Bukan Budaya Kita
Melebihi urusan narasi perayaan Tahun Baru, agaknya kita perlu memformulasikan dengan jelas, apa yang akan kita sebut sebagai budaya kita dan bukan budaya kita.

Ilustrasi
Selamat Tahun Baru!
Sebuah ucapan yang lazim kita ucapkan untuk mengakhiri satu tahun Masehi, dan mengawali tahun Masehi berikutnya. Lazim pula merayakan pengujung tahun lama dengan refleksi dan menyambut kedatangan Tahun Baru dengan penuh sukacita.
Di berbagai penjuru dunia, pesta kembang api menandai datangnya tahun Masehi yang baru. Bahkan, atraksi kembang api dan drone di London membawa pesan-pesan politik. Tahun ini, mereka menyertakan pesan solidaritas kepada warga Ukraina di angkasa malam peralihan 2022-2023.
Menariknya, dalam beberapa tahun terakhir ini, kita di Indonesia menyaksikan pertarungan narasi mengenai ucapan maupun selebrasi Tahun Baru di Indonesia. Biasanya menjelang malam Tahun Baru, narasi menentang perayaannya mulai bermunculan.

Warga menyaksikan pertunjukan kembang api di sekitaran Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, Minggu (1/1/2023).
Narasi pertama datang dari kelompok Muslim yang meyakini bahwa karena Tahun Baru Masehi bukanlah penanggalan khas Islam, yaitu kalender Hijriah, maka ia harus ditinggalkan. Kalender Masehi barangkali hanya diterima untuk kepentingan administrasi sehari-hari sebagai bangsa dan negara. Tidak bisa dimungkiri, narasi yang berangkat dari perspektif purifikasi agama ini dari tahun ke tahun makin kencang terdengar. Namun, ini bukan narasi satu-satunya.
Narasi kedua adalah merayakan Tahun Baru bukan budaya kita. Padahal di lingkungan masyarakat Jawa, misalnya peringatan 1 Suro juga sudah ratusan tahun dilakukan.
Merayakan Tahun Baru dengan pesta dan panggung rakyat bukan budaya kita, demikian kata narasi ini. Padahal pesta dan panggung rakyat untuk 17-an di bulan Agustus pun kita sudah biasa. Selain itu, merayakan Tahun Baru dengan kembang api juga bukan budaya kita. Padahal pesta kembang api saat malam Idul Fitri juga biasa dilakukan dari desa sampai ke kota. Demikian pun saat peringatan kemerdekaan.
Berarti, bukan soal terminologi ”Tahun Baru”, bukan pula soal panggung dan kembang api.

Menyambut tahun baru Jawa Wawu 1853, Puro Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah menggelar tradisi kirab pusaka 1 Suro di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (31/8/2019) malam.
Secara umum, para antropolog menyepakati bahwa budaya adalah rangkaian cara hidup yang meliputi adat dan keyakinan masyarakat tertentu di kurun waktu tertentu. Dari pertarungan narasi bukan budaya kita, justru muncul pertanyaan: apa yang bisa atau boleh kita sebut sebagai budaya kita sebagai bangsa Indonesia?
Apa yang bisa atau boleh kita sebut sebagai budaya kita sebagai bangsa Indonesia?
Apakah yang kita sebut budaya kita harus disempitkan sebagai berbagai warisan tradisi dari masa lalu yang harus diawetkan? Apakah budaya kita adalah apa yang menjadi praktik arus utama hari-hari ini dalam kehidupan kita sebagai masyarakat? Apakah budaya kita adalah praktik-praktik yang dianggap bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa kita?
Jika dalilnya adalah warisan tradisi masa lalu, apakah kita akan mempertahankan budaya patriarkal dan feodalistik atas nama sejarah bangsa? Keduanya telah terbukti menimbulkan sikap sewenang-wenang bermodalkan dogma relasi kuasa. Tentu sudah tidak lagi layak dipertahankan dalam masyarakat masa kini yang peka terhadap kemerdekaan dan kedaulatan diri setiap warganya.
Apakah warisan tradisi perkawinan anak akan kita lestarikan atas nama budaya bangsa? Padahal, kita sudah menyaksikan betapa besar kerusakan yang ditimbulkannya seperti angka kematian ibu dan bayi yang tinggi, gizi buruk anak yang berujung tingkat kecerdasan yang di bawah normal, kemiskinan, kekerasan dalam keluarga, dan hancurnya keluarga.
Apabila yang kita sebut budaya kita adalah praktik utama saat ini dalam bangsa kita, apakah banjir kasus kekerasan termasuk kekerasan berbasis jender dan kekerasan dalam rumah tangga yang semakin mengerikan harus kita sebut sebagai budaya kita, saking maraknya terjadi?
Apakah korupsi yang merajalela dapat kita sebut sebagai budaya kita? Apakah operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang semakin sering terjadi adalah budaya kita? Apakah baliho-baliho dengan wajah para politisi yang bertebaran di seluruh penjuru negeri adalah budaya kita?

Warga melintas di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kuningan, Jakarta, Senin (6/7/2020).
Jika yang kita sebut budaya kita adalah yang bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa, mengapa justru sila Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan justifikasi untuk menghalangi ibadah kelompok-kelompok agama yang berbeda atas nama kehendak mayoritas umat beragama? Mengapa semangat gotong royong justru muncul dalam tindakan korupsi berjemaah para pejabat kita, sebagaimana kasus minyak goreng dan kasus-kasus lainnya?
Melebihi urusan narasi perayaan Tahun Baru, agaknya kita perlu memformulasikan dengan jelas, apa yang akan kita sebut sebagai budaya kita dan bukan budaya kita. Apalagi, menyitir hasil survei Nenilai tahun 2020 pada segmen Nilai Budaya Saat Ini, ditemukan lebih banyak nilai penghambat kemajuan dibandingkan nilai pendukung kemajuan dalam 10 nilai teratas budaya masyarakat kita saat ini.
Merujuk pada pandangan Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan adalah buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam, untuk mengelola kehidupannya. Jika demikian, sejatinya kita punya pekerjaan rumah yang besar untuk menentukan budaya bangsa yang ingin kita hidupkan.
Apabila memang kita sepakati Pancasila adalah sumber kehidupan bangsa, sudah saatnya kita berupaya lebih sungguh-sungguh untuk menjadikannya sebagai budaya bangsa sejati.

Petugas yang membawa foto Bung Karno melintasi Jalan Panglima Sudirman untuk menuju Komplek Makam Bung Karno saat Grebeg Pancasila, Kota Blitar, Jawa Timur, Rabu (1/6/2022).
Bukan hanya jargon seremonial, dan bukan pula milik satu dua kelompok dan lembaga. Sungguh sebuah tugas bersama yang berat.
Pertanyaan lebih jauhnya di awal tahun ini, siapa yang akan memimpin kita membangun budaya bangsa tersebut? Semoga tidak harus menunggu pemimpin baru dari Pemilu 2024 untuk bisa menjawabnya.