu dengan implementasi meter prabayar.
Sistem Manajemen Teknologi
Namun demikian, dampak implementasi teknologi khususnya Teknologi Informatika dan Komunikasi tetap belum jelas. Beberapa studi empiris pada tahun 1980an dan awal 1990an tidak menemukan relevansi antara kenaikan produktivitas dengan investasi TI (Becchetti dkk, 2006). Dalam konteks Indonesia, adopsi TI diketemukan belum bisa memberikan kontribusi signifikan terhadap kinerja UKM (Prassida dan Subriadi, 2015).
Mengingat adopsi teknologi membutuhkan investasi jangka panjang yang besar, tak banyak pelaku UKM yang melakukannya. Selain faktor biaya, kurangnya kemampuan untuk menemukan solusi teknologi yang tepat guna, merupakan penyebab dominan rendahnya adopsi teknologi di sektor ini.
Tidak mengherankan hanya sekitar 20 persen UKM yang telah mengadopsi teknologi khususnya TI dalam bisnisnya (Noor, 2006). Bahkan untuk koperasi, tidak lebih dari 3 persen koperasi di Indonesia yang memanfaatkan internet terutama untuk menunjang aktivitas pemasaran produknya.
Sementara pada berbagai studi kasus di bidang pertanian, rendahnya adopsi teknologi benih unggul, pupuk organik, konversasi tanah dan air, pola tanam dan sejenisnya, disebabkan lebih kepada faktor kelembagaan.
Kesuksesan adopsi teknologi RFID di Walmart dan sistem penjualan langsung di Dell, tidak terlepas dari kepiawaian para petinggi mereka dalam menjalankan sistem manajemen teknologi, yaitu seperangkat disiplin manajemen yang memungkinkan organisasi mengelola teknologi dan sumber daya terkait lainnya untuk menciptakan keunggulan kompetitif mereka atau mencapai tujuan perusahaan secara efektif.
Sistem pengelolaan teknologi ini tak hanya dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan yang intensif menggunakan teknologi seperti industri utilitas, sektor energi, manufaktur, pertambangan, infrastruktur dan sejenisnya, tetapi juga organisasi apapun yang ingin memanfaatkan teknologi untuk menngkatkan keunggulan daya saing mereka.
Persyaratan paling fundamental adalah keselarasan implementasi teknologi dengan strategi organisasi. Dalam prakteknya, hal membutuhkan suatu panduan, bagaimana perusahaan memanfaatkan teknologi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.
Organisasi butuh “Kebijakan Teknologi” yang akan menjawab berbagai pertanyaan strategis berikut; Apakah perusahaan memiliki strategi pasar dan produk yang jelas? Teknologi apa yang mendukung strategi produk dan pasar? Teknologi mana yang menghasilkan keunggulan kompetitif dengan menambahkan nilai atau menurunkan biaya? Siapa saja yang terlibat dalam proses ini? Dengan siapa saja perusahaan akan mengembangkan pemanfaatan teknologi? Proses apa saja yang harus dilakukan?
Kemudian langkah fundamental kedua adalah pembuatan matrik atau peta teknologi. Sesuai dengan kebutuhan perusahaan serta dinamika perkembangan teknologi, matriktersebut akan memetakan teknologi berdasarkan tiga parameter utama; dampaknya terhadap perusahaan, ketidak pastian atau level kematangan teknologi) dan waktu implementasi.
Matrik tersebut akan membentuk empat kelompok teknologi; Teknologi yang dampaknya tinggi dan ketidakpastiannya juga tinggi, Teknologi yang dampaknya tinggi dan ketidakpastiannya rendah, Teknologi yang dampaknya rendah tapi ketidakpastiantinggi serta Teknologi yang dampaknya rendah dan ketidakpastiannya juga rendah.
Setelah itu barulah menentukan strategi implementasinya dan itu bukanlah proses yang statis. Terciptanya keunggulan daya saing karena pemanfaatan teknologi tidak terjadi begitu saja. Riset empiris yang kami lakukan tahun 2019 membuktikan bahwa faktor eskternal, kepemimpinan, kesiapan sumber daya dan kapabilitas organisasi menjadi faktor penentu keberhasilan.
Kemampuan organisasi untuk menyerap pengetahuan menjadi faktor terpenting karena memediasi pengaruh ketiga faktor lainnya terhadap keberhasilan adopsi teknologi di suatu organisasi. Tanpa kemampuan organisasi yang memadai untuk mengelola sumber daya internal maupun eksternal, apalagi dalam kondisi lingkungan yang turbulen, keunggulan bersaing perusahaan tidak akan tercipta sehingga implementasi teknologi menjadi tidak efektif.
Pemanfaatan teknologi bukan sekedar mengenai teknologi itu sendiri tetapi lebih kepada kemampuan organisasi untuk mengenali nilai-nilai kebaruan khususnya eksternal kemudian mengasimilasi dan menerapkannya pada tujuan-tujuan strategis di dalam organisasi.
Tanpa kemampuan seperti itu, kompetensi inti perusahaan tidak akan terbentuk dan keunggulan daya saing tak akan meningkat. Implementasi teknologi akan melenceng dari sasaran dan perusahaan hanya sekedar membakar uang untuk investasi berbagai peralatan dan perangkat teknis.
Zainal Arifin, dosen Program Studi Pasca Sarjana di Institut Teknologi PLN dan Pengurus Indonesia Strategic Management Society.
Email: zainal_pln@yahoo.com
Professional link: https://www.researchgate.net/profile/Zainal-Arifin-13
Zainal Arifin