Bung Karno, Megawati, Jokowi, dan Poros Maritim Dunia
Visi Jokowi tentang Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia setarikan napas dengan visi maritim Bung Karno. Selain merevitalisasi sektor ekonomi kelautan, Indonesia perlu kembangkan sektor kelautan yang belum dikelola.
Salah satu gagasan terobosan yang dibuat Presiden Joko Widodo ialah mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Sebuah Indonesia yang maju, kuat, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim.
Sebagai Poros Maritim Dunia (PMD), Indonesia juga diharapkan menjadi rujukan (role model) bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang pembangunan kelautan, mulai dari iptek, ekonomi, pertahanan keamanan (hankam), sampai tata kelola laut (ocean governance).
Optimisme Presiden Jokowi tentang besarnya peluang Indonesia menjadi PMD sangatlah beralasan. Pertama, karena Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia yang 75 persen wilayahnya berupa laut.
Wilayah pesisir dan laut Indonesia mengandung potensi ekonomi berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan, SDA tak terbarukan, dan jasa-jasa lingkungan yang luar biasa besar, senilai sekitar 1,4 triliun dollar AS per tahun atau 1,5 kali produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Potensi SDA tersebut bisa menciptakan lapangan kerja bagi sedikitnya 45 juta orang, atau sekitar 30 persen total angkatan kerja.
Hingga 2014, pemanfaatan potensi ekonomi kelautan masih sangat rendah, di bawah 20 persen (PKSPL-IPB, 2014).
Optimisme Presiden Jokowi tentang besarnya peluang Indonesia menjadi PMD sangatlah beralasan.
Kedua, secara geoekonomi dan geopolitik, letak Indonesia sangat strategis. Sekitar 45 persen total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai rata-rata 15 triliun dollar AS per tahun dikapalkan lewat laut Indonesia (UNCTAD, 2012).
Sampai sekarang, Indonesia belum menikmati keuntungan ekonomi secuil pun dari fungsi laut NKRI sebagai jalur transportasi utama global.
Ketiga, Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia berfungsi sebagai nutrient trap (perangkap unsur-unsur hara). Dengan demikian, perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia, dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dan potensi produksi lestari ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12,5 juta ton per tahun.
Sebagai bagian dari the world ocean conveyor belt (aliran arus laut dunia) dan terletak di khatulistiwa, Indonesia secara klimatologis sejatinya merupakan pusat pengatur iklim global, termasuk dinamika El Nino dan La Nina (NOAA, 1998).
Kondisi oseanografi, geomorfologi, dan klimatologi NKRI menjadikan Indonesia pusat energi kelautan dunia yang terbarukan, seperti arus laut, pasang surut, gelombang, dan OTEC (ocean thermal energy conversion) yang potensinya mencapai 10.000 megawatt, dan sampai sekarang baru dimanfaatkan kurang dari 5 persen.
Keempat, SDA dan ruang pembangunan di daratan semakin menipis atau sulit untuk dikembangkan. Padahal, seiring peningkatan jumlah penduduk dan daya belinya, permintaan akan SDA, ruang pembangunan, dan jasa-jasa lingkungan bakal semakin berlipat ganda.
Kelima, suatu negara-bangsa akan lulus dari jebakan negara menengah menjadi maju, makmur, dan berdaulat jika mampu mengembangkan keunggulan kompetitif berdasarkan pada keunggulan komparatifnya (Porter, 2013). Bagi Indonesia, keunggulan komparatif utamanya adalah geokonomi, SDA, dan jasa-jasa lingkungan kelautan.
Keenam, sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan emporium Inggris, AS, dan kini China adalah karena mereka menguasai lautan, baik secara ekonomi maupun hankam. Seperti diungkapkan ahli strategi pertahanan dunia, AT Mahan (1890), siapa menguasai lautan, dia akan menguasai dunia.
Di hadapan Sidang Parlemen, 13 Juli 1953, Presiden Soekarno menyatakan, ’Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali.’
Implementasi PMD
Sejatinya, visi Jokowi tentang Indonesia sebagai PMD setarikan napas dengan visi maritim Bung Karno.
Di hadapan Sidang Parlemen, 13 Juli 1953, Presiden Soekarno menyatakan, ”Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga dan kapal ikan, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Pada 1963, Presiden Soekarno menetapkan 23 September sebagai Hari Maritim Nasional. Kemudian, melalui Keppres No 126/2001 Presiden Megawati mengukuhkan Hari Nusantara (Deklarasi Djoeanda) 13 Desember. Juli 2003 Megawati mencanangkan Gerbang Mina Bahari (GMB) di atas Geladak Kapal TNI AL, Dalpele, di kawasan Teluk Tomini. GMB adalah gerakan nasional pembangunan kelautan dan perikanan.
Keputusan Presiden tentang GMB saat itu menetapkan sektor-sektor ekonomi kelautan sebagai sektor unggulan dan penggerak (prime mover) perekonomian nasional. Semua kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, ekspor-impor, RTRW, infrastruktur, iklim investasi, iptek, dan SDM) dibuat kondusif bagi kinerja sektor unggulan terebut.
Namun, implementasi kebijakan pembangunan PMD, terutama di periode pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019), terlalu dominan (70 persen) berupa ”rem”.
Bentuknya, misalnya, moratorium (larangan) penggunaan kapal pengangkut ikan hidup, alat tangkap ikan yang efisien, kapal ikan di atas 150 gros ton (GT), memberhentikan hampir semua perusahaan penangkapan ikan nasional berskala besar karena dianggap melanggar hukum, menyusahkan nelayan kecil karena dituduh mark-down ukuran kapal ikan mereka, dan menganggap perikanan budidaya merusak lingkungan.
Akibatnya, banyak nelayan jadi penganggur, pembudidaya ikan kerapu dan barramundi (kakap putih) bangkrut. Sebagian besar pabrik (industri) pengolahan ikan di sentra-sentra kawasan industri perikanan (seperti Belawan, Bungus, Muara Baru Jakarta, Cilacap, Benoa, Makassar, Kendari, Bitung, Ambon, Sorong, dan Biak) gulung tikar lantaran kekurangan bahan baku ikan.
Sebanyak 14 pabrik surimi di pantura tidak beroperasi akibat ketiadaan bahan baku, dan keterpurukan lainnya. Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB pada 2014 mencapai 3 persen, pada 2019 menurun menjadi 2,85 persen (BPS, 2019).
Baca juga: Ekspor Perikanan Tahun 2022 di Bawah Target
Untungnya, program pembangunan pariwisata bahari dan perhubungan laut (revitalisasi dan pengembangan pelabuhan serta tol laut) lumayan berhasil. Contohnya, pada 2014 kontribusi sektor pariwisata bahari terhadap PDB di bawah 2 miliar dollar AS dan tahun 2019 menjadi 4 miliar dollar AS.
Dwelling time di sejumlah pelabuhan utama (Tanjung Priok, Tanjung Emas, dan Tanjung Perak) menurun signifikan dari rata-rata 7,3 hari pada 2014 menjadi 4,11 hari pada 2019 dan 2,81 hari pada 2022 (BPS, 2014; BPS, 2019; BPS, 2022).
Berkat pembangunan tol laut, transportasi (distribusi) penumpang dan barang antarwilayah (pulau), terutama di wilayah-wilayah terpencil dan terluar NKRI, menjadi lebih cepat, lancar, murah, dan aman.
Agenda jangka panjang
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai PMD (Indonesia Emas) pada 2045, kita harus mengimplementasikan Rencana Pembangunan Kelautan Jangka Panjang (2023-2045) dan Jangka Pendek (2023- 2024) yang berbasis pada inovasi iptek dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Dalam jangka panjang, pembangunan kelautan harus mampu meningkatkan daya saing bangsa serta menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi (di atas 7 persen per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (menyejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan), dan ramah lingkungan secara berkelanjutan.
Dengan demikian, sektor ekonomi kelautan bisa berkontribusi signifikan bagi terwujudnya Indonesia Emas 2045, dengan pendapatan per kapita 27.000 dollar AS dan PDB 7 triliun dollar AS, terbesar kelima di dunia.
Pada saat itu, Indonesia memiliki: (1) kapasitas iptek dan inovasi setaraf dengan negara-negara industri maju; (2) kedaulatan pangan, energi, dan farmasi; (3) rakyat yang semuanya hidup sejahtera; (4) kualitas dan daya dukung lingkungan yang terawat baik; dan (5) kedaulatan yang kokoh.
Selain merevitalisasi sektor ekonomi kelautan yang sudah berjalan, kita harus mengembangkan sektor kelautan potensial yang belum kita daya gunakan, seperti industri bioteknologi kelautan, desalinasi air laut, energi kelautan, offshore aquaculture, deep sea fisheries, deep sea mining, deep sea water industry, kawasan industri manufaktur di wilayah-wilayah pesisir dan pulau kecil yang belum tersentuh pembangunan, dan menjadikan laut sebagai ruang pembangunan.
Peningkatan produksi ini dapat kita capai melalui program revitalisasi dan ekstensifikasi usaha perikanan budidaya.
Agenda jangka pendek
Dalam jangka pendek (quick wins), lima sektor ekonomi kelautan dapat kita pacu untuk meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi, kedaulatan pangan, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan rakyat secara signifikan.
Kelima sektor itu adalah perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, dan perhubungan laut.
Untuk sektor perikanan budidaya, pada 2021 mampu memproduksi 17 juta ton komoditas perikanan budidaya (10 juta ton rumput laut; dan 7 juta ton berupa ikan, udang, kepiting, dan kekerangan), terbesar kedua di dunia setelah China (56 juta ton). Tahun ini kita tingkatkan menjadi 22 juta ton, dan 25 juta ton pada 2024. Peningkatan produksi ini dapat kita capai melalui program revitalisasi dan ekstensifikasi usaha perikanan budidaya.
Di sektor perikanan tangkap, kita revitalisasi 3.600 armada kapal ikan nasional modern berukuran di atas 100 GT yang ada, dan kembangkan 2.000 kapal ikan nasional modern berukuran di atas 100 GT hingga 1.500 GT untuk memanfaatkan stok ikan di wilayah-wilayah laut NKRI yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan oleh kapal ikan (nelayan) asing dan laut lepas di atas 200 mil.
Di sektor industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, jika pada 2021 nilai ekspor perikanan hanya 5,2 miliar dollar AS (peringkat ke-8 dunia), tahun ini bisa ditingkatkan menjadi 7 miliar dollar AS (ke-7 dunia), dan pada 2024 menjadi 10 miliar dollar AS (ke-5 dunia). Ini bisa dicapai dengan merevitalisasi sekitar 99.000 unit pengolahan ikan atau pabrik pengolahan ikan yang 99 persen berskala mikro dan kecil.
Sektor pariwisata bahari yang telah berkinerja lumayan baik harus terus diperkuat dan dikembangkan. Daya tarik dan daya saing semua destinasi wisata bahari yang ada saat ini harus terus disempurnakan.
Untuk sektor perhubungan laut, program tol laut yang cukup bagus mesti terus ditingkatkan dengan merevitalisasi semua pelabuhan dan kapal angkutan, pembangunan pelabuhan dan penambahan kapal baru, dan pengembangan aktivitas industri serta ekonomi di luar Jawa. Konektivitas digital juga harus terus disempurnakan. Dengan demikian, dwelling time akan lebih singkat, biaya logistik akan lebih murah hingga di bawah 10 persen PDB, dan daya saing perekonomian bakal membaik signifikan.
Rokhmin Dahuri, Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen. Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kelautan dan Perikanan