Indonesia lagi-lagi gagal meraih trofi juara Piala AFF setelah tersingkir di semifinal dari Vietnam. Pembenahan pembinaan menyeluruh mutlak perlu.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dengan peringkat dunia di tangga ke-151, di Asia Tenggara Indonesia hanya lebih tinggi dari Myanmar yang kini di posisi ke-159, Singapura ke-160, Kamboja ke-177, Laos (187), Brunei Darussalam (190), dan Timor Leste (197).
Kita jauh di bawah Vietnam yang kini di tangga ke-96 dunia, satu-satunya kesebelasan Asia Tenggara dengan peringkat dunia di bawah 100. Posisi Vietnam diikuti Thailand di peringkat ke-111, kemudian Filipina di urutan ke-134, dan Malaysia di tangga ke-145.
Kita sering menganggap tim nasional sepak bola Indonesia sebagai salah satu tim elite Asia Tenggara.
Namun, kita perlu mawas diri, jangan sampai anggapan itu sebatas asumsi saja, dan tidak berdasarkan data.
Faktanya, hingga Senin (9/1/2023), Indonesia masih bertengger 55 tangga di bawah Vietnam. Artinya, saat ini kualitas kita jauh di bawah Vietnam, yang mungkin berpuluh-puluh tahun lalu tidak pernah masuk ”hitungan” pesaing kita.
Gelar juara prestisius kita adalah medali emas SEA Games Filipina 1991, atau 32 tahun lalu. Dalam Piala AFF yang digelar sejak 1996, kita belum pernah menjadi kampiun. Prestasi terbaik kita tak lain pemenang kedua atau runner up.
Indonesia yang tak pernah kekurangan pesepak bola berbakat, dan terlahir di berbagai penjuru Tanah Air, seharusnya menjadikan keduanya sebagai modal untuk tim ”Garuda” yang tangguh, dan mampu jadi yang terbaik di Asia Tenggara. Bahkan, lebih dari itu, menjadi 10 besar tim terbaik Asia.
Selama ini, tim kita beberapa kali tampil sebagai juara dalam perhelatan level yunior. Kita pernah juara AFF U-19 pada 2013 dan juara AFF U-23 pada 2019. Pencapaian itu selayaknya menjadi pijakan bagi peta jalan persepakbolaan nasional.
Di Asia Tenggara, juga Asia, banyak contoh kasus yang bisa menjadi bahan pelajaran bagi kita. Bagaimana sepak bola Vietnam berbenah, itu salah satunya.
Di level Asia, lebih banyak lagi tim nasional yang layak menjadi acuan kita untuk menjadi lebih baik. Sudah barang tentu, sistem pembinaan di negara-negara Asia langganan Piala Dunia, seperti Jepang, Korea Selatan, Iran, Arab Saudi, dan Australia, layak menjadi cermin bagi Indonesia.
Jepang, jelas referensi ideal. Dasawarsa 1970-an, Jepang bukan negara elite sepak bola Asia. Mereka lalu berbenah dan mempelajari pembinaan di negara-negara di Asia dan dunia.
Kemauan berbenah dengan perwujudan riil dan konsisten menjadikan Jepang kini raksasa Asia. Mereka kini di tangga ke-20 dunia, tertinggi untuk Asia. Di Piala Dunia Qatar 2022, mereka mencapai 16 besar sebelum disisihkan Kroasia. Di fase grup, dua raksasa mereka tundukkan, yakni Jerman dan Spanyol.
Dari sisi prestasi, sudah sangat banyak alasan dan latar belakang yang seharusnya melecut kita untuk segera berbenah. Benahi pembinaan, benahi kompetisi. Demi tim nasional berkualitas.