Tambal Sulam Kebijakan Perberasan
Perlu kebijakan menyeluruh tentang perberasan, yang memaksa semua pihak bekerja sama baik di pusat maupun daerah. Kebijakan itu terkait keberadaan lahan, produktivitas, efisiensi, dan menjaga keseimbangan kepentingan.
Gonjang-ganjing kebijakan impor beras kembali menghangat di pengujung tahun 2022.
Perdebatan masih berkutat pada isu lama, yaitu persoalan akurasi data produksi dan stok, walaupun pemerintah melalui Peraturan Presiden No 32/2022 tentang Neraca Komoditas, sebagai peraturan pelaksana UU Cipta Kerja di bidang perdagangan, telah mewadahi adanya harmonisasi data komoditas beras, garam, gula, daging sapi, dan produk perikanan pada tahun 2022.
Kondisi ini juga menunjukkan, persoalan pokok dalam perberasan, terutama dalam kegiatan produksi, belum terjawab dengan berbagai kebijakan yang ada selama ini.
Kalau kita petakan produksi padi secara nasional, dengan mengacu pada data Badan Pusat Statistik, selama kurun 30 tahun terakhir (1993-2021), tidak banyak terjadi perubahan yang berarti. Jawa, yang luasnya hanya sekitar 7 persen dari luas Indonesia, masih penyumbang produksi beras terbesar, yaitu 58,79 persen dan 56,4 persen pada 1993 dan 2021.
Program-program terkait perberasan boleh dikatakan masih melanjutkan apa yang telah dirintis sejak zaman penjajahan dulu.
Upaya pengembangan sentra produksi di luar Jawa hanya berhasil di Sumatera Selatan, melalui pengembangan lahan pasang surut.
Upaya pengembangan sentra produksi di luar Jawa hanya berhasil di Sumatera Selatan, melalui pengembangan lahan pasang surut. Kontribusi Sumatera Selatan terhadap produksi padi nasional meningkat dari 2,93 persen pada 1993 menjadi 4,69 persen pada tahun 2021.
Kalimantan yang banyak menjadi lokasi pencetakan areal sawah baru, melalui berbagai program, perannya dalam produksi beras nasional malahan menurun dari 5,15 persen pada tahun 1993 menjadi 4,38 persen pada tahun 2021.
Dilihat dari rata-rata lahan yang diusahakan petani, berdasarkan Hasil Survei Pertanian Antar-sensus atau SUTAS (BPS 2018), untuk petani padi, dari 13,1 juta rumah tangga, sekitar 9,8 juta atau 75 persen menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Untuk Jawa keadaannya lebih memprihatinkan lagi, dari 7,99 juta rumah tangga petani padi, sekitar 6,88 juta atau 86 persen menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar.
Apa yang bisa didapat oleh petani padi yang mengusahakan lahan kurang dari 0,5 hektar? Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi (BPS, 2017) memperlihatkan, setiap hektar tanaman padi yang diusahakan selama empat bulan memberikan pendapatan bersih sekitar Rp 4,95 juta, atau Rp 1,24 juta per bulan. Untuk petani yang mengusahakan lahan setengah hektar atau kurang, jumlah yang diterima setiap bulan maksimal hanya sekitar Rp 600.000.
Baca juga: Impor Beras
Mahalnya biaya produksi
Salah satu diskusi yang berkembang, bersamaan dengan kontroversi kebijakan impor saat ini, adalah mahalnya harga beras kita dibandingkan dengan harga di beberapa negara ASEAN lain.
Mengutip laporan Bank Dunia, ”Indonesia Trade for Growth and Economic Transformation” dalam Indonesia Economic Prospect (IEP) pada Desember 2022, konsumen Indonesia membayar harga beras 28 persen lebih tinggi dari harga di Filipina dan lebih dari dua kali lipat harga di Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand. Bank Dunia menyebutkan ini disebabkan kebijakan harga dan perdagangan di dalam negeri.
Bagian lain dari laporan Bank Dunia menyebutkan, mahalnya harga beras juga disebabkan kurangnya investasi jangka panjang dalam riset pertanian, layanan penyuluhan, dan pengembangan SDM pertanian. Kondisi ini menyebabkan rendahnya produktivitas usaha tani dan mahalnya biaya usaha tani.
Di tataran praktis, belum ada lagi terobosan baru dalam bentuk paket teknologi sebagai upaya memacu peningkatan produktivitas padi skala luas.
ilustrasi
Paket teknologi padi terakhir yang dicanangkan Kementerian Pertanian adalah Jajar Legowo Super atau Jarwo Super, yakni pelaksanaan jajar legowo 2:1 yang disertai introduksi benih varietas unggul baru, penggunaan bio-dekomposer dan pupuk hayati, melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman, serta penggunaan alat dan mesin pertanian. Pemasyarakatan paket teknologi ini belum terlaksana secara maksimal dan tidak berlanjut.
Sejalan dengan laporan Bank Dunia dan ketiadaan terobosan baru selama lima tahun terakhir, data BPS (2021) menunjukkan selama 2015-2020 terjadi penurunan produktivitas padi secara nasional dengan laju 0,814 per tahun.
Terkait dengan biaya usaha tani, data Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi (BPS, 2017) menunjukkan, untuk setiap kilogram gabah yang dihasilkan petani Indonesia, diperlukan biaya sebesar Rp 2.925. Jumlah ini lebih tinggi dari yang dikeluarkan petani Vietnam, Thailand, dan India.
Menurut data The International Rice Research Institute (IRRI) tahun 2016, ongkos produksi per kilogram padi di Vietnam Rp 1.679, di Thailand Rp 2.291, dan di India Rp 2.306. Komponen biaya terbesar dari usaha tani padi di Indonesia adalah upah tenaga kerja, yakni 48,8 persen, dan sewa lahan 25,6 persen.
Ke depan, perlu adanya kebijakan yang menyeluruh tentang perberasan, yang memaksa terjalinnya kerja bersama semua pihak terkait di pusat dan daerah.
Kebijakan untuk kerja bersama
Ke depan, perlu adanya kebijakan yang menyeluruh tentang perberasan, yang memaksa terjalinnya kerja bersama semua pihak terkait di pusat dan daerah. Kebijakan itu terkait dengan keberadaan lahan sawah, peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi, serta upaya menjaga keseimbangan kepentingan produsen dan konsumen beras.
Upaya mempertahankan keberadaan lahan sawah, terutama di Jawa, serta perluasan lahan di luar Jawa, jadi kebijakan pertama yang diperlukan, di tengah masifnya alih fungsi lahan sawah. Upaya ini memerlukan kerja bersama banyak pihak, dengan ujung tombak utama pemerintah daerah di tingkat kabupaten.
Siklus pemerintahan lima tahunan di daerah, apabila tidak dibentengi dengan sejumlah regulasi yang menarik untuk mempertahankan lahan sawah, justru akan memosisikan mereka jadi predator utama lahan sawah yang ada. Lemahnya implementasi UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan aturan turunannya salah satunya disebabkan oleh hal ini.
Pemberian insentif untuk pemerintah daerah yang berhasil mempertahankan lahan sawah merupakan pendekatan yang diperlukan saat ini. Insentif itu, misalnya, pemerintah daerah, terutama di Jawa, yang berhasil mempertahankan lahan sawah, mendapatkan alokasi dana pembangunan yang lebih besar.
Sementara untuk wilayah di luar Jawa, yang berhasil memperluas lahan sawahnya, dan meningkatkan rata-rata penguasaan lahan petani, mendapat alokasi dana khusus yang menarik.
Upaya di atas memerlukan dukungan dari kebijakan kedua, yakni memacu peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha tani padi. Dukungan teknologi terpadu mulai dari pengolahan tanah sampai pascapanen, melalui pengembangan mekanisasi yang tepat, diharapkan dapat menekan biaya tenaga kerja.
Di sisi lain, reformulasi kebijakan sewa lahan diperlukan untuk mendorong intensitas penggunaan lahan. Bersama dengan itu, pemanfaatan produk sampingan beras, menjadi produk yang bernilai, diupayakan untuk membuat penerimaan petani meningkat.
Terakhir, pemerintah perlu terus secara kreatif membangun kebijakan yang seimbang untuk menekan inflasi dan perlindungan konsumen, serta kebijakan yang memberi insentif petani dalam kegiatan produksi. Berbagai intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi dan beragam kebijakan fiskal lainnya terbuka untuk dilakukan.
Tiga langkah di atas akan memandu pengembangan perberasan yang berkelanjutan, menguntungkan petani, tetapi tidak memberatkan konsumen.
Erizal Jamal Dt Tumangguang,Profesor Riset BRIN dan Ketua PERHEPI